Aktivis Medsos: Tinggalkan Isu SARA, Fokus ke Isu Korupsi Ahok

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Seperti yang sudah diduga oleh sejumlah pengamat dan pemerhati sosial, bahwa tiga minggu menjelang pencoblosan, lembaga-lembaga survey bayaran Taipan pendukung Ahok telah berlomba-lomba mengatrol elektabilitas Ahok naik hingga ke level 30-an persen.

Bahkan sejumlah aktivis media sosial (medsos) melihat bahwa lembaga-lembaga survey tersebut telah sengaja meluncurkan hasilnya sebelum acara debat cagub DKI, Jumat (27/1/2017). Dan ini, menurut mereka, sungguh tidak masuk akal seorang terdakwa penista agama dapat terus meningkat elektabilitasnya. Ini sejarah baru di Indonesia, tapi entah sejarah ini akan berujung ke mana.

Informasi yang berhasil dirangkum dari aktivis medsos juga menyebutkan, bahwa para taipan pendukung Ahok yang rasis –Chinese Kristen–  telah keblinger mendukung Ahok  demi tujuan kejayaan ras dan agama mereka di atas agama dan ras mayoritas di Jakarta.

Mereka (para taipan pendukung Ahok yang keblinger) tersebut, katanya, tak sadar akan konsekuensi dari perjuangan mereka memenangkan Ahok: meletusnya konflik rasial di Jakarta yang dapat menyebar ke seluruh Indonesia.

Para Taipan dan kelas menengah atas etnis mereka ini, katanya, seolah tidak peduli dengan potensi konflik yang bisa saja sewaktu-waktu meletus, sebab mereka juga sewaktu-waktu bisa langsung terbang ke luar negeri bila nanti meletus konflik rasial.

Dan, katanya, wajar saja para Taipan rasis (sejumlah lapisan menengah atas) tersebut mendukung Ahok, karena sebenarnya Ahok juga sangat rasis. Tetapi kasihan nasib etnis mereka yang kelas menengah ke bawah yang tidak mampu ke luar negeri, bisa-bisa menjadi korban.

Menurut kabar, selama menjadi Gubernur  DKI, Ahok sengaja memilih para staf yang berasal dari etnis Chinese untuk menjadi semacam kepala-kepala dinas (kadis) “bayangan”. Di mana para kadis DKI harus selalu berkonsultasi dengan para kadis bayangan tersebut.

Bukan cuma itu, dari hasil penelusuran juga dikabarkan terdapat sekitar 80% direktur BUMD DKI yang diangkat semasa Ahok menjabat adalah berasal dari etnis Chinese. Jadi, menurut sejumlah aktivis medsos, sebenarnya tidak pantas bila slogan Bhinneka Tunggal Ika digunakan untuk membela-bela Ahok yang sejatinya rasis.

Kedekatan Ahok dengan para Taipan ini sepertinya memang bukan hanya isapan jempol. Sebab, Ahok sendiri sempat melontarkan pernyataan di suatu media, bahwa bila kelak gagal nyagub di DKI dirinya sudah ada perusahaan yang siap menggajinya Rp.250 Juta minus berbagai tunjangan.

Adik Ahok (Basuri), diungkapkan, juga sudah menjalankan tradisi ini dengan menjadi pegawai Taipan Darmono (pemilik grup Jababeka) selepas gagal nyalon di Babel.  Menurut informasi, beberapa tahun lalu selepas gagal nyagub di Babel dan Sumut dan sebelum menjadi gubernur DKI, Ahok mendekat ke grup Sinar Mas.

Saking dekatnya dengan Ahok, grup ini sekarang sedang mencari-cari parpol yang dapat mereka beli untuk dapat calonkan Ahok di Pilpres 2019. Dan dikabarkan, mereka sempat tawarkan dana Rp.500 Miliar untuk beli sebuah parpol kecil non parlemen.

Namun para pemerhati sosial beserta aktivis media sosial lainnya mengimbau, bahwa sebaik-baiknya para penentang Ahok yang rasional sudah saatnya move on dari isu SARA, karena akan terlalu rentan dampaknya bagi keutuhan NKRI.

Lagi pula, katanya putusan pengadilan Ahok sebagai terdakwa penista agama pasti akan diperlambat hingga jauh setelah pencoblosan pilkada DKI. Dan hal ini dikuatkan dengan adanya kabar yang menyebutkan, Kapolda DKI sudah melempar statemen bahwa putusan perkara Ahok baru akan turun di sekitar bulan Mei 2017.

Olehnya itu, katanya, isu SARA hendaknya ditinggalkan, dan segera fokus ke masalah hukum yang saat ini banyak melilit Ahok, terutama yang terindikasi tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pada acara Debat kedua Pilkada DKI, Jumat malam (27/1/2017), Silviana Murni sempat mencecar masalah dana off-budgeter sebagai ganti pelanggaran koefisien luas bangunan (KLB) oleh pengembang. Ahok nampak sekali sempat gelagapan dengan mengatakan bahwa pembayaran dilakukan dengan kerelaan dan sebagainya, karena itu tidak perlu masuk budget sesuai amanat UU keuangan negara, cukup dengan MoU.

Tentu logika berpikir Ahok ini, katanya, jelas merupakan bukti pelanggaran hukum yang serius, karena itu perlu ditindaklanjuti oleh aparat penegak hokum. Sejumlah aktivis medsos pun menilai, bila aparat hukum terkesan lamban, maka ini tentu akan terus mendapat tekanan dari gerakan masyarakat sipil.

Yang lebih jelas adalah skema dana off-budgeter pada pengembang reklamasi Teluk Jakarta. Terpidana kasus suap raperda reklamasi Ariesman Widjaya selaku Dirut grup Podomoro, bahkan sudah bersaksi di pengadilan bahwa dirinya telah menyetorkan kepada Ahok dana kontribusi sebesar Rp 1,9 Triliun.

Itu baru dari Podomoro, belum dari para pengembang reklamasi yang lain. Sehingga para pengamat hukum beserta banyak pihak pun mempertanyakan, bahwa ke mana kiranya dana sebesar itu digunakan, bila tidak mampu diawasi oleh DPRD dan publik? Siapa yang menjamin dana ini tidak lari ke kantong keluarga Ahok ataupun timsesnya? Tentu aparat penegak hukum juga harus serius masuk ke soal ini.

Selain itu, katanya, yang juga harus serius disoroti kembali adalah tentang kasus Sumber Waras. Pernyataan Kartini Mulyadi, ketua yayasan Sumber Waras, yang mengatakan bahwa dirinya mengembalikan dana Rp.400 Miliar dari total Rp.755 Miliar yang dibayarkan Pemda DKI, bisa menjadi pintu masuknya. Siapa yang menampung dana Rp.400 Miliar yang dikembalikan tersebut, dan digunakan untuk apa? Belum jelas?!? karena itu haruslah ditelusuri!

Dikatakannya, bila diamati seksama, Ahok memang kerap menggunakan kebijakan yang berhubungan dengan properti dan lahan untuk melakukan tindakan korupsi. Selain kasus dana  off-budgeter kontribusi pengembang properti dan pembelian lahan Sumber Waras, ada juga kasus pembelian lahan Cengkareng.

Diungkapkannya, dalam kasus tersebut, Ahok terbukti memberikan disposisi untuk membeli lahan di Cengkareng Barat sebesar Rp.668 Miliar dari seorang yang bernama Toeti Soekarno. Padahal lahan tersebut masih dalam sengketa dengan pihak Pemda DKI, karena menurut audit BPK ternyata masih merupakan milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI.

Pola ini, katanya, mirip dengan yang hampir terjadi pada kasus rencana pembelian lahan Kedubes Inggris di bilangan Thamrin. Ahok ngotot membeli lahan itu seluas 5000 meter dengan harga Rp.479 Miliar. Sudah dilakukan MoU segala, ternyata belakangan diketahui, bahwa menurut BPN lahan tersebut sebenarnya adalah milik negara. Akhirnya plt Gubernur DKI Soemarsono membatalkan pembeliannya.

Olehnya itu, sejumlah pengamat sosial beserta aktivis medsos menggaris-bawahi, bahwa Ahok memang terlihat bersih dan terbuka untuk setoran dana kecil. Tapi untuk dana-dana setoran yang besar, seperti setoran dari para pengembang, Ahok sangat tertutup.

Kabarnya, yang mengurusi hal ini adalah adiknya yang bernama Fifi, yang terbukti memiliki perusahaan cangkang di Panama Papers. Dan dengan mengetahui “seluk-beluk” masalah hukum Ahok tersebut, para lawan politik Ahok pun saat ini tak ragu untuk menghabisi Ahok, terutama pada masalah hukum tindak pidana korupsi, karena celahnya memang sangat terlihat dan terbuka.

Olehnya itu, tidak sedikit kalangan yang saat ini sangat berharap semoga debat Cagub DKI berikutnya bisa mengangkat tema menyangkut masalah penegakan hukum. Tapi kalaupun akhirnya bukan tema tersebut yang diangkat KPUD DKI, sudah menjadi tugas dari pasangan no 1 dan no 3 untuk mengangkatnya, mencecar masalah hukum Ahok. Tentu dengan bahasa yang jelas dan sederhana, sehingga mudah dipahami publik. Dan tak perlu lagi menggulirkan isu SARA.

(dbs-ams/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

12,594 views

Next Post

BRI Gorontalo Tawarkan Berbagai Aplikasi Kemudahan

Sen Jan 30 , 2017
DM1.CO.ID, GORONTALO: Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi, membuat Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai salah satu satu bank milik negara yang tertua dan terbesar di Indonesia, berkomitmen untuk memberi pelayanan terbaik bagi semua pihak, yakni masyarakat, pemerintah dan seluruh stakeholder lainnya.