DM1.CO.ID, SOLO: Setelah sempat menciduk sejumlah tokoh nasional dan aktivis jelang aksi 212 karena diduga ingin melakukan makar, pihak aparat kepolisian kini kembali main ciduk.
Kali ini, Tim Gabungan Direktorat Kriminal Umum Polda Jateng dan Polresta Solo menciduk seorang wartawan media Islam online (Panjimas.com) bernama Ranu Muda Nugroho (36) di rumahnya, di Ngasinan, Grogol, Sukarjo, Kamis (22/12/2016) sekitar pukul 00.10 dini hari.
Berita penangkapan Ranu pun tersebar dan langsung jadi viral di media sosial. Sehingganya, tidak sedikit netizen pun membayangkan, bahwa betapa terpujinya pihak Polri apabila hal serupa bisa diberlakukan kepada para koruptor dan juga kepada penista agama.
Lalu apa yang membuat Ranu harus diciduk?
Sejauh ini, dugaan sementara Ranu diciduk adalah karena mengungkap dan mengekspos pesta miras dan sex di Social Kitchen, Kota Solo, melalui tulisannya di panjimas.com. Dan tulisan itu dianggap sebagai bentuk provokasi agar tempat maksiat tersebut segera “ditutup”. Berikut tulisan Ranu:
SOLO, (Panjimas.com) – Bagi pecinta minuman keras di Kota Solo dan sekitarnya nama Social Kitchen sudah tidak asing lagi. Restauran yang beralamat di Jl Abdul Rachman Saleh No 1 Banjarsari tersebut merupakan tempat favorit yang menyediakan beragam merk minuman keras.
Selain digunakan sebagai tempat makan Social Kitchen juga menyediakan tempat untuk pesta miras. Bagi pengunjung yang datang dikenakan tarif 50 ribu dan mendapatkan satu boto minuman keras. Di diskotik tersebut setiap hari memiliki jadwal yang berbeda-beda mulai dari bintang tamu disc jokey hingga sexy dance.
Meski dalam jadwal acara dimulai pukul 23.00 malam namun biasanya tempat tersebut akan ramai didatangi mejelang pergantian hari yakni pukul 24.00. Hampir setiap hari para penikmat minuman keras mendatangi tempat tersebut. Bahkan menurut penelusuran Panjimas di lapangan penikmat miras yang datang di Social Kitchen mencapai ratusan orang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya parkir motor dan mobil yang meluber hingga di jalan-jalan.
Alasan para pemikmat minuman keras tersebut mendangi Social Kitchen karena merasa aman. Mereka bebas mabuk dengan berbotol-botol minuman keras karena tidak akan ditangkap Polisi. Sehingga wajar Sosial Kitchen menjadi tempat favorit.
Aparat kepolisian dan pemerintah kota Solo sebenarnya juga sudah mengetahui jika ditempat tersebut digunakan untuk mabuk, tari telanjang hingga transaksi narkoba. Namun seolah tak mau tahu menjadikan Social Kitchen kian hari semakin tak terkendali.
Pembiaran terhadap tempat maksiat itulah yang kemudian didengar beberapa tokoh Islam Solo hingga akhirnya protes keraspun mulai dilakukan.
Beberapa Ormas Islam lantas berinisiatif untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar mulai dari menegur secara langsung kepada pengelola Social Kitchen, melapor ke Polres Solo hingga ke Satpol PP. Namun semua itu seolah mejadi angin lalu, tak ada keseriusan dari aparat penegak hukum untuk menutup tempat maksiat tersebut. Aparat malah terlihat saling lempar tanggung jawab.
Ada cukup banyak pelanggaran yang dilakukan oleh manajemen Social Kitchen selain dari unsur kemaksiatan. Menurut Humas LUIS, Endro Sudarsono Social Kitchen juga tak memiliki ijin HO.
“Selain tidak memiliki ijin HO, Social Kitchen juga sering melanggar jam tutup operasional. Harusnya tutup pukul 01.00 dini hari dalam prakteknya mereka tutup pada jam 03.00” tutur Endro Sudarsono kepada Panjimas.
Dari penelusuan Panjimas, warga sekitar juga banyak yang keberatan dengan keberadaan diskotik tersebut namun banyak dari mereka yang enggan untuk melapor ke Pemerintah Kota karena takut keamannya terganggu.
Kebalnya hukum yang dimiliki oleh Social Kitchen ini lantaran banyak dari oknum aparat yang menjadi backing tempat tersebut. Sehingga meski diprotes berkali-kali Social Kitchen tetap ramai dikunjungi bagi penikmat minuman keras.
Tak cukup disitu yang mejadi miris banyak ditemukan pengunjung Social Kitchen yang ternyata adalah remaja alias ABG. Hal ini dibuktikan saat adanya penggrebekan yang dilakukan oleh sejumlah Ormas Islam pada hari Ahad, (18/12) dini hari yang lalu.
Dari penggrebekan itu ditemukan sejumlah minuman keras dengan merk cukup terkenal dan kurang lebih 150 pengunjung yang semuanya mabuk. Sambil berpelukan, berciuman mereka berjoget ria menikmati permainan Disk Jokey dengan suara musik yang memekakkan telinga.
Penggrebekan itu sendiri terjadi lantaran diamnya aparat penegak hukum yang tak mampu menutup tempat maksiat tersebut.
“Kami melakukan ini karena tak ingin kota Solo menjadi tempat tujuan bagi para penikmat minuman keras” ujar Endro Sudarsono.
Selain digunakan untuk pesta miras tak jarang tempat tersebut juga digunakan sebagai sarana untuk bertransaksi narkoba. Tak cukup disitu, bagi kalangan hidung belang kelas atas, Sosial Kitchen juga sering disebut menjadi tempat untuk favorit untuk melakukan transaksi sex.
Begitulah segudang pelanggaran yang dilakukan Social Kitchen untuk merusak generasi muda. Namun Ironisnya, baik Pemerintak Kota Solo dan Kepolisian seakan bungkam tak mampu bergerak. Entah karena takut atau tak mau tau.
——–
Mengetahui adanya pihak kepolisian yang main ciduk seorang wartawan, Wakil Ketua DPR-RI Fahri Hamzah langsung geleng-geleng kepala dan menyatakan kekesalan dan kritiknya kepada pihak polisi tersebut.
“Polisi ini perlu dikasih tahu, metode-metode penegakan hukum dalam demokrasi, orang berbeda pendapat itu jangan ditangkap,” ujar Fahri Hamzah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/12/2016).
Seharusnya, kata Fahri, orang yang berbeda pendapat dijawab dengan pendapat lain, termasuk istilah-istilah yang tergolong sensitif.
Fahri menjelaskan, seorang wartawan biasanya dibekali kartu pers. Menurut dia, Ranu Muda resmi wartawan, apalagi jika perusahaan pers itu berbadan hukum.
“Jadi kalau wartawan menulis, polisi enggak setuju, ya suruh wartawan lain menulis. Jangan karena orang menulis lalu orang ditangkap,” lontarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, setiap kerja jurnalistik dilindungi undang-undang. “Menciduk wartawan seperti itu sideback yang jauh ke belakang,” ungkap Fahri.
Apalagi memang dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 8 sangat jelas disebutkan bahwa, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
“Zaman yang sudah kita lampaui dan kita tidak mau kembali ke sana, saya ingin polisi belajar mengerti sedikit, tidak usah menghibur presiden dengan cara begini, ini kekanak-kanakkan,” pungkas Fahri.