Herman: Jika Pasal ini yang Dipakai, Bupati Darwis Kena Ancaman 3 Tahun Penjara

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, GORONTALO: Sidang kasus dugaan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh Bupati Boalemo, Darwis Moridu, sudah memasuki tahap tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Tilamuta.

Terdakwa Darwis Moridu diseret ke pengadilan karena diduga kuat bersalah dan melanggar Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni pada Pasal 521 Jo Pasal 280 Ayat 1 huruf c dan d, dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp.24 Juta.

Dan pada sidang kelima di PN Tilamuta, Kamis (4/4/2019), Jaksa menyatakan Bupati Darwis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menghina seseorang, calon atau peserta Pemilu, menghasut, mengadu domba perseorangan atau masyarakat sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal Jaksa Penuntut Umum.

Dari sidang kelima tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun menuntut Darwis 1 bulan penjara dengan 3 bulan masa percobaan.

Menanggapi poin tuntutan yang dibacakan oleh JPU tersebut, seorang pengamat hukum dan politik, Herman Muhidin, SH, MH menyebutkan, Darwis Moridu sebetulnya juga bisa dikenakan pasal berlapis (selain Pasal 521 Jo Pasal 281 tersebut), yakni Pasal 547.

Sebab, menurut Herman, pernyataan-pernyataan “keras” yang dilontarkan Darwis Moridu pada kampanye dialogis di Desa Buti, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo itu adalah pula sebagai bupati yang tak lain juga disebut pejabat negara.

“Oleh karena pernyataan ini disampaikan oleh pejabat negara, maka diatur secara khusus dalam Pasal 547 Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” ungkap Herman.

Herman menyebutkan bunyi Pasal 547 tersebut. Yakni, “Setiap pejabat Negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

Herman juga menyinggung soal Darwis Moridu yang sempat memarahi Majelis Hakim pada saat sidang masih berlangsung, lalu meninggalkan ruang sidang meski persidangan atas dirinya belum usai.

Menurutnya, ulah Darwis itu termasuk Contempt of Court (CoC), yakni salah satu sikap yang dapat dikategorikan sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap lembaga peradilan. Sehingga akan sangat aneh jika nantinya Darwis hanya divonis ringan.

Senada dengan Herman, sejumlah pejabat di Provinsi Gorontalo yang sempat ditemui DM1 juga ada yang meyakini, bahwa Darwis marah-marah di persidangan adalah sama halnya dengan “bunuh diri”, dan akan mendapatkan vonis berat.

Selain itu, Herman juga memaparkan, bahwa tindakan yang merugikan salah seorang Caleg, terlebih jika itu dilakukan oleh bupati, maka sesungguhnya tidak memperkuat demokrasi di daerah, malah bisa menciderai demokrasi, dan bahkan berpotensi menjadikan masyarakat pemilih terprovokasi serta terbelah dalam kondisi yang saling bermusuhan.

Ironisnya, Darwis Moridu dalam marah-marahnya menyatakan bahwa semua itu ia lakukan demi membela rakyat dan partainya.

Herman mengingatkan, seorang bupati justru seharusnya menjadi penyejuk di tengah proses kontestasi yang semakin terbuka, terlebih perannya sebagai pembina partai politik di daerah.

Sebagai pejabat publik, seorang bupati sangat tidak pantas memperlihatkan emosionalnya secara berlebihan di depan umum dan di pengadilan.

Dan hal itu, menurut Herman, sesungguhnya memperlihatkan ketidak-mampuan Darwis Moridu melakukan pengendalian diri.

“Pengendalian diri itu merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, terlebih pemimpin daerah agar dapat menjadi teladan bagi aparatur daerah dan masyarakat luas,” jelas Herman.

Oleh karena itu, lanjut Herman, ketika pejabat publik tidak mengerti bagaimana bertingkah laku yang layak, berarti sesungguhnya dia tidak siap menjadi pejabat publik.

“Pemilu pada hakekatnya harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni membangun tradisi politik yang menitikberatkan pada pemberdayaan politik masyarakat, sebagai sarana pendidikan politik, pematangan berdemokrasi, komunikasi dan jejaring politik dalam mempertemukan berbagai aspirasi masyarakat melalui kepemimpinan dari proses kontestasi untuk membangun budaya politik yang bermartabat,” pungkas Herman.

Sementara itu terkait Darwis Moridu yang sempat memarahi Majelis Hakim di dalam sidang, diklarifikasi oleh Eka Muhammad Santoso selaku juru bicara Bupati Boalemo.

Di hadapan sejumlah wartawan, Eka menjelaskan, selain benar-benar telah kelelahan, faktor umur juga mempengaruhi kondisi psikologis Bupati Darwis tatkala mengikuti persidangan yang dilaksanakan hingga dinihari. (kab-ams/dm1)

Berita terkait:
1. Bupati Boalemo Tuding Gubernur Rusli “Jual Istri” dengan Bantuan?
2. Kasus Tudingan Bupati Darwis “Jual Istri” Masuk Tahap Penuntutan
3. Pagi ini, Bupati Darwis Jalani Sidang Perdana Tudingan “Jual Istri”
4. Saat Bupati Boalemo Jalani Sidang Perdana Kasus “Jual Istri”
5. Hakim Sebut Terdakwa Bupati Darwis tak Hadiri Sidang Kedua Tanpa Alasan Sah
6. Sidang ke-3 Kasus Tudingan “Jual Istri”, Keterangan Bawaslu dan Saksi Pelapor Beratkan Bupati Boalemo
7. Jaksa Tuntut Bupati Darwis 1 Bulan Penjara dengan 3 Bulan Percobaan

Bagikan dengan:

Muis Syam

4,693 views

Next Post

Dialog Publik, Gubernur: "Gairah" Perempuan Harus Dibangkitkan dalam Kancah Politik

Sab Apr 6 , 2019
DM1.CO.ID, GORONTALO: Peran dan fungsi perempuan di kancah perpolitikan Indonesia, saat ini semakin patut diperkuat dan diperhatikan. Keterwakilan kaum ibu di partai politik, pemerintahan, dan jabatan pemangku kebijakan lainnya, sangat patut diperhitungkan.