PEMERINTAHAN yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), sejak awal memang telah menyebut dan mengaku diri sebagai rezim pekerja.
“Pengakuan diri” itu diperlihatkan oleh Jokowi dan JK, yang secara sepakat menyebut kabinet pemerintahan mereka dengan nama “Kabinet Kerja”.
Pertanyaannya secara umum, seberapa besarkah capaian hasil yang telah dikerjakan oleh rezim yang juga mengaku “berjubah” Trisakti itu?
Kemudian dari sisi pertumbuhan ekonomi, apakah benar rezim ini betul-betul sudah bekerja?
Atau, pemerintahan yang kerap bertepuk dada sebagai pejuang wong cilik ini, adakah benar-benar telah menjalankan Trisakti dengan baik?
Sejumlah pertanyaan tersebut, meski memang belum bisa dijawab dalam bentuk kesimpulan lantaran pemerintahan Jokowi masih sedang berjalan. Tetapi paling tidak, pada 65 persen perjalanan pemerintahan ini, pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dalam bentuk asumsi-asumsi dari berbagai kalangan, terutama dari para ahli serta pengamat dari berbagai penjuru. Mengapa?
Sebab, semakin menuju ke arah finish periode pemerintahan Jokowi, kondisi laju pergerakan kerja (terutama di bidang ekonomi) yang diperlihatkan oleh para menteri di dalam Kabinet Kerja, hingga saat ini nampak sangat jelas makin menjauh dari yang diharapkan.
Dalam kondisi seperti itu, tentu tidaklah keliru apabila seorang ekonom senior kelas internasional seperti Dr. Rizal Ramli akhirnya harus balik bertanya.
“Ini pemerintah bekerja untuk kreditor atau bekerja buat rakyat dan bangsa kita. Itu yang ingin saya tanya?” lontar Rizal Ramli di hadapan publik dalam sebuah acara di salah stasiun televisi naional, Selasa malam (1/1/2018).
Mempertanyakan kinerja pemerintahan di bidang ekonomi memang patut dilontarkan oleh Rizal Ramli. Sebab Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, melihat dalam tiga tahun berturut-turut (2015, 2016, dan 2017) capaian pertumbuhan ekonomi hanya mengalami stagnan di angka 5%.
Angka tersebut sekaligus menunjukkan, bahwa tim ekonomi di dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi hingga saat ini belum mampu memperlihatkan hasil kerja yang maksimal dan optimal.
Atau dalam kata lain, tiga tahun berturut-turut tim ekonomi Jokowi (terutama Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan) hanya mampu memompa pertumbuhan ekonomi sebesar 5%. Dan ini boleh dikata sama sekali tidak bergerak dan amat jauh dari perubahan sebagaimana yang diharapkan.
“Kalau kita flashback, awal tahun (2017), pemerintah mengatakan bakal bisa ekonominya tumbuh 5,4 persen. Kan, Pak Jokowi mau 5,4 persen. Tetapi di tengah jalan oleh menteri keuangan dikoreksi (cuma bisa) 5,2 persen. Ternyata (koreksinya) itupun tidak tercapai, buntutnya cuma 5,02 persen,” ungkap Rizal Ramli dalam salah satu program acara di televisi nasional tersebut, pada Selasa malam (1/1/2018).
Rizal Ramli di dalam siaran live yang bertajuk “Ekonomi 2018: Lebih Baik atau Lebih Buruk?” mengaku tidak heran dan tak aneh dengan ketidak-mampuan tim ekonomi Jokowi dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Rizal Ramli bahkan mengaku jauh-jauh hari sudah menduga kuat tim ekonomi Jokowi tidak akan mampu mencapai target, apalagi untuk memenuhi harapan Presiden Jokowi sebesar 5,4 persen. “Saya tidak aneh. Dari awal, memang ini akan terjadi. Kenapa? Karena yang dilakukan adalah pengetatan, atau austerity,” ujar Rizal Ramli.
Ia lalu mengutip pandangan Confusius (seorang guru atau orang bijak yang terkenal dan juga filsuf sosial Tiongkok), yakni: “Kalau target tidak tercapai, jangan ubah targetnya. Tapi ubah cara untuk mencapainya.”
Dan ini, lanjut Rizal, sama dengan omongan Einstein: “Jangan bermimpi bisa mendapatkan hasil berbeda dengan menggunakan cara-cara yang sama.”
Pandang Confusius dan Einstein sengaja Rizal Ramli kemukakan adalah untuk menjelaskan, bahwa pengetatan anggaran yang ditempuh oleh Menteri Keuangan tersebut adalah program yang sudah puluhan kali gagal di Amerika Latin.
“Dan ini juga akan gagal di Indonesia, tapi memang menguntungkan kreditor. Karena dengan kita motong-motong anggaran, uber pajak, ada uang (tapi) buat bayar kepada kreditor,” ujar Rizal Ramli.
Ia mengungkapkan, paket pengetatan atau austerity yang dijalankan oleh pemerintah saat ini hanya menyenangkan oihak kreditor. “Bukan rakyat kita, bukan buruh, bukan para pengusaha. Makanya para pengusaha pada mengeluh, buruh mengeluh karena memang terjadi pengetatan yang sangat terasa,” kata Rizal Ramli.
Anggota dewan panel Ekonomi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) inipun kembali menegaskan, bahwa jika paket pengetatan ini terus dilanjutkan dengan gaya kebijakan ekonomi makro yang super-konservatif tahun ini hingga tahun2019, maka hanya akan bergerak di tempat di angka 5 persen.
Angka inipun, jelas Rizal, bisa diperparah dengan adanya resiko internasional. Yakni pertama, Amerika baru turunkan pajak dari 35 persen ke 21 persen, di mana pada kondisi tersebut akan banyak kapital yang kembali ke sana. “Sehingga cosh of money yang ikut, kita ngutang banyak juga tinggi,” jelas Rizal.
Kedua, lanjut Rizal, kalau ada eskalasi di Palestina, harga oil bisa naik dari 40 USD ke 100 USD. “Sekarang aja sudah mulai naik. Kita ini net-importir. Kalau dari 40 USD naik ke 100 USD, kita mesti nombokin setiap barelnya 60 USD dikali 1,5 Juta setiap hari, satu hari 900 Juta USD, dan itu akan memberikan tekanan kepada mata uang rupiah,” ungkap Rizal Ramli.
Menyikapi semua itu, Rizal Ramli yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan era Gus Dur ini pun mengimbau dan menegaskan, bahwa paket austerity ini sudah terbukti gagal, dan terbukti membuat rakyat susah, menurunkan daya beli. “Kok masih mau dipertahankan di 2018 dan 2019, hanya sekadar untuk menyenangkan kreditor. Ini pemerintah bekerja untuk kreditor atau bekerja buat rakyat dan bangsa kita. Itu yang ingin saya tanya,” lontar Rizal Ramli.
Lebih jauh, Rizal Ramli mengharap hendaknya kondisi ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi lagi. “Karena yang nganggur banyak sekali, anak-anak muda yang lulus tak ada pekerjaan. Dan itu hanya bisa (diatasi) kalau kita bisa tumbuh 6,5 persen,” ujar Rizal Ramli.
Rizal Ramli mengaku yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 6,5 persen, asalkan jangan dengan cara austerity, tetapi harus dengan gross story, artinya cara-cara untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai.
“Satu yang kami rintis waktu itu pariwisata, dan ternyata pariwisata sekarang penghasil devisa nomor dua di Indonesia setelah sawit. Ada lain-lain yang sebetulnya kalau digenjot kita bisa tumbuh 6,5persen, dan itu akan mengakibatkan daya beli, upah, dan kesejahteraan pekerja/buruh akan lebih bisa kita tingkatkan,” jelas Rizal.
Rizal me-review, bahwa dari awalkan pemerintah sudah mau genjot investasi asing. “Kita undang, tapi yang datang kan sedikit sekali. Kenapa? Karena rata-rata kan mereka (investor asing) lihat ngapain mesti ke Indonesia tumbuhnya 5 pesen, Filipina 7 persen, yang lain 6,5 persen, 7 persen, mereka datang ke situ dulu,” jelas Rizal.
Menko Kemaritiman Era Presiden Jokowi ini melihat ada yang perlu dibenahi dengan cara membalik logika dan mind-set yang selama ini diterapkan. “Dibalik logikanya, kita genjot dulu ekonomi dalam negeri kita, tumbuhkan 6,5 persen, otomatis asing akan datang. Kalau nggak, dia bodoh,” tutur Rizal.
Rizal yang juga pernah menjabat sebagai Komisaris Utama PT. Semen Gresik itupun menegaskan amat penting membalik logika. “Genjot dulu ekonomi domestik, dari 5 ke 6,5 persen, nanti asing datang, karena daya beli kan juga kuat, mereka pasti datang,”kata Rizal.
Rizal Ramli melanjutkan, “Jangan kita kayak pengemis. Asing datang, datang buka baju semua, baju kita mau buka semua. Asing kalau sudah buka baju semua, juga jangan-jangan tidak tertarik?” ucapnya.
Olehnya itu, Rizal kembali menyarankan, tahun ini harusnya memberikan harapan supaya kita bisa lebih baik, tapi tidak boleh menggunakan cara yang gagal, yaitu pengetatan dan austerity.
“Ada cara lain kok, dengan memicu pertumbuhan ekonomi lebih cepat supaya ekonomi kita tahun ini bisa naik ke 6,5 persen bisa dilakukan. Kami dulu dari dari minus 3 ke 4,5 persen cuma 21 bulan, sehingga lapangan kerja juga bisa diciptakan. Saya kasihan anak-anak muda kerjanya cuma sekarang bisanya ngojek aja, online segala. Itukan lowpep banget, kita kan ingin anak-anak muda kita juga punya kesempatan hidup lebih baik,” pungkas Rizal Ramli.
——-