DM1.CO.ID, JAKARTA: Saat ini proses seleksi pemilihan Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum final. Namun sejauh ini, banyak kalangan yang mengaku tak banyak menaruh harapan besar kepada para calon DK-OJK yang sedang digodok oleh DPR-RI tersebut.
Pasalnya, para calon yang sedang mengikuti seleksi tersebut diduga kuat masih berasal dari kubu atau loyalis Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian saat ini. Dan jika hal ini benar, menurut sejumlah pihak, maka DK yang baru tak ubahnya dengan DK-OJK yang lalu. Hanya ganti kulit!
DK-OJK yang lalu dinilai oleh banyak pihak masih sangat tumpul. Dan apabila peran OJK masih terus menerus tumpul, maka dikuatirkan justru hanya akan menjadi “agen” para konglomerat dalam memonopoli kucuran atau pemberian modal (kredit) dari lembaga-lembaga keuangan (perbankan).
Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur sekaligus ekonom senior, Dr. Rizal Ramli juga menilai, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini memang masih tumpul dalam mengawasi konglomerasi perusahaan di sektor keuangan.
Ia menganalogikan ibarat gelas anggur, bagian atas gelas ini masih dikuasai oleh konglomerasi perusahaan besar. Di bagian bawahnya, adalah leher gelas yang kurus dan tipis tersebut diisi oleh perusahaan jasa keuangan yang independen. Sementara itu, bagian dasar gelas yang pipih meski cukup luas, tetapi masih “tertekan”, yakni para pelaku usaha kecil.
“Ini struktur (di sektor jasa keuangan) yang ada saat ini. Selama ini, struktur ini tidak berubah, tetap tidak adil. Yang besar ini, mereka punya kekuasaan (akses), gap-nya jauh sekali,” jelas Rizal Ramli.
Sementara itu, Salamuddin Daeng selaku Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) juga menilai, kinerja (OJK) di masa kepemimpinan Ketua DK-OJK, Muliaman D. Hadad, belum mampu menumpas ketimpangan di sektor keuangan nasional.
“Semestinya fungsi OJK selaras dengan visi pemerintah. Seharusnya OJK mampu mengubah struktur ekonomi kita yang timpang, karena ketimpangan kita termasuk soal pendapatan dan sektor keuangan,” ujarnya.
Salamuddin mengaku punya catatan tersendiri, bahwa ketimpangan di sektor keuangan nasional tercermin dari penguasaan tabungan di perbankan. Saat ini, katanya, sekitar 1% orang kaya yang memiliki rekening, masih menguasai hampir 70 persen tabungan di perbankan.
Tak hanya itu, menurut Salamuddin, dari sisi penyaluran kredit terdapat sekitar 80% kredit dari perbankan diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar. Sementara usaha kecil rakyat, masih banyak yang jauh dari jangkauan perbankan. Padahal, katanya, Presiden Jokowi ingin agar layanan keuangan menyentuh rakyat dan pelaku usaha kecil melalui inklusi keuangan. Namun nyatanya, itu tidak dilakukan oleh OJK.
“Jadi, untuk DK-OJK mendatang, harus benar-benar diketahui, apakah mereka mampu melepaskan oligarki keuangan kita dari penguasa dan taipan yang sudah sangat mengkuatirkan?” pungkas Salamuddin bertanya-tanya.
(dbs/DM1)