Terkait Verifikasi Media, Dewan Pers Dinilai Hoax

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, GORONTALO: Saat ini sejumlah media gencar menyebar berita bernada “ancaman” kepada pemerintah-pemerintah daerah (Pemda). Yakni, dengan menakut-nakuti Pemda, bahwa Pemda akan terkena sanksi (misalnya TGR) apabila melakukan kerja sama publikasi dengan media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers (DP).

Narasumber berita tersebut nampaknya memang berasal dari pihak Dewan Pers. Salah satunya dituliskan, bahwa sangat penting bagi sebuah perusahaan media untuk mendapatkan verifikasi, baik administratif maupun faktual. Sebab setelah terverifikasi, media tersebut akan menjadi legal dan diharapkan bekerja secara profesional.

Hal tersebut mendapat tanggapan tegas dari Heintje Mandagie selaku Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI).

Heintje menyebutkan, baik berita maupun peraturan yang dikeluarkan oleh DP terkait verifikasi tersebut adalah hoax.

Heintje menegaskan, Dewan Pers tidak punya kewenangan untuk membuat peraturan, apalagi jika peraturan tersebut untuk mengatur-atur “dapur” perusahaan media milik orang.

Menurut Heintje, dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sudah sangat jelas fungsi Dewan Pers terdiri dari 7 poin yang tak satupun menyebutkan fungsinya sebagai verifikator, yang ada disebutkan salah satu fungsinya adalah mendata perusahaan Pers.

Fungsi Dewan Pers lainnya, kata Heinjte, yakni di huruf f: “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan”.

Di huruf f tersebut, menurut Heinjte, Dewan Pers seharusnya cukup sebatas memfasilitasi organisasi-organisasi Pers dalam menyusun peraturan-peraturan.

“Berarti dia (DP) sebagai fasilitator kepada organisasi Pers dalam membuat aturan. Jadi bukan dia (DP) yang membuat peraturan lalu kemudian dia (DP) terapkan,” jelas Heinjte kepada DM1, Selasa (15/10/2019).

Kalaupun seandainya Dewan Pers diberi wewenang membuat peraturan, maka menurut Heinjte, peraturan Dewan Pers itu tidak bisa dijadikan dasar oleh pihak pemerintah untuk mengambil sikap.

Sebab, kata Heintje, Dewan Pers itu bukan merupakan lembaga negara, melainkan sebuah lembaga independen. Sehingga peraturannya tidak untuk dijadikan dasar hukum bagi pemerintah (termasuk Pemda) dalam memunculkan kebijakan.

Heintje prihatin, bahwa sekarang yang menjadi kerancuan itu, Dewan Pers membuat suatu propaganda seolah-olah bahwa media-media yang belum terverifiakasi dan sedang bekerja sama dengan pemerintah, maka pemerintah itu akan terkena dampak hukum.

“Peraturan Dewan Pers itukan bukan peraturan pemerintah, bagaimana dia berimplikasi berdampak hukum atau jadi temuan?,” ujar Heintje.

Heintje mengaku menyayangkan “perilaku” yang dipertontonkan oleh Dewan Pers yang dikabarkan telah melibatkan BPK untuk campur tangan di dalam urusan Pers, yang “ikut-ikutan” menekan Pemda agar tidak bekerja sama dengan media yang belum terverifikasi dengan alasan agar tidak jadi temuan.

Hal tersebut menurut Heintje adalah sangat keliru. Alasannya, pertama, bahwa dengan melibatkan BPK ikut campur tangan, maka itu sama saja Dewan Pers “mengkhianati” fungsinya sendiri di ayat 2 huruf a (UU No.40/1999) yang menyebutkan: “Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. melindungi kemerdekaan Pers dari campur tangan pihak lain”.

Yang kedua, kata Heintje, kalau dalam struktur tata-negara di Indonesia segala sesuatu yang bersifat implikasi hukum berarti aturan itu adalah aturan negara.

“Nah sekarang Dewan Pers itu kan bukan negara, bukan bagian dari struktur negara atau bukan bagian dari pemerintahan. Dia itu lembaga yang independen. Kalau atauran dia (DP) yang ikut dipakai oleh BPK, berarti BPK itu menganggap Dewan Pers itu adalah bagian dari pemerintahan,” terang Heintje.

Heintje juga mengaku menolak keras apabila Dewan Pers menuding seluruh perusahaan media yang belum terverifikasi disebut media “abal-abal” atau ilegal.

“Ilegal yang mana? Nih, saya punya badan hukum yang sudah disahkan oleh Kemenkumham. Kalau tuduhan kepada saya (hanya karena) belum terverifikasi, terus Dewan Pers mewajibkan verifikasi itu dasar hukumnya apa? Dewan Pers kan bukan lembaga pemerintah,” lontar Heintje.

Heintje yang kini juga sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia (DPI) inipun menegaskan, bahwa soal verifikasi itu hanya untuk kebutuhan lain, yakni kebutuhan untuk pendataan, dan bukan untuk menjadi suatu alat ukur sah atau tidaknya suatu perusahaan media.

“Kalau alat ukur yang menunjukkan sah atau tidaknya perusahaan media itu, ya, hanya ditandai dengan badan hukum sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 itu,” tegas Heintje.

Media-media berbadan hukum yang telah mengantongi SK Kemenkumham, Heintje mengingatkan, dapat mengajukan gugatan hukum kepada pihak-pihak yang telah menghambat proses kerja media dengan alasan hanya karena belum terverifikasi.

“Media-media berbadan hukum yang merasa dirugikan oleh rekomendasi dan penekanan dari Dewan Pers dan BPK, dapat mengguggat Dewan Pers dan BPK ke pengadilan. Sebab media-media itu juga diakui oleh negara karena berbadan hukum yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM,” tegas Heintje.

Sementara itu, Albert Pede selaku praktisi hukum menyebutkan, Dewan Pers seharusnya tidak melakukan upaya-upaya melawan hukum.

Albert menyebutkan, penekanan untuk tidak bekerja sama dengan media yang berbadan hukum (namun belum terverifikasi menurut versi Dewan Pers), maka itu sangat bisa dinilai telah melakukan upaya melawan hukum.

Menurut Albert, upaya-upaya yang dilakukan oleh Dewan Pers seperti menuding dan melarang media yang berbadan hukum (namun belum terverifikasi itu), bisa mengancam kelangsungan hidup perusahaan.

Dan jika itu tidak dihentikan, maka sama saja Dewan Pers secara tidak langsung sudah melakukan pembredelan perusahaan media yang jumlahnya puluhan ribu yang tersebar di seluruh Indonesia. (dm1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

51,125 views

Next Post

Kades Inomunga Diduga Lakukan Penipuan Terhadap Wartawan, Pemred DM1: Kita akan Polisikan

Sen Okt 21 , 2019
DM1.CO.ID, BOLMUT: Kepala Desa (Kades) Inomunga, inisial SD, diduga kuat sedang melakukan upaya penipuan terhadap seorang wartawan yang juga Kepala Biro DM1 (Dunia Media Satu) di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).