DM1.CO.ID, EDITORIAL: Ada dua peristiwa amoral yang mendadak viral dan langsung mengaduk-aduk emosi serta nalar publik di Gorontalo. Yakni pertama, pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo, Prof. Dr. AH, M.Si, terhadap belasan wanita yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan staf kependidikan di kampus tersebut.
Kedua, juga terjadi di Gorontalo. Yaitu, goyangan erotis dari tiga sosok “anu” (pria berprilaku wanita, alias waria) yang dipertontonkan dalam suatu pesta pernikahan. Ketiga sosok “anu” yang melabelkan diri sebagai penyanyi dengan sebutan “Trio Barbie” ini, dalam video yang viral memperlihatkan sedang menaiki dengan tiba-tiba sebuah kursi, melakukan aksi mengangkang lalu menggosok-gosokkan “anu-nya” ke wajah seorang opa (kakek) di kursi tersebut.
Meski kedua kasus itu sudah dilaporkan ke pihak yang berwajib, namun hingga kini kejadian tersebut masih ramai diperbincangkan. Menariknya, tidak semua orang serta-merta menyalahkan para pelaku dalam kedua peristiwa itu, yang artinya terjadi dua sudut pandang yang berbeda, namun semua pihak mengaku mengutuk dan tidak setuju dengan cara yang dilakukan oleh keduanya, baik oleh oknum rektor itu maupun oleh ketiga sosok “anu” tersebut.
Pihak yang menyalahkan prilaku oknum rektor UNU dan tiga sosok “anu” itu, sudah pasti melihat dari sudut pandang hukum. Bahwa para pelaku dinilai telah melakukan perbuatan yang mengarah kepada tindakan kejahatan atau pelanggaran hukum, moral dan adat istiadat, sehingga mereka patut dijerat dengan pasal pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara pihak lainnya, ada yang melihat dari sudut pandang berbeda. Misalnya, terhadap kasus rektor UNU, itu bisa terjadi di daerah mana saja, bukan hanya di Gorontalo yang dikenal sebagai sebutan “Serambi Madinah”.
Terlebih kasus rektor UNU ini, bukanlah kasus pelecehan seksual pertama terjadi yang menimbulkan rasa miris lantaran ada “nuansa agama” yang melekat di dalamnya. Pada sekitar 3 tahun silam, juga terungkap seorang pimpinan sebuah pondok pesantren (Ponpes) di Jawa Barat bernama Herry Wirawan, terpaksa diseret ke meja hijau lantaran melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap 13 santriwatinya yang menyebabkan 9 di antaranya bahkan ada yang hamil serta melahirkan. Dan kini akibat perbuatannya tersebut, Herry Wirawan sedang mendekam di penjara menunggu untuk dieksekusi mati.
Beberapa pertanyaan pun kemudian muncul. Di antaranya, mengapa oknum rektor UNU dan Herry Wirawan sebagai pimpinan ponpes yang beratribut terpelajar dan memiliki ilmu agama tinggi itu justru nekat sebodoh itu melakukan pelecehan seksual?
Apa ada yang salah dalam dunia pendidikan di negeri ini, khususnya di daerah Serambi Madinah ini? Apakah ada nilai-nilai moral yang bergeser sehingga begitu mudahnya terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum orang-orang terdidik yang mestinya bisa mengajarkan integritas, moralitas dan akhlak yang baik justru menjadi pelaku yang merusak dunia pendidikan?
Entahlah! Yang jelas, jika memang terbukti terjadi pelecehan seksual, maka oknum rektor UNU ini sepertinya sedang mengidap hiperseks yang sulit ia atasi, lantaran kemungkinan kerap depresi dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya.
Atau boleh jadi, ia tergolong pria yang tidak puas dengan hanya satu wanita karena untuk memenuhi tuntutan “kecerdasannya”. Sebagaimana health-detik.com melansir, para ilmuwan di University of Marryland dalam penelitiannya membuktikan, bahwa otak membentuk sel-sel baru setiap kali habis bercinta. Para peneliti itu juga membuktikan, bahwa kekuatan sel-sel otak yang baru mengalami peningkatan kemampuan mengingat setelah melakukan hubungan seksual. Namun sangat disayangkan, oknum rektor UNU dalam upaya membentuk sel-sel barunya itu dilakukan secara serampangan, senonoh, dan tidak pada tempat dan waktunya.
Selanjutnya, terkait goyangan erotis tiga sosok “anu” yang juga dinilai mencemarkan nama baik Gorontalo sebagai daerah yang bertitel “Serambi Madinah”, menurut sejumlah pihak yang melihat dari sisi lain juga menggambarkan sejumlah pandangannya.
Menurut mereka, goyangan erotis dari tiga sosok “anu” itu sesungguhnya terlihat hanya lebih sebagai luapan ekspresinya dalam mencoba menunjukkan diri kepada penonton bahwa mereka mampu memberikan hiburan maksimal, yakni dari hasil keringatnya yang memang “mendapat tugas” sebagai penghibur. Sayangnya, cara ketiganya amat keliru dengan aksi yang sangat berlebih-lebihan tanpa diikuti etika dan nilai-nilai moral.
Lalu apa yang dapat dipetik dari dua kejadian amoral itu? Ya, tentu saja ini sebaiknya dapat diambil sebagai pelajaran sekaligus introspeksi bagi semua pihak. Pertama, dari kedua kejadian amoral tersebut adalah hanya bersifat kasuistik, sehingga masyarakat jangan sampai menggeneralisasi setiap orang-orang berilmu dan perguruan tinggi semua sama perilakunya dengan oknum rektor UNU itu. Begitu pula adanya dengan ketiga “anu” tersebut hendaknya tidak serta-merta divonis sebagai “makhluk” yang seolah tak bisa lagi bertobat ke jalan yang lurus dan benar.
Yang kedua, bagi pihak UNU ke depan hendaknya bisa lebih selektif memilih dan mengangkat seseorang untuk diberi amanah sebagai rektor. Dan bagi para khalifah di daerah “Serambi Madinah” ini, sudah saatnya fokus memberikan kepedulian dalam memperbaiki nasib rakyat lapisan bawah yang mungkin selama ini terabaikan.
Contohnya ketiga sosok “anu” tersebut mungkin saja tidak pernah bercita-cita menjadi waria penghibur di pesta-pesta pernikahan. Boleh jadi karena selama ini mereka tidak pernah tersentuh dengan pembinaan dan pemberdayaan dari pemerintah maupun dari lembaga-lembaga bakat dan seni, sehingga membuat pada akhirnya mereka mau tidak mau terpaksa harus memilih jalan hidup seperti saat ini. (dms-dm1)