“Anak Kandung“ Megawati Soekarnoputri dan Muhammad Yamin itu Bernama MK: “Jangan Durhaka!”

Bagikan dengan:

Oleh: Abdul Muis Syam

DM1.CO.ID, OPINI: PROSES menuju “kelahiran” Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) tidaklah berlangsung dengan instan, apalagi terjadi secara dadakan. Ada bentangan masa, dengan fase panjang sekitar setengah abad lebih untuk melahirkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga tinggi negara.

Yakni dari catatan sejarah yang ada menyebutkan, bahwa ide paling awal yang menjadi “embrio” lahirnya MK, pertama kali dicetuskan atau dilontarkan oleh salah seorang tokoh pendiri negara ini, bernama Muhammad Yamin. Yaitu di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yang berlangsung dengan dua kali sidang dari tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945, di Gedung Pancasila yang dahulu bernama Tyuoo Sangi-In,  di Jalan Hertogspark (kini Jalan Taman Pejambon) Nomor 6, Jakarta Pusat.

Pada sebuah sidang BPUPKI yang digelar dalam rangka membahas dasar serta bentuk negara tersebut, Muhammad Yamin menyempatkan diri menyampaikan gagasannya. Yakni, ia berharap Balai Agung (sekarang bernama Mahkamah Agung) diberi kewenangan untuk melakukan uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review).

Namun Soepomo yang juga merupakan salah seorang tokoh pendiri negara dalam sidang BPUPKI tersebut, mengemukakan penolakan atas ide yang dilontarkan oleh Muhammad Yamin. Alasannya, para ahli hukum yang ada (kala itu) di negara ini belum memiliki pengalaman sedikit pun tentang urusan judicial review.

Tak cuma itu, Soepomo ketika itu juga menyampaikan sejumlah alasan lainnya. Yakni pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang; dan ketiga, hakim tak bisa diberi kewenangan melakukan pengujian undang-undang karena bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sehingga ketika itu, cetusan gagasan Muhammad Yamin itu pun gagal dimasukkan sebagai salah satu hal yang substansi di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Meski begitu, gagasan yang telah terlanjur dilontarkan atau dicetuskan oleh Muhammad Yamin ketika itu, sesungguhnya tanpa disadari seolah menjadi “embrio yang bersemayam di perut” sejarah. Terbukti, pemikiran kenegaraan Muhammad Yamin yang mampu melampaui zamannya itu, dari masa ke masa ternyata makin menguat.

Hingga akhirnya, ide itu pun “ditakdirkan” lahir dari “kandungan” Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden kelima Republik Indonesia (periode 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004). Yakni, didasari dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Senin 9 November 2001, yang salah satunya meliputi (pembentukan) Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C. Selanjutnya diperkuat dalam Sidang Tahunan MPR pada Sabtu 10 Agustus 2002 tentang Perubahan keempat UUD 1945 dengan turut membahas dan menegaskan beberapa poin, yaitu di antaranya mengenai tenggat waktu pembentukan Mahkamah Konstitusi paling lambat 17 Agustus 2003, dan sebelum MK dibentuk maka segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Dari situlah denyut nadi kelahiran MK mulai dipompa melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang digelar beberapa kali oleh pemerintah bersama pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga akhirnya, RUU itu pun disepakati pemerintah bersama DPR, lalu disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada Rabu 13 Agustus 2003, kemudian langsung ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari itu dan dimuat dalam Lembaran Negara dengan nama Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).

Itulah hasil cetusan ide Muhammad Yamin yang meski gagal diadopsi ke dalam UUD pada sidang BPUPKI di tahun 1945, namun “embrio” pemikiran kenegaraan itu akhirnya lahir juga pada Rabu 13 Agustus 2003 dari “kandungan” Megawati Soekarnoputri selaku Presiden kelima Republik Indonesia, yang ditandai dengan disahkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Kedalaman pemahaman tentang pentingnya melahiran MK yang akan berperan melakukan judicial review, tentulah dimiliki oleh Muhammad Yamin dan Megawati Soekarnoputri serta juga para pihak yang terlibat langsung dalam penggodokan RUU MK tersebut. Mereka sangat menyadari pentingnya MK untuk dilahirkan sebagai salah satu lembaga tinggi negara dalam melakukan judicial review sebagai mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan negara secara sehat, sekaligus untuk menjaga terjadinya kerusakan UUD 1945.

Bahkan seorang anggota perhimpunan nasional Amerika Serikat dan sebagai dosen The institute of World Politics di Washington-DC (2005), John Agresto (1984) memberikan pandangannya, bahwa ketersediaan peranti (seperti MK) untuk melakukan judicial review menjadi sebuah kebutuhan, karena kalkulasi politik dan kepentingan sesaat para pembentuk undang-undang bisa membuka peluang hadirnya undang-undang yang oppressiue dan despotic. Artinya, di saat sebuah undang-undang itu prosesnya tidak benar, atau materinya “kacau” dan tidak memiliki roh kebaikan untuk kepentingan bangsa, maka harus ada satu lembaga peradilan yang diberi kewenangan untuk menguji undang-undang tersebut.

Bisa dipastikan, bahwa semua itulah kiranya yang menjadi motivasi dilahirkannya MKRI pada 13 Agustus 2003 sebagai salah satu lembaga peradilan di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini. Dan Megawati Soekarnoputri adalah menjadi presiden pertama di dunia yang mampu melahirkan MK pada abad ke-21, sekaligus mencatatkan Indonesia sebagai negara ke-78 yang resmi membentuk MK.

Selanjutnya, pada 13 Agustus 2023, MK memasuki usia ke-20 tahun. Namun dengan usia dua dekade itu, apakah MK sebagai “anak kandung” dari ide Muhammad Yamin yang lahir melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu justru tidak akan “mendurhakai” konstitusi di negara ini?

Jawabnya, selagi MK mampu senantiasa tunduk pada perintah UUD 1945, dan patuh kepada Pancasila, serta menaati Peraturan Nomor 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, maka MK dipastikan tidak akan menjadi “anak durhaka”. Dan yang perlu, MK harus selalu menjaga independensi sebagai lembaga peradilan.

Ketentuan atas jaminan independensi lembaga peradilan di Indonesia sangat jelas tercantum dalam konstitusi. Pada UUD 1945 memakai terminologi “merdeka” sebagai isyarat jaminan konstitusional atas independensi lembaga peradilan. Yakni, pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Pengaturan atas pentingnya lembaga peradilan yang harus senantiasa tegak lurus berdiri di posisi independen, yang bebas dan tidak berpihak, juga dapat ditemui dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Misalnya, pada Pasal 14 dalam The International Covenant on Civil and Political Rights, menyebutkan bahwa: “all persons shall be equal before the courts and tribunal. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligationas in a suit of law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law.”

Selain itu, juga secara eksplisit pada Pasal 10 dari Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, menegaskan bahwa: “Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him.”

Khusus mengukur independensi di MK, memang tidak mudah. Perlu mengelaborasi banyak indikator, paling tidak dimulai dari beberapa indikasi di antaranya terkait kualifikasi dan proses pengangkatan hakim, kode etik, besaran tingkat penggajian yang berkesesuaian, terkait masa jabatan, pembiayaan atau penganggaran, masalah disiplin atau pemberhentian hakim, pelaksanaan atau eksekusi putusan, akses kepada media dan masyarakat untuk memperoleh informasi seputar persidangan, termasuk publikasi putusan, hingga pada berbagai hal lain yang bersifat administratif teknis misalnya pengarsipan dokumen, staf pendukung di pengadilan, gedung pengadilan, dan lain sebagainya.

Masalah independensi memang harus menjadi salah satu hal paling utama untuk menjadi perhatian di MK. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa di lembaga peradilan sangat rentan terjadinya “kedurhakaan” dalam arti ketidakpatuhan terhadap kode etik dan bahkan konstitusi itu sendiri, yakni dengan salah satunya memperjualbelikan perkara yang ada.

Selain itu, mengenai independensi di MK memang sering menjadi pertanyaan di benak publik, apakah benar-benar mampu diwujudkan ataukah justru akan tunduk berpihak kepada kelompok tertentu? Sebab perekrutan hakim MK dilakukan sesuai ketentuan yakni diajukan oleh tiga lembaga negara dengan masing-masing tiga calon dari Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden. Selanjutnya pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan atau pengangkatan Hakim Konstitusi diatur dalam UU MK.

Pertanyaan publik seperti itu sebenarnya bisa ditepis, yakni para Hakim MK harus benar-benar bisa memegang teguh komitmen menjalankan prinsip obyektif dan akuntabel. Artinya, setiap Hakim MK harus berani menampilkan jati dirinya sebagai betul-betul Hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi terpengaruh oleh mekanisme pemilihan, dari mana dan oleh siapa ia diangkat. Jika tidak, maka MK tentu bukan saja menjadi “durhaka” kepada konstitusi, tetapi juga hanya akan membuat konstitusi sebagai “pengalas kaki” untuk kaum pro autokrasi, yang pada akhirnya menjadi malapetaka di negeri ini.

Bayangan yang sangat menakutkan tersebut, tentu saja sangat jauh dari MK. Terlebih lagi sejak kelahirannya sebagai lembaga tinggi negara, MK telah berhasil menjalankan perannya secara maksimal dengan baik. Selama 19 tahun, MK tercatat sudah 3.463 perkara yang diterima. Yaitu, meliputi Pengujian Undang Undang (PUU) 1.622 perkara, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) 29 perkara, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 676 perkara, dan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) 1.136 perkara.

Sejak terbentuknya hingga akhir 2022, MK telah memutus 3.444 perkara dan 19 perkara masih dalam proses pemeriksaan. Namun khusus tahun 2022, MK menangani 147 perkara, yakni 143 perkara PUU dan 4 perkara PHP Kada. Dan dari 147 perkara tersebut, MK telah memutus 124 perkara PUU, dan 4 perkara PHP Kada.

Dan akhirnya, semoga ke depan MK bisa bekerja lebih obyektif dan akuntabel serta jauh dari kata “durhaka” kepada konstitusi, juga menjauhkan diri dari bayang-bayang yang menakutkan.

Bagikan dengan:

Muis Syam

309 views

Next Post

Satu Lagi Srikandi NTB Angkat Kaki dari NasDem

Sab Jul 22 , 2023
DM1.CO.ID, MATARAM: Setelah beberapa kader NasDem mengundurkan diri, kali ini Baiq Diyah Ratu Ganefi yang menjabat sebagai Bendahara Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) NasDem Nusa Tenggara Barat (NTB), juga ikut “angkat kaki” dari partai yang dinakhodai oleh Surya Paloh itu. “Ya, benar (mundur dari NasDem) sejak tanggal 17 Juli kemarin,” ungkap […]