DM1.CO.ID, JAKARTA: Ada hasil riset JP Morgan Chase Bank NA yang membuat pemerintah tiba-tiba jadi “cemas” karena dinilai berpotensi menciptakan gangguan stabilitas keuangan nasional.
Akibatnya, pemerintah pun memutuskan untuk menghentikan segala hubungan kemitraan dengan JP Morgan Chase Bank sebagai bank persepsi dalam program Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) berlaku per 1 Januari 2017.
“Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor: S-1006/MK.08/2016, Kementerian Keuangan memutuskan segala hubungan kemitraan dengan JP Morgan Chase Bank N.A. terkait hasil riset JP Morgan Chase Bank, N.A,” demikian tertulis dalam surat keputusan pemberhentian kerjasama tersebut ditandatangani Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu, Marwanto Harjowirjono per tanggal 9 Desember 2016.
Dengan pemutusan kontrak kerjasama sebagai bank persepsi, maka pemerintah tidak lagi menerima setoran negara dari siapa pun di seluruh cabang JP Morgan Chase Bank N.A, terhitung mulai 1 Januari 2017.
Surat tersebut dibuat dengan beberapa tembusan, di antaranya Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, hingga beberapa pejabat eselon satu di lingkungan Kementerian Keuangan.
Sayangnya, dalam surat itu pemerintah tidak transparan menyebutkan secara detail seputar riset yang dimaksud.
Namun, melansir laman Baron Asia yang dipublikasikan pada November lalu, JP Morgan memang mengubah alokasi portofolio strategis ekuitas negara-negara berkembang.
Lembaga keuangan ini menurunkan status Brasil dari Over-weight ke Netral. Bahkan, posisi Indonesia turun dua peringkat dari Over-weight ke Under-weight, dan Turki dari Netral ke Under-weight.
Meski JP Morgan tak menjelaskan secara rinci alasan melakukan penurunan status dan posisi Indonesia, Brasil serta Turki, namun lembaga ini memunculkan statement, bahwa usai pemilu di Amerika Serikat (AS), imbal hasil obligasi 10 tahun telah bergerak dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen.
“Pasar obligasi mulai price in dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan defisit yang lebih tinggi. Peningkatan volatilitas ini meningkatkan premi risiko negara berkembang (seperti Brasil, Indonesia) dan berpotensi menghentikan atau membalikkan aliran (modal) ke fixed income negara berkembang,” demikian penjelasan riset JP Morgan, Senin (2/1/2017).
Baron menyebut pasar negara berkembang cukup tenang di tahun 2016 dan risiko kredit Indonesia dengan mengukur CDS jauh di bawah tingkat tahun lalu. Namun, kondisi berubah usai Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS.
Selanjutnya, kekuatiran tentang Indonesia juga antara lain dipicu meningkatnya ketegangan sosial dan politik di Indonesia.
Negara dengan jumlah umat muslim dan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia ini sempat diguncang aksi protes terhadap salah satu calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait kasus penistaan agama.
Pada 2016, investor asing melakukan aksi beli di pasar saham Indonesia mencapai 2,4 Miliar Dolar AS. Namun, sejalan dengan peningkatan imbal hasil obligasi AS, besar kemungkinkan investor asing bergegas menarik dananya dari Indonesia.
Apa mungkin hasil riset ini juga salah satunya yang membuat sejumlah perusahaan besar memilih untuk tutup atau hengkang dari Indonesia, sejak Januari hingga November 2016?
Entahlah, yang jelas riset JP Morgan ini tak bisa dipandang sepele, seperti halnya dengan prediksi dari ekonom senior (Rizal Ramli) beberapa waktu lalu tentang ekonomi Indonesia yang masih akan mengalami stagnasi pada 2017, tentulah pula tak bisa dipandang sepele.
“Akan terjadi aliran keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia kembali ke Amerika, pulang kandang,” ungkap Rizal Ramli dalam prediksinya.