Sistem Verifikasi Faktual dan PT, Pintu “Surga” Para Mafia Politik

Bagikan dengan:

perspektif

Abdul Muis Syam
AMS (Pempred DM1)

JIKA rakyat Indonesia benar-benar ingin berjuang menyelamatkan Indonesia, negeri tercinta ini, maka pada saat ini hingga April 2017 adalah saat yang paling tepat untuk fokus berjuang.

Mengapa hanya harus fokus berjuang hingga bulan tersebut?

Sebab, di DPR-RI pada bulan itu Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum (Pansus-RUU Pemilu), telah usai melakukan pembahasan “aturan main” pelaksanaan Pemilu 2019. Namun pada saat ini masih sedang dibahas.

Dan apabila UU Pemilu 2019 yang akan ditetapkan itu nantinya masih memberlakukan sistem verifikasi faktual bagi partai-partai politik (parpol), juga masih menerapkan sistem Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold (PT), maka itu artinya pintu “Surga” para mafia politik kembali terbuka lebar. Sementara pintu “Surga” Rakyat tertutup rapat.

Bila pintu “Surga” para mafia politik ini terbuka, maka seluruh mafia-mafia kelas kakap lainnya juga dipastikan akan ikut leluasa masuk. Seperti mafia pengadilan, mafia pajak, mafia proyek, dan lain sebagainya.

Dan pada saat itu, bisa dipastikan rakyat kembali lagi terjebak dengan sejuta masalah, di mana tangisan dan jeritan rakyat, juga tuntutan unjuk-rasa di kelak kemudian hari bisa dipastikan hanya menjadi syair dongeng pengantar tidur bagi rezim dan para mafia.

Sistem verifikasi faktual bagi parpol serta sistem Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold, sesungguhnya selain bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 yang asli hingga pada hasil amandemen, juga sejatinya adalah merupakan cara licik untuk tidak memberi kesempatan kepada partai-partai kecil atau orang-orang baik agar bisa tampil sebagai peserta Pemilu.

Sebab, sistem ini terasa seakan memang sengaja dirancang untuk meninggikan tingkat kesulitan bagi parpol-parpol kecil yang tak berduit agar tersingkir pada verifikasi faktual.

Kalaupun lolos dalam verifikasi faktual, “energi” parpol-parpol kecil tersebut tentu sudah sangat berkurang dan bahkan habis, sehingga parpol-parpol “incumbent” dapat dengan mudah menghajarnya dalam pemilu DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten-kota.

Kondisi seperti itu sangat saya alami dan rasakan sendiri pada pengalaman dua periode pemilu (untuk 2009 dan 2014) sebagai ketua Partai Kedaulatan tingkat provinsi.

Sebagai parpol kecil yang tak berduit, namun memiliki idealisme yang sangat tinggi untuk dapat melakukan perubahan dan perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan di negeri ini, Partai Kedaulatan pun menjadi pilihan saya untuk melakukan pengorbanan dan pengabdian.

Pada verifikasi faktual untuk Pemilu 2009 saja, tiga unit mobil saya (Kuda Grandia, Grand Livina, serta angkot) melayang, dan bahkan sertifikat rumah saya harus jadi agunan hanya untuk membiayai perjuangan Partai Kedaulatan agar dapat lolos pada verifikasi faktual Pemilu 2009.

Di antaranya adalah untuk membiayai sewa/kontrak sekretariat partai untuk seluruh tingkatan, papan nama sekretariat, baliho, bendera dan umbul-umbul partai, pengadaan baju dan KTA untuk anggota, serta ongkos rapat-rapat konsolidasi, dan lain sebagainya.

Pada saat itu, meski saya berhasil meloloskan Partai Kedaulatan pada verifikasi faktual di tingkat provinsi bersama dengan kawan-kawan ketua provinsi lainnya senasional, hingga dinyatakan lolos sebagai salah satu partai peserta Pemilu 2009. Namun ketika memasuki “arena” perebutan Parliamentary Threshold (pencalegan),  sekaligus Presidential Threshold, tentulah saya sudah tak berkutik lagi.

Sementara parpol-parpol incumbent pada situasi seperti itu sudah pasti tidaklah begitu merasakan kesulitan. Sebab selain memang telah memiliki sekterariat di seluruh tingkatan, uang iuran dari anggota atau pengurus teras parpol, uang “upeti” dari anggota-anggota legislatif mereka yang tersebar di banyak daerah, mereka juga mendapatkan uang bantuan pembinaan parpol dari APBN/APBD karena sebagai parpol pemilik kursi di legislatif.

Jika saya hanya ingin asal-asal memilih pasangan calon presiden (capres), tentu saya cukup menunggu hasil “buruan” capres dari parpol-parpol lama. Atau jika saya hanya ingin memburu jabatan untuk menduduki kursi sebagai anggota dewan (DPR atau DPRD), tentu saya tak perlu memilih partai kecil yang tak berduit.

Pengalaman riil dua periode Pemilu dalam memperjuangkan partai kecil itu, membuat saya dapat mengambil beberapa kesimpulan.

Bahwa, keinginan memberlakukan sistem verifikasi faktual, Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold, sesungguhnya hanyalah merupakan cara-cara licik dari sebagian besar parpol incumbet dengan maksud agar dapat:

  1. Menghalau laju partai-partai kecil yang berkadar pro-rakyat yang tinggi agar tidak masuk dalam lingkungan pemerintahan.
  2. Menghambat langkah tokoh-tokoh pergerakan perubahan yang memiliki kualitas, kapasitas, kredibilitas dan integritas yang tinggi agar tidak maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.

Dan kesemuanya itu bertujuan agar dapat mempertahankan oligarki dan dinasti kekuasaan di dalam pemerintahan bagi para parpol incumbent.

Olehnya itu, pemberlakuan sistem verifikasi faktual dan Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold, sesungguhnya hanyalah bagai pintu “surga” bagi para mafia politik, sekaligus dapat disebut kriminalisasi Pemilu.

Disebut demikian, karena semakin tinggi capaian Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold dari sebuah parpol pada “babak final” dalam Pemilu, membuat semakin tinggi pula “nilai jual” parpol tersebut.

Dan pada kondisi “final” seperti itu, tentulah akan membuka peluang para cukong politik bersama para mafia lainnya bergotong-royong untuk berusaha “membeli” capaian Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold tersebut. Yakni, untuk memajukan pasangan calon presiden sesuai selera mereka, bukan selera rakyat.

Sehingga hal inilah yang membuat kelak seorang presiden yang terpilih dari cara-cara seperti ini, itu dipastikan sulit berpihak kepada rakyat karena telah tersandera sejak awal oleh politik transaksional.

Jika demikian, pelaksanaan Pemilu dengan sistem verifikasi faktual dan Parliamentary Threshold serta Presidential Threshold itu, sepertinya hanya layak disebut acara “gunting pita” pembukaan “pintu surga” dalam pemerintahan buat para mafia politik beserta para mafia kelas kakap lainnya.

Kalau mau benar-benar menghidupkan demokrasi, dan jika benar-benar ingin memunculkan presiden terbaik, maka di dalam Pemilu negara harus menjamin suara rakyat serta hak-hak politik seluruh warga agar tidak terkebiri oleh sebuah penerapan sistem verifikasi dan ambang batas.

Yakni, negara  harus memberi kesempatan kepada seluruh parpol yang berbadan hukum (di Depkumham) untuk memajukan pasangan calon presiden masing-masing. Selanjutnya, biarkan rakyat bebas memilih parpol-parpol, caleg-caleg, dan pasangan calon presiden mereka tanpa harus dibatasi dengan sebuah sistem yang hanya menguntungkan segelintir kelompok tertentu. Dan hanya dengan cara begitu Pemilu bisa disebut terselenggara sesuai konstitusional.

(ams/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

1,663 views

Next Post

Aktivis Medsos: Tinggalkan Isu SARA, Fokus ke Isu Korupsi Ahok

Ming Jan 29 , 2017
DM1.CO.ID, JAKARTA: Seperti yang sudah diduga oleh sejumlah pengamat dan pemerhati sosial, bahwa tiga minggu menjelang pencoblosan, lembaga-lembaga survey bayaran Taipan pendukung Ahok telah berlomba-lomba mengatrol elektabilitas Ahok naik hingga ke level 30-an persen.