Opini: Abdul Muis Syam*
DM1.CO.ID, OPINI: Hari ini, Rabu (28 Februari 2024), Menteri Pertahanan (Menhan) yang juga merupakan Calon Presiden (Capres) 2024-2029, Letnan Jenderal (Letjen) TNI (Purn) Prabowo Subianto, dijadwalkan akan menerima kenaikan pangkat melalui pemberian gelar Jenderal Kehormatan (Hor).
Kabar tersebut disampaikan secara resmi oleh Dahnil Anzar Simanjuntak selaku Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik, Sosial, dan Hubungan Antar Lembaga, Menteri Pertahanan.
Dalam penyampaiannya, Dahnial mengungkapkan, pemberian gelar kehormatan dan kenaikan pangkat dari Letjen (bintang tiga) menjadi Jenderal (bintang empat) itu, merupakan usulan dari Markas Besar (Mabes) Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada Presiden RI.
Usulan dari Mabes TNI tersebut, kemudian mendapat sambutan positif dan restu, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Kepres) dari Joko Widodo (Jokowi) selaku Presiden.
“Benar, besok (28 Februari 2024) Pak Prabowo akan hadir di Rapim TNI, dan rencananya akan menerima Kepres dari Presiden terkait dengan tanda kehormatan berupa kenaikan pangkat secara istimewa menjadi Jenderal TNI,” beber Dahnil Anzar Simanjuntak dalam keterangannya yang telah beredar luas di berbagai media sosial (Medsos), di Tiktok, Twitter, Facebook, dan lain sebagainya.
Dahnil menjelaskan, pemberian tanda kehormatan kenaikan pangkat secara istimewa tersebut, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
“Pemberian Jenderal penuh kepada Pak Prabowo didasarkan pada dedikasi dan kontribusi Pak Prabowo selama ini di dunia militer dan pertahanan. Oleh sebab itu Pak Prabowo diputuskan diusulkan oleh Mabes TNI kepada Presiden untuk diberikan Jenderal penuh,” tandas Dahnil.
Di tempat terpisah, Pratikno selaku Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) juga membenarkan adanya agenda pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo, dan Presiden Jokowi dijadwalkan akan hadir di Mabes TNI dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri, yakni untuk menyaksikan langsung pemberian kehormatan dan kenaikan pangkat secara istimewa tersebut.
Sebetulnya, pemberian gelar dan kenaikan pangkat secara istimewa seperti itu, telah pernah dilakukan oleh beberapa Presiden RI di masanya. Di antaranya, Soesilo Soedarman saat menjabat sebagai Menko Politik dan Keamanan (Polkam) pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), sempat juga diberikan anugerah Jenderal Kehormatan dari Presiden ke-2 Soeharto.
Agum Gumelar saat menduduki jabatan sebagai Menteri Perhubungan (1999-2001) bersama Luhut Binsar Pandjaitan ketika menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2000-2001) era Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), juga diberikan gelar dengan kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan.
Di era Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, terdapat tiga purnawirawan TNI yang juga ikut diberi gelar dan kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan. Yakni, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Hari Sabarno saat menjabat sebagai Menko Polkam; serta Abdullah Mahmud Hendropriyono ( A.M. Hendropriyono) saat menduduki jabatan Kepala Badan Intelijen Negara (2001–2004).
Mengetahui Prabowo akan ikut diberi gelar dan kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan, sejumlah pihak pun angkat suara, bahkan ada di antaranya bernada protes atas pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo tersebut.
Nada protes tersebut di antaranya datang dari seorang Anggota Komisi I DPR-RI Fraksi PDI-P, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin. Ia menegaskan, pangkat Jenderal Kehormatan atau Jenderal TNI (Hor) seharusnya diberikan kepada prajurit aktif dan memiliki keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya, bukan untuk pensiunan TNI atau purnawirawan.
TB Hasanuddin mengingatkan, dalam militer saat ini sudah tidak ada lagi istilah pangkat kehormatan untuk purnawirawan. Hal itu mulai berlaku sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam UU TNI tersebut, menurut TB Hasanuddin, tidak ada kenaikan pangkat dari purnawirawan ke purnawirawan. Bahkan aturan pangkat di lingkungan TNI telah diatur dalam Pasal 27 UU TNI.
Selain itu, Beni Sukadis selaku pengamat militer pun mempertanyakan tolak ukur Jokowi menerbitkan Kepres tentang kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan TNI kepada Prabowo Subianto. Ia lantas meminta agar gelar kenaikan pangkat bagi Prabowo tersebut perlu dikaji ulang.
Nada protes tersebut berbeda pandangan dengan pakar militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi.
Di mata Khairul Fahmi, gelar dan kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan ini, adalah hak yang menyertai pemberian bintang jasa oleh negara, apalagi Prabowo pemegang empat tanda kehormatan bintang militer utama. Yakni, Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena utama, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama.
Menurut Khairul Fahmi, mengenai catatan “di masa lalu” terkait dugaan pelanggaran HAM berat, sejauh ini tidak ada fakta hukum dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan dan menghukum Prabowo sebagai pelaku pelanggaran HAM Berat.
Jadi, menurut Khairul Fahmi, jika dugaan pelanggaran HAM berat terhadap Prabowo hingga saat ini tidak ada fakta hukum dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka tentu saja Prabowo tidak bisa dihakimi secara negatif sesuai opini sendiri-sendiri. Sebab, asas praduga tidak bersalah juga berlaku untuk Prabowo.
Bahkan sebagian besar publik yang tidak terkontaminasi dengan kepentingan politik, justru tentunya akan memandang Prabowo Subianto sebagai sosok yang memang benar-benar telah banyak berbuat baik untuk negeri ini, bukan hanya di bidang militer, tetapi juga di seluruh bidang lainnya, terutama di bidang sosial dan kemasyarakatan.
Sehingga itu, meski sekali pun tidak diberi gelar dan kenaikan pangkat kehormatan, namun di mata sebagian besar publik tentu akan memandang, bahwa Prabowo Subianto yang selama ini sangat aktif menunjukkan banyak perilaku positif itu, sesungguhnya sudah sangat layak disebut sebagai jenderal penuh. (ams-dm1)