Oleh: Heintje Grontson Mandagie*
DM1.CO.ID, OPINI: Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) secara mengejutkan meminta pemerintahannya dikritik. Permintaan itu pun menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan.
Tak lama berselang, Presiden Jokowi kembali membuat pernyataan yang menggemparkan se-antero penjuru tanah air. Secara tegas Presiden Jokowi meminta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu direvisi jika tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Pernyataan Presiden itu disampaikannya menyusul maraknya aksi saling lapor ke polisi yang menjadikan UU ITE sebagai rujukan hukumnya.
Sikap Presiden tersebut patut diapresiasi. Sebab, kedua hal penting yang disampaikan Presiden Jokowi itu sangat relevan dengan persoalan serius yang sedang dihadapi insan Pers di seluruh Indonesia.
Pers yang selama ini kerap menjadi “korban” penerapan UU ITE, kini memiliki harapan baru jika UU ITE tersebut benar-benar jadi direvisi. Namun begitu, Presiden Jokowi sepertinya perlu ditantang agar lebih berani bertindak untuk menjamin penegakan kemerdekaan Pers.
Bagi insan Pers, presiden seharusnya tidak perlu menunggu terlalu lama melakukan kajian tentang kemudaratan penerapan UU ITE di masyarakat. Sebab pada prakteknya, banyak sekali kepala daerah dan pejabat publik justru menggunakan UU ITE sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari kontrol Pers dan memilih melaporkan wartawan dan media ke polisi dengan rujukan UU ITE, bukan UU Pers ketika dirinya diberitakan terlibat dugaan korupsi atau penyimpangan anggaran.
Presiden juga seharusnya mengetahui di negeri ini ada harga “nyawa” dan “jeruji besi” untuk nilai sebuah berita. Karena tak sedikit wartawan dan perusahaan media yang memuat berita tentang dugaan korupsi kepala daerah atau pejabat publik dan pengusaha harus mendekam di balik jeruji besi karena dikriminalisasi dengan rujukan UU ITE tersebut.
Bahkan di tahun 2018 lalu ada wartawan (Muhammad Jusuf) di Kalimantan Selatan tewas dalam tahanan akibat berita yang ditulisnya dijerat UU ITE.
Akibat dari itu jaminan perlindungan hukum terhadap wartawan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi tidak berlaku karena penyidik Polri lebih memilih menggunakan UU ITE ketimbang UU Pers dalam menangani laporan tentang pelanggaran UU ITE terkait pemberitaan di media online.
Terkait permintaan kritik terhadap pemerintah yang disampaikan presiden untuk meningkatkan pelayanan publik, perlu ditanggapi serius. Sebab insan Pers pernah memiliki pengalaman buruk terkait pelayanan publik yang diabaikan presiden.
Masih segar dalam ingatan, ketika semangat pergerakan kemerdekaan Pers pada pelaksanaan Musyawarah Besar Pers Indonesia tahun 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019, memicu pergerakan nasional kebebasan Pers di berbagai daerah di Indonesia.
Namun sangat disayangkan rekomendasi hasil keputusan insan Pers melalui dua even besar tersebut diabaikan presiden. Rekomendasi hasil Kongres Pers Indonesia tahun 2019 yang melahirkan 21 orang Anggota Dewan Pers Indonesia (DPI) secara demokratis, sebetulnya telah diserahkan ke presiden pada tanggal 16 April 2019, namun tidak digubris sama sekali.
Untunglah insan Pers konstituen Dewan Pers Indonesia tidak marah atas sikap presiden. Nyaris tidak ada media yang protes atau mempertanyakan sikap presiden tersebut.
Meskipun begitu perjuangan menegakan kemerdekaan Pers masih terus berlanjut. Penolakan terhadap pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) secara ilegal oleh Dewan Pers (DP) dan organisasi konstituennya dilawan dengan mekanisme pelaksanaan yang sesuai aturan perundang-undangan, yakni penyusunan Standar Kompetensi Kerja Khusus Wartawan melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia lewat pengajuan lisensi di Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP.
Semua persoalan tentang Pers yang diulas di atas, sesungguhnya sudah pernah tertuang dalam satu Surat Terbuka kepada presiden yang dilayangkan pada tahun 2018 lalu. Begitu viral surat terbuka tersebut dipublikasikan di ratusan media online se-Indonesia, namun tak ada respon sama sekali dari presiden. Padahal kritikan dalam surat tersebut sangat jelas menggaris-bawahi keresahan insan Pers tanah air atas maraknya kriminalisasi Pers di rezim ini.
Sehina itu kah puluhan ribu media online yang disebut abal-abal oleh Dewan Pers sehingga layak dikriminalisasi dan tidak layak diperhatikan oleh yang “mulia” Presiden RI Joko Widodo? Atau tidak berartikah upaya mayoritas masyarakat Pers mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan Pers nasional melalui Mubes Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 di mata Presiden RI Joko Widodo?
Presiden mungkin lupa, bahwa ketika bangsa ini nyaris terpecah dua akibat terpolarisasi dalam situasi pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019 lalu, ribuan media online lokal justru berperan aktif menyejukkan suasana politik dengan pemberitaan yang netral karena takut dikriminalisasi.
Media mainstream nasional justru terlihat asyik dengan liputan kerusuhan secara berulang-ulang di media televisi. Bahkan konflik dan perbedaan politik menjadi komoditas industri media di saat Pilpres kemarin. Kini semua konflik sudah berlalu dan situasi sudah harmonis kembali.
Sekarang ini Presiden Jokowi harus tahu, bahwa di berbagai daerah masih banyak Pemerintah Daerah terjebak menggunakan Peraturan Dewan Pers menjadi syarat kerja sama dengan perusahaan media, meskipun Peraturan Dewan Pers itu bukan merupakan bagian dari Peraturan Perundang-Undangan.
Bagaimana mungkin Pemerintah Daerah menggunakan peraturan lembaga independen menjadi syarat pengelolaan administrasi pemerintahan?
Celakanya, dalam penyelesaian sengketa Pers pun Dewan Pers sering membuat rekomendasi kepada penyidik Polri bahwa wartawan dan media yang menjadi teradu adalah tidak terdaftar atau belum terverifikasi Dewan Pers, sehingga pengadu bisa menempuh aturan hukum lain di luar UU Pers. Hal inilah yang menyebabkan maraknya praktek kriminalisasi Pers di berbagai daerah.
Bahkan sadarkah presiden bahwa indeks kebebasan Pers Indonesia tahun 2020 menurut Lembaga Pemantau Reporters Without Borders, tercatat masih berada pada level bawah, yakni pada peringkat 119 dari 180 negara, dan tahun sebelumnya pada level 124.
Dalam halaman resminya, Lembaga ini menyebutkan, Presiden Jokowi gagal memenuhi janji kampanyenya yang menjanjikan penghormatan terhadap kebebasan Pers selama masa jabatan lima tahun pertamanya.
Artinya, tanggung-jawab indeks kebebasan Pers Indonesia dibebankan kepada Presiden Jokowi oleh Lembaga Pemantau Reporters Without Borders. Terlebih lagi, presiden dan jajaran pemerintahannya mungkin lupa, bahwa puluhan ribu media online yang “dihina” oleh Dewan Pers dengan sebutan abal-abal dan didirikan untuk tujuan memeras, sesungguhnya adalah mayoritas masyarakat Pers Indonesia yang telah menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan bagi wartawan yang ikut membayar pajak sebagai kontribusi nyata bagi pemasukan APBN.
Bagaimana mungkin Presiden Joko Widodo tutup mata dengan nasib puluhan ribu perusahaan media berbadan hukum dan ratusan ribu wartawan ini yang kini berharap lebih kepada Dewan Pers Indonesia (DPI) untuk memperjuangkan nasibnya?
Saat ini DPI sedang fokus memperjuangkan belanja iklan nasional untuk bisa ikut terserap ke daerah agar tidak hanya dimonopoli oleh media nasional. Sebagai kritik DPI terhadap presiden adalah sikap pemerintah yang selama ini melakukan pembiaran terhadap pelanggaran Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang dilakukan seluruh Lembaga Penyiaran Swasta Nasional yang masih melakukan kegiatan siaran secara nasional.
Sejak tahun 2005, batas akhir Lembaga Penyiaran Swasta menyesuaikan operasional dan perizinannya dengan Undang-Undang Penyiaran, namun pelanggaran yang terjadi sesudah itu tidak pernah ditindak, termasuk oleh pemerintahan saat ini.
Lembaga Penyiaran Swasta yang kemudian mendirikan perusahaan TV Lokal ternyata sebagian besar masih merelay siaran nasional melebihi batas prosentasi jumlah siaran nasional yakni hanya 40 persen dan konten siaran lokal sebanyak 60 persen.
Dampak dari pelanggaran UU Penyiaran ini, Lembaga Penyiaran Swasta bidang usaha Televisi dan Radio masih saja menyiar secara nasional. Padahal hanya TVRI dan RRI yang boleh menyiar secara nasional, selain dari pada itu perusahaan TV dan radio swasta nasional yang sudah ada sebelumnya harus mendirikan perusahaan TV lokal dengan frekwensi wilayah penyiaran terbatas.
Pelanggaran UU Penyiaran oleh Lembaga Penyiaran Swasta ini berpengaruh pada distribusi belanja-belanja iklan nasional yang hanya terpusat di Jakarta dan dimonopoli oleh perusahaan media Televisi.
Hal itu disebabkan pengguna jasa periklanan lebih memilih beriklan di media televisi yang jangkauan siaran dan relay siarannya mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini pun adalah praktek monopoli. Karena perusahaan agency periklanan di Jakarta saja yang menikmati tender belanja iklan nasional, sementara perusahaan agency lokal terpaksa gigit jari. Ada potensi pelanggaran Undang-Undang anti monopoli di situ.
Padahal, jika seluruh Lembaga Penyiaran Swasta bidang usaha Televisi dan Radio sudah menjadi perusahaan lokal di setiap provinsi, maka pada gilirannya belanja iklan nasional akan secara otomatis terdistribusi ke daerah. Pengguna jasa periklanan akan memilih mendistribusi belanja iklan promosi produk melalui perusahaan-perusahaan media lokal. Dan hal inilah yang sedang diperjuangkan oleh Dewan Pers Indonesia (DPI) melalui Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) di berbagai daerah bersama-sama dengan organisasi Pers konstituen lainnya.
Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Provinsi Riau menjadi pilot project dengan program Diskusi Media bertema “Monopoli Belanja Iklan nasional dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Belanja Iklan Nasional”.
Respon yang sangat luar biasa dari Ketua DPRD Sumut dan jajarannya semakin memuluskan tindak-lanjut dari hasil diskusi media yang digagas SPRI tersebut.
Belanja iklan nasional yang menjadi sumber potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) nantinya dapat diatur melalui Ranperda. Dan menariknya, SPRI kini diminta oleh pimpinan DPRD untuk membuat kajian naskah akademis terkait penyusunan Draft Ranperda tentang Belanja Iklan dimaksud.
Dari pemaparan di atas, ada beberapa poin penting yang harus dilakukan presiden. Presiden Jokowi harus berani memerintahkan aparat penegakan hukum dan Komisi Penyiaran Indonesia menindak tegas Lembaga Penyiaran Swasta yang melakukan pelanggaran pidana dan adminsitrasi terhadap pelaksanaan UU Penyiaran.
Presiden juga perlu mendorong pemerintah daerah memfasilitasi perusahaan agency lokal untuk menyusun konsep promosi iklan produk nasional melalui perusahaan media lokal yang lebih efektif dan berbiaya terjangkau.
Dan selain itu, presiden bisa memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mendukung langkah yang saat ini sedang ditempuh DPRD Sumut yang menginisiasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Belanja Iklan Nasional menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah, sehingga bisa dilaksanakan secara nasional di seluruh Indonesia.
Dengan cara ini, maka perusahaan Pers di daerah akan memiliki peluang besar mendapatkan jatah belanja iklan, sehingga tidak perlu lagi, –maaf, “mengemis” kontrak kerja sama dengan pemerintah daerah untuk menutupi biaya operasional media.
Langkah ini akan sangat efektif menciptakan perusahaan media yang independen dan profesional. Pada gilirannya Pers Indonesia bisa sejahtera dan negara akan maju karena fungsi kontrol sosial Pers berjalan baik.
——-
Penulis adalah Ketua Dewan Pers Indonesia (DPI)