Tak Hanya Banjir Air, Kota Gorontalo Juga Kini Banjir Gepeng: Pemkot di Mana?

Bagikan dengan:

Oleh: Man Muhammad*

DM1.CO.ID, OPINI: “Di suatu malam kira-kira pukul 12:00 WITA di salah satu warung kopi yang berada di Kota Gorontalo, pandangan saya tertuju kepada seorang anak perempuan kecil berjilbab yang kira-kira berusia delapan atau sembilan tahun sedang menjajakan keripik pisangnya kepada para pelanggang.

Dengan mata menahan kantuk dan berjalanan sempoyongan, didatanginya satu persatu pengungjung warung kopi tersebut –termasuk saya— sambil menawarkan dagangannya. Bukan karena doyan keripik yang membuat saya menyerahkan beberapa lembar uang dua ribuan kepadanya, karena nyatanya saya tidak mengambil keripik pisang yang dia tawarkan. Tapi, rasa iba.

Ya, dia yang masih kecil dengan matanya yang sayup-sayup menahan kantuk membuat saya merasa kasihan. Kenapa harus anak sekecil itu? Di mana orang tuanya? Bukannya di malam yang semakin larut ini seharusnya dia sudah istirahat Sayang, sebelum pertanyaan itu terjawab, perasaan saya yang awalnya iba tiba-tiba berganti amarah. Karena di ujung jalan saya melihat ada seorang laki-laki dewasa yang masih kekar di atas motor bebek sementara menunggu kedatangan anak perempuan kecil itu.

Alhasil, pemandangan tersebut membuat saya langsung berdiri mengejar si perempuan kecil dan pengendara motor itu. Tapi, lagi-lagi sayang, niat saya tidak kesampaian. Pengendara motor yang melihat saya berjalan ke arah mereka dengan langkah yang begitu cepat langsung mengangkat tubuh mungil perempuan kecil itu, mendudukkannya di atas motor, lalu manarik pedali gas motornya sambil melaju ke arah Andalas. Saya terpaku sampai laju motor mereka hilang dari pandangan. Yang tersisa tinggallah gelap malam dan ingatan kelam” (29 Desember 2020, Warkop JDS 35)

——

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Ya, begitulah bunyi sila terakhir atau sila ke lima dari Pancasila sebagai acuan dasar masyarakat Indonesia dalam bernegara sekaligus perekat kemajemukan kita yang terdiri atas berbagai suku, bangsa, bahasa, dan agama.

Sebagai dasar negara, sila keadilan sosial yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Pancasila telah menjadi menu wajib untuk dihapal oleh semua yang mengaku Indonesia. Baik itu anak sekolahan atau pengguran, pengamen jalanan atau penyanyi yang bayarannya jutaan, miskin atau kaya, petani atau pengajar, semuanya pasti telah menghapalnya. Dan tak ketinggalan para pejabat negara yang telah hapal Pancasila di luar kepala meskipun terkadang ‘sering tidur’ di dalam sidang pembahasan kesejahteraan warga negara.

Berbicara tentang keadilan sosial di Indonesia sebagai negara yang memiliki sistem demokrasi, pastinya berbicara kesejahteraan, dan perihal kesejahteraan pasti tidak lepas dari permasalahan ekonomi. Sosial dan ekonomi inilah yang kemudian menjadi titik temu antara pandangan Soekarno dan Hatta dalam menentukan Indonesia akan dibawa ke arah mana.

Menurut Soekarno demokrasi adalah permusyawaratan yang memberi hidup; karena itu demokrasi politik-ekonomi harus mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Sedangkan bagi Hatta, demokrasi sosial adalah suatu penghubung antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi; di sebelah demokrasi politik, berlakulah demokrasi ekonomi. Olehnya, harus ada ‘kerjasama’ yang seimbang antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi untuk mencapai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Di sisi lain, berbicara perihal demokrasi yang berhubung kait dengan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial, pikiran kita tentunya akan tertuju kepada Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati sebagai pemimpin-pemimpin di negeri ini yang memiliki jabatan politis karena didapatkan lewat jalur politik dalam pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Sebab, lewat pesta demokrasi itulah mereka terpilih dan dipercayakan menjadi pemerintah untuk mengemban amanat undang-undang demi menciptakan kesejahteraan rakyat dalam kurun waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Yaitu suatu pemerintahan yang telah terbentuk harus melindungi segenap bangsa Indonesia, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Lalu, bagaimana dengan keadaan Kota Gorontalo akibat menjamurnya gelandangan dan pengemis di tengah-tengah kota?  Apakah pemerintah –pemerintah Kota Gorontalo khususnya—abai dengan hal ini? Sebelum saya menjawab “Ya, Pemerintah Kota Gorontalo, abai terhadap mereka” ada beberapa alasan yang mungkin bisa kita diskusikan saat nanti duduk bareng di warung-warung kopi di Kota Gorontalo sekaligus menyaksikan realitas bahwa Kota Gorontalo tidak hanya dilanda banjir bandang tapi juga terjebak oleh banjir gepeng (Gelandangan dan Pengemis).

Pertama, selama kurang lebih empat tahun tinggal Yogyakarta (dua tahun studi selebihnya menikmati Yogyakarta secara keseluruhan) dan lebih kurang setahun mengadu nasib di Jakarta, ada beberapa hal yang mencolok saya saksikan ketika kembali ke Gorontalo perihal gelandangan dan pengemis. Karena jika menjadikan Yogyakarta dan Jakarta sebagai perbandingan, harusnya keberadaan gepeng di dua kota tersebut lebih menjamur daripada Gorontalo. Sebab, kalau dipikir sesaat dengan cara ‘berpikir sesat’, semakin tinggi tingkat kemajuan atau modernisme di suatu daerah maka akan berbanding lurus dengan tingkat pengangguran yang berdampak pada kehadiran gepeng.

Tetapi, cara berpikir tersebut ternyata tidak bisa diterapkan jika melihat realitas Kota Gorontalo hari ini –makanya saya menyesatkan pikiran saya yang berpikir begitu. Karena, Gorontalo –untuk saat ini dan semoga nanti— belum bisa dibandingkan dengan kemajuan Jakarta sebagai Ibu Kota, dan Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan. Gorontalo masih bertahan dengan julukan Serambi Madinah –dan saya bangga dengan itu— dengan harapan menjadi daerah yang aman dan damai masyarakatnya –meskipun secara pasti akan terus berkembang tetapi tidak pernah meninggalkan identitasnya.

Kedua, di periode kedua kepemimpinan Marten Taha sebagai Walikota Gorontalo, keberadaan gepeng semakin jadi. Mereka hampir ada di mana-mana di setiap sudut kota Gorontalo. Padahal, di periode pertamanya atau pun semasa kepemimpinan Adhan Dambea kita hampir tidak pernah melihat keberadaan gepeng. Ada apa sebenarnya? Karena untuk membenarkan cara ‘berpikir sesat’ saya yang beranggapan semakin maju suatu daerah akan berbanding lurus dengan banyaknya jumlah pengangguran dan gepeng, saya pikir tidak mungkin. Tetapi, kehadiran dan membanjirnya gepeng di Kota Gorontalo di tahun 2020 dan awal 2021 menandakan bahwa Pemerintah Kota Gorontalo seakan lalai atau bahkan abai terhadap permasalahan ini.

Di awal 2021 ini misalnya, ketika saya makan di salah satu rumah makan di Kota Gorontalo atau saat nongkrong di warung-warung kopi, hampir tidak terhitung berapa kali tempat makan tersebut didatangi oleh gepeng dengan penampilan dan gaya meminta-minta yang berbeda. Memang, sebagai manusia yang diberi sedikit kecukupan oleh Tuhan, sudah seharusnya kita berbagi dengan mereka. Namun, bukan berarti Pemerintah Kota Goorontalo sebagai representasi undang-undang untuk mengambil kebijakan demi terciptanya kesejahteraan dan keadialan sosial terkesan lepas tangan atas problem sosial ini.

Merujuk ke salah satu amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28b ayat 2, di mana Hak Asasi Anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Sebagaimana juga dinyatakan dalam pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.” Maka dari itu, adanya kepastian hukum tidak lain demi menjaga kelangsungan dan kegiatan perlindungan anak serta mencegah mereka dari penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan.

Benar, saya tidak bisa menafikan bahwa di Jakarta atau pun di Yogyakarta kita masih bisa melihat gepeng. Tetapi, kehadiran gepeng di Jakarta atau Yogyakarta tidak seperti membanjirnya gepeng di Kota Gorontalo akhir-akhir ini. Sebab aturan yang berlaku di dua kota besar tersebut jelas. Gepeng di sana diperhatikan oleh pemerintah, dan masyarakat umum yang terlihat aparat memberikan uang kepada gepeng di jalanan akan dikenakan sanksi. Sayang, aturan-aturan tersebut sepertinya belum berlaku di daerah kita, Gorontalo tercinta. Belum lagi ditambah dengan kenyataan bahwa adanya ‘eskploitasi anak’ di Gorontalo karena saya sendiri pernah bertemu seorang perempuan kecil di tengah malam sedang menjajakan dagangan yang ternyata diperintah oleh seseorang agar mendapatkan keuntungan.

Pemerintah Kota Gorontalo mau percaya atau tidak, silahkan saja. Buktikan saja sendiri. Entah lewat Humas Kota Gorontalo atau  orang kepercayaa Walikota. Atau, sekali-kali ikuti anak kecil yang menjajakan dagangannya, atau para pengamen yang setelah mereka bernyanyi pergi ke mana. Karena pasti, setelah itu pasti akan nampak kebenaran yang sebenarnya, bahwa Gorontalo saat ini dilanda banjir gepeng; problem sosial masyarakat akut.

Terakhir, saya ingin mengulang kembali; “Gorontalo bukan hanya sekadar tempat lahir dan tinggal. Tetapi juga sebuah amanat yang harus dijaga, dirawat, dan diperjuangkan sampai nafas terakhir dihembuskan.

—–

*Penulis adalah pemerhati sosial dan lingkungan

—–

Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.

Bagikan dengan:

Muis Syam

8,142 views

Next Post

Selang 12 Jam, Majene 2 Kali Diguncang Gempa Bumi Magnitudo 5,9 dan 6,2

Jum Jan 15 , 2021
DM1.CO.ID, MAJENE: Dari laman gempabumi terkini Badan Meteorologi, dan Gefisika (BMKG) melaporkan, bahwa Wilayah Majene, Sulawesi Barat (Sulbar), diguncang gempa bumi dua kali dalam selang waktu sekitar 12 jam.