DM1.CO.ID, JAKARTA: Meski berbagai “jurus” telah dikeluarkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK untuk menggenjot dan mendongkrak ekonomi dalam negeri, namun nyatanya kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Desember 2016 ini belumlah dapat meroket seperti yang dijanjikan dan bahkan digembar-gemborkan sebelumnya.
Secara tahunan (year on year) ekonomi Indonesia hanya 4,7 persen. Capaian ini melambat dibandingkan pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bisa ditengok sepanjang tahun 2016 ini, sudah banyak perusahaan besar yang harus tutup dan “buang handuk” karena merasa “babak-belur” dengan kondisi ekonomi dalam negeri yang kacau balau.
Perusahaan yang dimaksud di antaranya adalah Ford. Sebagai perusahaan mobil Amerika, Ford di bulan Januari 2016 dikabarkan telah hengkang dari Indonesia akibat iklim investasi dan perekonomian Indonesia yang sudah menguatirkan dan makin memburuk.
“Hengkangnya Ford dari Indonesia merupakan sinyal semakin memburuknya kondisi perekonomian Indonesia saat ini dan tanda-tanda krisis ekonomi akan menghampiri Indonesia,” tutur Ketua Komisi VI DPR-RI, Achmad Hafisz Tohir.
Selain Ford, juga ada 60 perusahaan besar khusus di Batam yang terpaksa harus tutup akibat kelesuan ekonomi dalam negeri.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam Rudi Sakyakirti, jumlah perusahaan yang tutup di Batam sudah 60 perusahaan terhitung Januari sampai November 2016.
“Hingga bulan Oktober ada 59 perusahaan tutup di Batam, ditambah yang terakhir PT. Sanyo Energi, maka genap ada 60 perusahaan tutup,” ungkap Rudi.
Selain perusahaan elektronik maupun manufacturing, kata Rudi, umumnya perusahaan tutup itu didominasi industri shypiard atau galangan kapal. Namun demikian pihaknya belum bisa menghitung berapa berapa jumlah tenaga kerja yang akan jadi korban PHK akibat tutupnya perusahaan-perusahaan tersebut.
Ia mengatakan rata-rata penyebab tutupnya perusahaan di Batam cukup beragam, mulai konflik internal, sepi proyek, kalah bersaing hingga akibat tidak mendapatkan izin kuota impor dari BP Batam.
Meski sejumlah indikasi tentang ekonomi yang kian memburuk telah bermunculan, namun pemerintahan Jokowi-JK masih saja berkelik dan mengatakan ekonomi dalam negeri masih dalam kondisi cukup baik.
Hal ini tentu saja dipandang aneh oleh banyak kalangan. Sebab, jika memang kinerja pemerintah di bidang ekonomi sudah baik, lalu mengapa harus ada gonta-ganti kabinet? Mulai dari reshuffle kabinet jilid 1 hingga jilid 2, dan terakhir berhembus lagi kabar bakal ada reshuffle kabinet jilid 3?
Menyikapi beragam masalah yang terjadi di negeri ini, terutama kondisi ekonomi Indonesia, Rizal Ramli selaku ekonom senior pun memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 masih mengalami stagnasi karena dinilai masih dalam kondisi sulit.
“Saya menilai tahun 2017 itu ekonomi kita masih tahap konsolidasi,” ujar DR. Rizal Ramli di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Selasa (27/12).
Dijelaskannya, keadaan itu dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal.
Faktor eksternal, menurut Rizal, adalah karena terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Trump dalam janjinya saat kampanye akan mengurangi pajak untuk orang kaya di AS, sekaligus meningkatkan pengeluaran untuk infrastruktur. Sehingga budget defisit AS akan semakin besar. Dan itu akan mengakibatkan tingkat suku bunga akan naik.
“Sehingga akan terjadi aliran keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia kembali ke Amerika, pulang kandang,” jelas mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini.
Sementara faktor internal, lanjut Rizal, pemerintah terlalu fokus dalam pemotongan-pemotongan anggaran. Padahal pemotongan anggaran oleh pemerintah itu dapat mengakibatkan ekonomi dalam negeri menjadi stagnan dan hanya akan tumbuh paling maksimal 5 persen.
Ekonomi dalam negeri yang stagnan itu, katanya, juga akan berimbas pada nilai jual aset yang juga stagnan, tidak mengalami kenaikan.
Hal ini kemudian disesalkan Rizal Ramli, sebab untuk orang asing itu sangat menguntungkan kalau aset di Indonesia harganya turun.
Rizal Ramli yang juga pernah menjabat Menteri Keuangan ini pun mengakui, bahwa kebijakan pemotongan anggaran oleh pemerintah memang akan menambah anggaran negara, sehingga negara mampu membayar utang.
Namun hal itu, menurutnya, juga akan membuat para pemegang surat utang Indonesia atau Bond Holder yang notabene orang asing juga ikut senang.
Jadi menurut Rizal Ramli, pertama, dari kacamata asing kebijakan pemotongan anggaran ini bagus dan menyenangkan, arena harga aset tidak naik. “Yang kedua, utang bisa dibayar, tapi dari segi ekonomi kita, rakyat kita menyedihkan, karena terjadi stagnasi,” ujarnya menyesalkan.
Rizal Ramli yang juga penasehat sekaligus anggota panel ekonomi di badan dunia PBB ini pun menyarankan, pemerintah seharusnya jangan hanya mengandalkan model pendekatan-pendekatan perbaikan ekonomi layaknya pendekatan yang dilakukan oleh Bank Dunia.
“Kita harus mencoba cara-cara lain yang jauh lebih efektif untuk memacu dan mempercepat pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.