Sri-Darmin, Sudahlah. Jokowi Butuh Menteri Pejuang…!

Bagikan dengan:

Oleh: Arief Gunawan

SALAH satu misi utama Menteri Keuangan Kabinet Pertama RI adalah mencari dana untuk pembiayaan perang dan pertahanan rakyat, dengan menggedor bank-bank yang menyimpan sisa uang peninggalan Belanda yang disita oleh tentara Jepang. 

Orang yang ditunjuk Sukarno untuk ini adalah Samsi Sastrawidagda, seorang ningrat Surakarta yang anti feodal dan anti priyayi, lulusan Sekolah Tinggi Dagang di Rotterdam, yang meraih gelar doktor pada 1925.

Misi lainnya adalah memutus tekanan Belanda dalam bidang perdagangan ekspor-impor, mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak, menasionalisasi Bank Java milik Belanda menjadi Bank Indonesia, dan berbagai kebijakan lain yang ditujukan untuk memajukan perekonomian rakyat pribumi.

Para menteri keuangan pada periode awal kemerdekaan adalah para patriot, menteri-menteri pejuang, yang dalam istilah Bung Hatta: seorang menteri tidak boleh bermentalkan pegawai belaka, melainkan harus merupakan pemimpin rakyat.

Menteri keuangan pengganti Samsi Sastrawidagda adalah A.A Maramis, yang waktu Agresi Militer Belanda Kedua sedang di India dan ditugasi memimpin pemerintahan RI dalam pengasingan oleh Sukarno.

Maramis orang yang lincah dalam berpikir dan seperti umumnya menteri-menteri keuangan pada masa itu cara berpikir mereka umumnya out of the box.

Maramis, misalnya melaksanakan perdagangan candu (opium trade) dan emas ke luar negeri atas perintah Wapres Hatta. Tujuannya, buat membentuk dana devisa dari luar negeri untuk membiayai pegawai pemerintah RI (perwakilan-perwakilan) di Singapura, Bangkok, Rangoon, New Delhi, Kairo, London, dan New York.

Menteri-menteri keuangan lainnya yang dikenang oleh karena legacy dan jasa-jasanya antara lain, Syafruddin Prawiranegara sampai Djoeanda Kartawidjaja.

Syafruddin misalnya, adalah Presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Dia menerima mandat dari Sukarno waktu pemerintahan RI yang kala itu beribukota di Jogja jatuh ke tangan Belanda akibat agresi.

Waktu itu orang terdidik secara akademik jumlahnya masih sangat sedikit. Sekolah hukum misalnya baru dibuka di Betawi pada tahun 1924, sekolah kedokteran dan pertukangan sudah lebih dulu dibuka, tapi sarjana di bidang ekonomi jumlahnya sangat terbatas.

Pribumi terdidik ketika itu umumnya lebih memilih hidup nyaman dengan menjadi pegawai Belanda seperti ambtenaar. Gaya hidup comfort zone jadi pilihan, terutama golongan pribumi terdidik pada masa itu umumnya berasal golongan priyayi, yang orientasinya di dalam pekerjaan, menurut sejarawan Akira Nagazumi, mengedepankan ‘’apa yang patut bagi mereka, bukan apa yang seharusnya…’’. Dengan kata lain kuku dan tangan mereka tidak boleh kotor akibat pekerjaan, dan berjarak dengan rakyat.

Para menteri di kabinet awal kemerdekaan adalah sebuah perkecualian dari mentalitas seperti itu. Mereka umumnya menjadi tokoh karena modal kewibawaan karena reputasi dan prestasi, integritas, kompetensi, konsistensi perjuangan, dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat.

Beberapa waktu yang lalu budayawan Mohamad Sobary pernah mengeluh di dalam sebuah tulisannya. Katanya, sekarang kita punya banyak tokoh tanpa sejarah.

Kita juga punya banyak tokoh dalam omong kosong yang tidak jelas. Banyak orang yang tidak jelas di dalam masyarakat kita.

Mereka muncul secara tiba-tiba tanpa mengerjakan apa- apa. Bagaimana pemikirannya dan apa jalan perjuangannya untuk membela rakyat dan bangsa. Tiba-tiba disebut tokoh berpengaruh, tokoh paling inspiratif, tokoh terbaik dan sebagainya.

Kita punya banyak tokoh tanpa sejarah, punya banyak tokoh dalam omong kosong yang tidak jelas, tetapi kita pura-pura tidur waktu melihat mereka…

Saya kira dari beberapa nama menteri keuangan yang saya gambarkan di bagian atas tulisan ini, Menko Ekonomi Darmin dan Menkeu Sri Mulyani merupakan contoh ‘’orang-orang yang tidak jelas sejarahnya’’…

Bagaimana pemikirannya dan apa jalan perjuangannya untuk membela rakyat dan bangsa. Meski keduanya pernah berkali-kali jadi pejabat.

Sri Mulyani dilambungkan dalam agenda setting sebagai Menkeu terbaik Asia, tokoh berpengaruh, dan seterusnya. Meski ada keterkaitan Sri dan Darmin dalam skandal Century.

Apa yang dimaksud dengan ‘’sejarah yang tidak jelas’’ di dalam tulisan ini?

Sejarah yang dimaksud adalah reputasi, track record, prestasi, totalitas keberpihakan kepada rakyat, integritas moral, dedikasi kepada kepentingan rakyat dan bangsa, bukan kepada kekuasaan atau penguasa. Seperti halnya tabiat para priyayi era kolonial dimana lidahnya menjilat ke atas, kakinya menginjak ke bawah.

Kenapa saat ini ada fenomena ‘’tokoh-tokoh dengan sejarah yang tidak jelas’’?

Karena jurnalisme (kewartawanan) kita saat ini mengedepankan public figur bukan role model.

Role model adalah panutan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia role model sama artinya dengan teladan atau contoh baik, yang patut untuk ditiru, berkaitan dengan kelakuan, tindakan, perbuatan, atau sifat-sifat yang baik.

Tokoh-tokoh besar, menteri-menteri besar, yang meninggalkan legacy yang berguna buat rakyat dan bangsa adalah role model.

Tokoh-tokoh besar yang berjasa bagi kebaikan rakyat merupakan role model. Sedangkan public figur belum tentu merupakan role model. Public figur adalah orang yang dikenal oleh masyarakat umum lebih karena citra fisik dan impresi (kesan) belaka.

Kini hampir di semua sektor dan profesi kita tidak memiliki role model. Di kabinet, di lapangan jurnalistik, di bidang kedokteran, di sektor hukum, kebudayaan, dan seterusnya. Menteri-menteri Jokowi saat ini umumnya juga bukan role model. Sri dan Darmin justru merupakan batu sandungan buat Jokowi. Keputusan Jokowi tidak menyerahkan posisi ketua sidang tahunan IMF-Bank Dunia kepada Sri Mulyani atau Darmin jelas dibaca publik sebagai ketidakpercayaan Jokowi kepada dua figur bermazhab neolib itu.

Sejauh ini Sri dan Darmin di kabinet tidak membuat sejarah yang signifikan apalagi sejarah yang bersifat monumental, yang bersifat terobosan atau out of the box. Keduanya hanya bikin story belaka, belum history.

Sri & Darmin ibarat rantai jangkar yang harus diputus oleh Jokowi kalau mesin besar kapal Indonesia ini masih hendak dibawa berlayar menuju samudera perubahan. Ketimbang karam akibat salah urus ekonomi.

Reshuffle mutlak harus dilakukan.

Sedang batu sandungan lain yang mengganduli Jokowi adalah kasus terdakwa Ahok sang penista agama. Kasus yang penanganannya masih terkesan bertele-tele ini ibarat torpedo atau ranjau magnetik dalam Perang Eropa, yang punya daya luluh lantak menghancurleburkan apa yang selama ini dijaga oleh bangsa dan yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa, yaitu persatuan dan kesatuan serta toleransi & kerukunan beragama.

(Penulis adalah Wartawan Senior Rakyat Merdeka)
Bagikan dengan:

Muis Syam

2,145 views

Next Post

PKS Jadi Partai Besar, untuk Apa?

Kam Mar 9 , 2017
Oleh: Edy Mulyadi* “SAYA kagum dengan PKS. Partai ini kadernya solid dan militan. Kemampuan partai dalam memobilisasi juga luar biasa. Saya percaya di masa depan PKS bisa lebih besar lagi, bahkan bisa dua kali lipat daripada sekarang,” ujar ekonom senior Rizal Ramli.