DM1.CO.ID, JAKARTA: Salah satu tujuan didirikannya LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) adalah untuk memperkuat ekspor nasional. Namun kenyataan saat ini, LPEI justru menjadi mesin penghasil uang bagi koruptor negeri ini. Dan negara pun dirugikan hingga Rp11,7 Triliun.
Demikian disampaikan Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, dalam rilisnya yang dikirim ke meja redaksi DM1, Jumat siang (11 Juli 2025).
LPEI, menurut Achmad, bagai mobil mewah yang dimodifikasi untuk balapan liar oleh oknum tak bertanggung jawab. Keberadaan LPEI disalahgunakan hingga kehilangan fungsi dasarnya sebagai lembaga pembiayaan ekspor yang sehat.
“Kasus korupsi LPEI ini mengingatkan kita pada pepatah lama, ‘Jerami emas pun akan habis bila dimakan tikus rakus’,” ujar Achmad.
Dikatakannya, fasilitas kredit triliunan rupiah yang seharusnya membantu eksportir nasional menembus pasar dunia, malah habis dikorupsi segelintir orang.
Achmad menyatakan, korupsi di LPEI ini boleh dikatakan adalah bukti kegagalan OJK, dengan sistem tata kelola yang hanya formalitas.
“Ini adalah bukti bahwa tata kelola (governance) di banyak lembaga keuangan negara masih bersifat formalitas. OJK dari peristiwa korupsi telah kehilangan kredibilitasnya,” tutur Achmad.
Disebutkannya, OJK saat ini hanya seperti pagar berduri yang ditancapkan tanpa kawat listrik. Artinya, hanya untuk menakut-nakuti tetapi tidak mencegah pencuri masuk.
Achmad juga menganalogikan ibarat lampu jalan yang hanya berfungsi untuk penerangan, tetapi tidak ada kamera CCTV atau patroli polisi.
“Koruptor melenggang bebas di bawah terang lampu hukum, karena hukum hanya menyinari tetapi tidak menindak,” ujarnya.
“Itulah kondisi LPEI dan lembaga serupa. Ada regulasi, ada prosedur, namun nihil pengawasan substansial,” tegasnya.
Sebab, menurutnya, dugaan korupsi LPEI bermula dari pemberian fasilitas kredit kepada debitur yang tidak memenuhi kelayakan.
“Faktanya, investigasi menunjukkan proses verifikasi nyaris tidak dilakukan. Kredit tetap cair, meski perusahaan penerima (PT Petro Energy, misalnya) tidak memiliki rekam jejak keuangan memadai,” beber Achmad.
Ia menegaskan, jika mengkaji tanggung jawab pimpinan, maka logika dasar hukum administrasi publik dan pidana korupsi jelas menyatakan bahwa direksi yang menandatangani dan memerintahkan pencairan tanpa verifikasi, itu harus dimintai pertanggungjawaban.
“Namun, penegakan hukum seringkali tebang pilih, sehingga menimbulkan defisit kepercayaan rakyat,” katanya.
Achmad juga menyinggung seputar struktur yang rentan disalahgunakan, dengan kebijakan tanpa imunitas korupsi.
Ia menjelaskan, LPEI adalah lembaga non-bank milik negara dengan wewenang strategis menyalurkan pembiayaan ekspor menggunakan dana APBN.
Namun, kata Achmad, posisinya yang berada di ‘pinggir regulasi’ perbankan nasional, menjadikannya celah empuk bagi moral hazard.
“Tidak diawasi ketat layaknya bank umum, dan tidak diaudit berkala oleh auditor independen eksternal, LPEI bagaikan kolam yang diisi banyak ikan, tanpa jaring pengaman dari serangan buaya koruptor,” ungkapnya.
Kasus ini, lanjut Achmad, membuktikan bahwa ketika kebijakan tidak disertai imunitas terhadap korupsi, maka seberapa mulia pun tujuan lembaga tersebut hanya akan berakhir sebagai slogan kosong.
Achmad pun mengurai terkait kasus korupsi di LPEI ini bukanlah sekadar angka kerugian negara, tetapi sangat berdampak buruk pada kondisi ekonomi dan sosial.
“Dampak ekonomi dari kerugian Rp11,7 triliun, bukan sekadar defisit APBN atau beban fiskal tambahan. Lebih dari itu, ini adalah kerugian pembangunan. Dana yang seharusnya membantu UMKM eksportir memperluas pasar ke luar negeri, memperkuat devisa, dan menciptakan lapangan kerja, justru lenyap tanpa hasil,” jelasnya.
Dalam jangka panjang, menurut Achmad, ini menurunkan kredibilitas Indonesia di mata investor internasional dan memperbesar ketidakpercayaan rakyat pada lembaga keuangan negara.
Achmad pun memberi beberapa rekomendasi yang harus dilakukan ke depan. “Pertama, kita membutuhkan penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi. Direksi dan pengurus yang terlibat harus diadili secara transparan. Tidak ada kebijakan pembangunan yang dapat berjalan tanpa penegakan hukum yang adil,” jelasnya.
Kedua, menurut Achmad, memperkuat sistem whistleblower dengan insentif dan perlindungan hukum yang nyata. “Dalam banyak kasus, korupsi terungkap karena keberanian segelintir orang di dalam sistem. Negara harus melindungi mereka yang berani jujur,” ujarnya.
Ketiga, lanjut Achmad, audit independen wajib dilakukan setiap enam bulan dengan publikasi terbuka. “Audit yang hanya menjadi dokumen internal akan menimbulkan moral hazard berulang. Publik berhak mengetahui bagaimana dana mereka dikelola,” katanya.
Keempat, kata Achmad, struktur lembaga pembiayaan non-bank seperti LPEI harus direformasi agar memiliki standar governance setara bank umum, termasuk pengawasan OJK dan kewajiban memiliki unit audit internal independen.
Selain itu, Achmad juga melihat pentingnya menanamkan kejujuran dan sikap anti korupsi sebagai pilar kebijakan publik yang berkeadilan.
“Di tengah narasi pembangunan, industrialisasi, dan hilirisasi, kita masih gagal menjaga integritas lembaga keuangan negara. Di balik pembangunan fisik dan megaproyek, moralitas tata kelola publik justru kerap menjadi korban,” katanya.
Keadilan sosial tidak akan pernah terwujud jika lembaga negara terus dirusak oleh korupsi.
“Rakyat kecil tetap menjadi pihak yang paling terdampak karena kehilangan kesempatan mendapat pembiayaan ekspor, kehilangan lapangan kerja, kehilangan kepercayaan pada negara,” ujarnya.
Sebagai bangsa, kata Achmad, harus berani mengatakan kebenaran. Bahwa melawan korupsi bukan sekadar penindakan, melainkan reformasi sistemik yang menjadikan kejujuran dan integritas sebagai standar normal.
Pada akhirnya, menurut Achmad, kasus LPEI menunjukkan bahwa negara belum selesai membangun pondasi moral tata kelola ekonomi.
Dikatakannya, keberpihakan pada yang marginal bukan hanya soal memberi bantuan langsung tunai atau subsidi, tetapi memastikan lembaga keuangan publik dikelola secara jujur dan adil, sehingga manfaatnya dirasakan langsung oleh rakyat kecil dan eksportir nasional yang membutuhkan.
“Kasus korupsi LPEI menampar kesadaran kita bahwa integritas dan keadilan sosial harus berjalan seiring. Jika negara gagal menegakkan kebenaran di lembaga keuangannya sendiri, maka visi Indonesia sebagai negara maju dan adil hanya akan menjadi retorika tanpa makna,” pungkasnya. (dms-dm1)