Dewan Pers, Mohon Kembalilah ke Jalan yang Benar: Jangan Jadi “Firaun”!

Bagikan dengan:

Oleh: Abdul Muis Syam*

DM1.CO.ID, OPINI: Sudah sekian tahun, Dewan Pers (DP) bertindak bagai “firaun” dalam dunia perusahaan Pers dan jurnalistik. Perusahaan media beserta para wartawan seolah dipaksa menjadi “hamba” dan kaum “penyembah” di hadapan Dewan Pers. Sungguh, ini adalah sebuah “kekufuran” terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU 40/1999).

Disebut kufur, karena DP dengan seenaknya menempatkan diri seolah-olah sebagai pihak yang ingin “dituhankan”, yakni dengan membuat berbagai macam “aturan sendiri” yang seakan bersifat penekanan dan wajib untuk diterapkan di dalam kehidupan Pers.

Tak masalah jika DP ingin membuat aturan sendiri, silakan! Asalkan aturan yang ingin dibuat itu cukup berlaku secara internal untuk kepentingan manajemen DP itu sendiri, bukan aturan yang bersifat universal kepada semua perusahaan-perusahaan Pers. Sebab, DP tidak punya “saham” sedikit pun di dalam pengelolaan perusahaan Pers yang berbadan hukum! Terlebih, kedudukan DP bukanlah salah satu lembaga negara di negeri ini, sehingga seluruh aturannya tak layak dijadikan dasar.

Olehnya itu, sangat tidak wajar jika DP selalu berlagak seolah sebagai “tuhan” di hadapan perusahaan Pers dan para kaum jurnalis, yakni dengan membuat aturan universal yang hanya mengikat “hidung dan leher” perusahaan Pers beserta para wartawan. Hentikanlah itu!

Sebab, hakikat dilahirkannya Undang-undang 40 Tahun 1999 sebagai “anak kandung” pertama di era Reformasi, itu sesungguhnya merupakan “roh kebebasan” yang harus ditiupkan ke dalam masing-masing tubuh perusahaan Pers.

Mengapa? Sebab di era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba), “hidung, leher, tangan dan kaki” perusahaan Pers diikat dengan “tali aturan” yang sangat ketat oleh negara. Lalu mengapa hari ini DP seolah-olah ingin kembali mengikat “hidung, leher, tangan dan kaki” perusahaan Pers beserta wartawan dengan membuat aturan-aturan berbeda tetapi sesungguhnya sama sifatnya dengan aturan-aturan di masa Orla dan Orba?

Di era Orba, perusahaan (media) Pers yang meski berbadan hukum namun jika tidak mengantongi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), itu disebut perusahaan ilegal dan dituding sebagai media abal-abal.

Parahnya, ketika perusahaan Pers kala itu ingin mengurus SIUPP, justru dihambat oleh negara (Departemen Penerangan) dengan memunculkan istilah yang dikenal saat ini “SKB” (Syarat dan Ketentuan Berlaku), yakni salah satunya “uang pelicin” sebagai syarat yang tidak tertulis. Dan syarat inilah yang membuat kala itu perusahaan-perusahaan jadi gerah dan terpasung. Sehingga lahirlah UU 40/1999 yang hanya mensyaratkan cukup berbadan hukum maka sudah dapat diakui secara sah sebagai Perusahaan Pers.

Anehnya, setelah UU 40/1999 lahir memberikan kelonggaran, Dewan Pers justru kini ingin seolah menggantikan peran Departemen Penerangan di era Orde Baru, yakni dengan memunculkan berbagai aturan dan kegiatan yang lebih “gila” dibanding Departemen Penerangan di era Orba.

Aturan-aturan dan kegiatan yang lebih “gila” itu di antaranya, yakni menerapkan sistem verifikasi administrasi dan faktual kepada perusahaan-perusahaan media dengan cara sesuai “pesanan”.

Artinya, jika tidak ada pesanan atau permintaan verifikasi administrasi dan faktual dari sebuah perusahaan media, maka verifikasi tersebut tidak akan dilaksanakan oleh DP. Kalau pun ada permintaan dari sebuah perusahaan media, maka perusahaan media itulah yang harus menanggung seluruh biaya “perjalanan dinas” DP ke daerah tujuan, tempat di mana perusahaan media itu berada.

Contohnya di Provinsi Gorontalo yang kini memiliki sekitar 100 media online, apabila hanya 5 media yang memesan/meminta DP untuk melakukan verifikasi, maka hanya 5 media itulah yang diverifikasi. Artinya, 95 media lainnya harus “gigit jari” dan “telan-telan ludah” melihat anggota DP yang tak mampir di kantor mereka.

Seharusnya, jika DP memang ingin melakukan verifikasi media, maka laksanakanlah seperti yang dilakukan oleh anggota KPU dalam memverifikasi seluruh Partai Politik tanpa terkecuali dengan biaya sendiri. Jika tak punya biaya, maka hentikan dan jangan mengada-ngada kegiatan verifikasi itu! Sebab di dalam undang-undang, Dewan Pers tidak diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi administrasi dan faktual.

Ingat! Dalam undang-undang (UU 40/1999), Dewan Pers hanya diberi 7 fungsi, salah satunya adalah mendata perusahaan Pers. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “mendata” sangat jauh berbeda dengan kata “memverifikasi, jadi jangan pelintir kata “mendata” menjadi “memverifikasi”! Contohilah Badan Pusat Statistik (BPS) yang tugas utamanya adalah melakukan pendataan, bukan melakukan verifikasi.

Jika ingin melakukan pendataan perusahaan Pers, maka DP sebaiknya cukup berkoordinasi dengan pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sebab, di sana (di Kemenkumham) perusahaan Pers yang telah berbadan hukum pastilah telah terdaftar.

Begitu juga dengan kegiatan Dewan Pers yang tampak doyan membuat aturan-aturan yang diberlakukan secara universal, mohon dihentikan! Sebab, Undang-undang (UU 40/1999) hanya memberi fungsi kepada Dewan Pers sebagai fasilitator, bukan regulator! Yakni dalam huruf f, ayat (2) Pasal 15 UU 40/1999: “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan“.

Masalah wartawan yang berkompetensi atau tidak, itu bukan urusan Dewan Pers (karena memang tidak ditekankan dalam undang-undang). Ukuran berkompeten atau tidaknya seseorang dapat menyandang profesi sebagai wartawan profesional atau tidak, itu sepenuhnya menjadi kewenangan manajemen perusahaan media mereka. Artinya, biarkanlah perusahaan media yang mengeluarkan sertifikat kompetensi kepada wartawan mereka masing-masing. Toh, jika ada perkara yang timbul nantinya akibat pemberitaan, tentulah perusahaan media dan wartawan yang menanggungnya, bukan DP.

Pun terkait siapa yang ingin dijadikan sebagai pemimpin redaksi, itu sama sekali bukanlah menjadi urusan dan kewenangan Dewan Pers. Sebab sekali lagi,  Dewan Pers tidak memiliki “saham” sedikit pun di dalam pengelolaan perusahaan media mereka masing-masing.

Dan jika Dewan Pers tetap memaksakan diri sebagai “tuhan”, maka jangan salahkan jika nantinya ada sejumlah wartawan (non-UKW) yang menantang ketua dan seluruh anggota DP untuk dilakukan uji kualitas penulisan berita yang baik dan benar.

Olehnya, kepada seluruh awak Dewan Pers, mohon berhenti menjadi seolah sebagai “Firaun”, kembalilah ke jalan yang benar dengan cukup menjalankan fungsi sebagaimana yang telah diatur dalam UU 40/1999.

Sebab jika tidak, maka DP tak hanya akan disebut mengangkangi UU 40/1999, tetapi juga dapat dianggap inkonstitusi karena telah melakukan diskriminasi terhadap seluruh perusahaan-perusahaan media berbadan hukum di seluruh tanah air ini. Dan yang paling parah, akibat dari “tradisi” verifikasi yang dilakukan DP, membuat media-media di daerah menjadi berbenturan dan “bermusuhan” serta sangat rentan menimbulkan konflik dan juga kekacauan, serta perpecahan sesama insan Pers. (ams)

——

(Penulis adalah wartawan sejak tahun 1992 hingga sekarang, juga penulis buku dan novel, serta aktivis penegak kedaulatan)

Bagikan dengan:

Muis Syam

746 views

Next Post

Bertekad Sukseskan Pilkada Serentak 2024, Dewan Pers Adakan Workshop di Gorontalo

Jum Agu 30 , 2024
DM1.CO.ID, GORONTALO: Demi menyukseskan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tingkat kabupaten, kota, dan provinsi secara serentak pada tahun 2024 ini, Dewan Pers bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo menggelar workshop, pada Kamis (29 Agustus 2024).