(DM1, Jakarta): SEBELUM PDIP ikut mendukung, “tiket” Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebetulnya sudah melampaui syarat 22 kursi yang ditentukan untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017, yakni sebesar 24 kursi dari tiga parpol pendukungnya (Golkar, Hanura, Nasdem).
Namun karena kecemasan yang begitu tinggi, seolah-seolah sadar bahwa rakyat begitu banyak yang menolak pencalonannya, Ahok pun terus “menekan” PDIP untuk dapat ikut bergabung dengan Golkar, Hanura, dan Nasdem sebagai parpol pendukungnya.
Hingga akhirnya, PDIP pun “takluk” di hadapan orang yang juga dikenal sebagai gubernur tukang gusur rakyat miskin itu dengan cara-cara kasar dan kejam.
Dari situ, tidak sedikit orang pun yang mengaku heran, mengapa PDIP yang telah mengklaim dirinya sebagai partai wong cilik itu harus “terpanggil” ikut mendukung Ahok.
Bukankah selama ini Ahok justru banyak menyakiti hati dan menumpahkan air mata rakyat lapisan bawah (wong cilik) demi membela kepentingan pengembang? Jika jawabnya “ya”, maka apakah keliru apabila orang-orang kemudian menyebut: “Sah! PDIP penindas wong cilik?”
Tampaknya, untuk menjawab pertanyaan “sah” atau tidaknya PDIP sebagai parpol penindas wong cilik, bukan hanya bisa diukur dari sikap PDIP yang telah mendukung Ahok untuk kembali maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, tetapi juga sebelumnya dapat disaksikan langsung ketika Jokowi sebagai petugas partai (PDIP) berhasil menduduki tahta pemerintahan, 2014 silam.
Bahwa bukankah memang pada awal-awal pemerintahannya, Jokowi (sekali lagi, sebagai petugas partai) sudah langsung “mencekik leher” rakyat dengan menaikkan harga (mencabut subsidi) BBM, listrik, yang membuat kemudian harga-harga kebutuhan pokok rakyat menjadi meroket?
Dan dalam situasi seperti itu, di mana dan ke mana PDIP yang mengaku partai wong cilik??? Jawabnya: “berdiam diri”.
Bandingkan ketika SBY memerintah! PDIP begitu sangat lantang bersuara menolak dengan berapi-api kebijakan SBY yang ingin menaikkan harga BBM ketika itu.
Lalu mengapa PDIP saat ini begitu sangat berubah? Jawabnya, sangat boleh jadi karena otot-otot “banteng moncong putih” telah menjadi kuat berkat adanya “asupan gizi” dari kelompok-kelompok tertentu sehingga dapat “rela” dijadikan tunggangan “bisnis” oleh kelompok-kelompok tertentu tersebut.
Atau apakah “banteng moncong putih” yang ada saat ini adalah hasil dari “inseminasi buatan”? Sebab, sangat nampak bahwa “banteng” yang kelihatan saat ini sepertinya bukan lagi banteng seperti yang dulu dikenal, yang selalu “mengamuk” ketika rakyat kecil (wong cilik) ditindas oleh sang penguasa. Banteng sekarang justru sangat kelihatan lebih memilih membela kepentingan wong gede, seperti pengembang, pengpeng, asing, aseng, dan lain sebagainya guna leluasa “mencabik-cabik” negeri ini.
Dan ketika itu memang sudah terjadi, di mana PDIP saat ini adalah sebagai parpol penguasa yang dinilai telah berhasil “menarik hidung” parpol-parpol lainnya, lalu masih adakah parpol tersisa yang bisa menghapus air mata rakyat kecil di negeri ini yang banyak ditumpahkan oleh Ahok? Kita tunggu, apakah parpol-parpol yang tersisa saat ini bisa segera memunculkan sosok cagub yang benar-benar menjadi lawan sesungguhnya buat Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017!!!
Kalau toh nantinya parpol-parpol yang tersisa saat ini ternyata hanya memunculkan sosok yang bukan lawan sebenarnya buat Ahok, maka bisa dipastikan parpol-parpol yang tersisa tersebut juga telah menjadi “pemeran pembantu dalam menyukseskan permainan” politik PDIP yang kini “SAH” menjadi musuh wong cilik itu dalam Pilgub DKI Jakarta 2017.