Penyunting: Abdul Muis Syam
DM1.CO.ID, JAKARTA: Menyikapi kondisi ekonomi di tanah air yang kian tak menentu, salah seorang aktivis 77/78, Abdulrachim, menulis artikel di Twitlonger berjudul: Pidato Sri Mulyani dan Rekam Jejaknya.
Abdulrachim menyoroti beberapa hal. Ia menyebut, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan dalam pidatonya pada Seminar Ekonomi Makro di kantor PT Astra Internasional Tbk, Senin (3/4/2017) menyatakan, kalau Indonesia ingin maju maka harus meninggalkan perekonomian yang mengandalkan Sumber Daya Alam.
SMI juga menyebutkan bahwa dalam dekade terakhir pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,7% dan kemakmuran rakyat meningkat.
Penyataan Sri Mulyani tersebut dianggap sangat subyektif, karena tidak menyebutkan negara lain seperti Vietnam dan Filipina yang justru pertumbuhan ekonominya jauh lebih tinggi dari Indonesia.
Statemen lain dari Sri Mulyani yang disesalkan Abdulrachim, yakni di antaranya Sri Mulyani mengingatkan agar Indonesia jangan terjebak dalam “middle income trap” (jebakan bagi negara-negara berpenghasilan menengah, yaitu tidak bisa naik lagi dari GDP perkapita $ US 5000-10.000), karena dari 190 negara hanya sedikit yang berhasil lolos dari jebakan itu, seperti Singapura, Korea Selatan dan Taiwan.
Dan menurut SMI trap (jebakan)-nya itu adalah institusinya yang lemah, KKN, pilih kasih, bukan based on system tetapi based on personal connection, lemahnya ease of doing business, dan sebagainya.
Oleh karena itu Indonesia harus mengembangkan sumber-sumber perekonomian yang baru, jangan cuma mengandalkan komoditas mentah, harus ada nilai tambah. Kita harus beralih ke industri pengolahan, teknologi, juga harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kita harus beralih dari sumber daya alam ke teknologi dan sumber daya manusia.
Menurut Abdulrachim, sebelum kita membahas yang lainnya kita bahas dulu bahwa dalam satu dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia itu rata-rata mencapai 5,7% pertahun, dan itu di mata Sri Mulyani adalah suatu prestasi yang hebat (seperti dalam pidato Sri Mulyani yang menyatakan perekonomian Indonesia nomor 3 terbaik di dunia setelah Cina dan India).
Untuk membuktikan “kebenaran” pidato Sri Mulyani tersebut, Abdulrachim pun mengajak untuk mengintip perekomian Vietnam dan Filipina berdasarkan data-data resmi dari World Bank agar tidak keliru memahami perekonmian Indonesia yang diakibatkan oleh pencitraan yang dilancarkan oleh Sri Mulyani.
Dari overview tentang Vietnam di website Bank Dunia www.worldbank.org menunjukkan, bahwa Vietnam sejak tahun 1990 menjadi salah satu negara yang mempunyai pertumbuhan GDP perkapita tercepat didunia, dan sejak tahun 2000 rata-rata pertumbuhannya 6,4% pertahun jauh di atas Indonesia yang dinyatakan Sri Mulyani hanya 5,7% pertahun. Selain itu, jumlah penduduknya yang sangat miskin telah turun jauh sekali dari 50% pada awal tahun 1990-an menjadi hanya 3% di tahun 2012.
Indikator sosial Vietnam juga meningkat pesat dalam dekade terakhir yang ditunjukkan oleh jumlah penduduk yang terdidik lebih banyak dan angka harapan hidup yang lebih tinggi . Angka-angka itu dicapai lebih cepat dari yang ditargetkan oleh Millennium Development Goal (MDG) dan masih banyak lagi indikator-indikator sosial positif yang dicapai oleh Vietnam.
Sementara itu, Flipina yang pada awal tahun 1950-an pernah menjadi negara terkaya nomor 2 di Asia setelah Jepang.
Pada tahun 1960 GDP Filipina perkapita masih 10% di atas Korea Selatan, juga pada saat itu Filipina penerima investasi luar negeri terbesar di Asia Pasifik, namun setelah itu ekonominya stagnan, tidak maju . Sehingga pada tahun 1995 GDP perkapita Filipina 75% di bawah Korea Selatan sampai mendapat julukan “The Sickman of Asia”.
Namun sekarang Filipina sudah mulai bangkit kembali. Dalam 6 tahun terakhir sejak 2011 hingga 2016 dalam pemerintahan Benigno Aquino III, mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,06% pertahun yang berada di atas Indonesia yang hanya 5,7 % padahal sama-sama mengalami situasi ekonomi dunia yang sulit.
Karena itu, menurut Abdulrachim, kita harus membandingkan kondisi ekonomi kita dengan negara lain terutama Vietnam dan Filipina. Kita tidak boleh puas dengan pertumbuhan rata-rata 5,7% pertahun atau bahkan rencananya 2017 ini hanya 5,1%.
Seharusnya pertumbuhan ekonomi 2017 ini bisa mencapai 6,5% atau lebih seperti ditargetkan oleh Vietnam dalam 2017 ini yaitu antara 6,5 hingga 7,5%.
Abdulrachim memaparkan, bahwa dulu di zaman Orde Baru, di mana para menteri ekonominya adalah guru-guru dari menteri-menteri ekonomi di pemerintahan saat ini, sebagian masyarakat yang kritis membandingkan perekonomian Indonesia dengan Singapura, Malaysia dan Thailand.
Tetapi saat ini mereka sudah sangat maju dengan GDP perkapita sudah mencapai $ US 51.800 (Singapura); $ US 10.800 (Malaysia), dan $ US 5.700 (Thailand).
Sedangkan Indonesia baru akan mencapai $ US 4.000 (masih $US 3.800). Sehingga kita sekarang terpaksa harus membandingkan dengan Vietnam dan Filipina. Sementara China yang baru membangun di awal 1980-an sekarang GDP perkapitanya sudah mencapai $ US 6.500.
Uraian di atas, lanjut Abdulrachim, adalah untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata sebesar 5,7% pertahun selama satu dekade terakhir bukanlah suatu pertumbuhan ekonomi yang bagus. Karena Vietnam dan Filipina tumbuh lebih besar dari kita, jadi seharusnya kita bisa sama atau tumbuh lebih besar lagi dari mereka bila kerja menteri-menteri ekonomi kita benar.
Hal lain yang disoroti Abdulrachim adalah statemen Sri Mulyani yang mengatakan bahwa, agar kita tidak terjebak kepada “middle income trap” harus memperkuat institusi yang lemah, memberantas KKN, tidak boleh pilih kasih, harus memperbaiki ease of doing business dan sebagainya.
Pernyataan seperti itu tentu saja sangat benar. Tetapi, menurut Abdulrachim, hal-hal tersebut hanyalah SYARAT AWAL dari suatu pertumbuhan ekonomi yang baik.
Kalau hanya hal-hal tersebut saja yang kita jalankan tanpa terobosan-terobosan dan inovasi-inovasi dari kebijakan ekonomi lainnya, maka menurut Abdulrachim, pertumbuhan maksimalnya hanya 5,5 hingga 6% pertahun, tidak akan lebih. Bandingkan dengan Vietnam dan Filipina yang mampu tumbuh 6 hingga 7%.
Jadi, menurut Abdul rachim, yang sangat penting dilakukan adalah bukan hanya mengerjakan seperti yang disebutkan oleh Sri Mulyani tersebut, sebab semua itu pasti juga telah dikerjakan oleh Vietnam dan Filipina, melainkan harus ada kebijakan-kebijakan ekonomi terobosan dan inovatif yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan berkelanjutan. Kalau bisa mencapai 7,5%, dan bila ekonomi dunia membaik bisa mencapai 8-9% atau bahkan 10% pertahun.
Abdulrachim juga menanggapi pernyataan Sri Mulyani yang telah menyatakan, bahwa bila kita mau maju maka harus keluar dari ketergantungan kepada Sumber Daya Alam, harus beralih ke industri pengolahan, teknologi dan peningkatan sumber daya manusia.
Pernyataan seperti ini sangat benar, karena pula telah dilakukan oleh Vietnam yang menarik investasi pabrik gadget Samsung yang sangat besar, membuat 35% dari produk gadget Samsung di seluruh dunia, menampung 130.000 tenaga kerja dan telah mengekspor produknya pada 2016 sebesar USD 34.32 Milyar (diberitakan oleh VN Express, 23 Januari 2017), yang merupakan 27,1% ekspor Vietnam, dan pada 2017 diperkirakan akan meningkat lagi menjadi USD 39 Milyar. Sedangkan total ekspor Vietnam sendiri pada 2016 sebesar USD 176 Milyar, jauh di atas ekspor Indonesia pada 2016 yang hanya sebesar USD 144 Milyar yang merosot terus sejak 2012.
Namun masalahnya, kata Abdulrachim, adalah apakah yang dikatakan oleh Sri Mulyani itu hanya pidato yang indah atau memang akan dilakukannya, dan apakah SMI mampu melakukannya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Abdulrachim pun mengajak untuk kembali me-review rekam jejak Sri Mulyani, karena untuk melakukannya tidak semudah berpidato.
Untuk melakukan itu, menurut Abdulrachim, selain harus mempunyai wawasan yang mendalam soal sektor-sektor yang berpotensi menumbuhkan ekonomi yang berkelanjutan, juga harus punya tim yang kuat untuk terus menerus monitoring, mengawal dan mengoreksi arah dari pembangunannya dan pelaksanaan-pelaksanaannya serta koordinasi-koordinasinya .
Di sisi lain, Abdulrachim mengakui bahwa Sri Mulyani memang pernah menjabat sebagai Menteri/Ketua Bappenas 2004-2005, Menteri Keuangan 2005-2010, dan Menteri Koordinator Perekonomian 2008-2009, namun dengan segudang jabatan itu tidak pernah memunculkan legacy positif atau sebuah rekam jejak keberhasilan yang dapat disebut telah menggenjot pertumbuhan ekonomi, di luar Sumber Daya Alam dan komoditi yang diekspor masih dalam keadaan setengah mentah seperti Crude Palm Oil (CPO) yang nilai tambahnya tidak banyak.
Di masa Sri Mulyani sangat berkuasa dalam mengatur pertumbuhan ekonomi itu, penghasilan utama ekspor Indonesia seperti Batubara dan CPO memang ketika itu harga internasionalnya kebetulan mengalami kenaikan kepuncak kejayaannya. Jadi tak heran bila pertumbuhan ekonomi saat itu bisa mencapai 6,6% dan media serta para analis dalam dan luar negeri ikut bersorak-sorai mengelu-elukan Sri Mulyani (seolah-olah Sri Mulyani adalah seorang wonder woman yang berpestasi luar biasa dalam memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia).
Padahal prestasinya hanya menggantungkan diri kepada Sumber Daya Alam (batubara dan juga gas) serta CPO yang harganya memang kebetulan sedang membubung tinggi sekali ketika itu. Artinya, bukan karena hasil genjotannya, dan bukan pula karena sektor-sektor pertumbuhan baru seperti yang disebutkan Sri Mulyani dalam pidatonya tersebut.
Hal ini dapat dilihat ketika harga batubara dan komoditi lainnya sempat anjlok dalam sekali sejak 2012 sampai pernah tinggal 30% hingga 50% dari harga tertingginya, membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut merosot ke bawah.
Dalam situasi sulit seperti itu, Sri Mulyani kembali ditarik masuk ke pemerintahan. Alhasil, Sri Mulyani nyatanya tak bisa berbuat banyak, dan bahkan tak berdaya untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, sekali lagi, memang dulu Sri Mulyani bisa disebut berprestasi karena harga-harga komoditi memang kebetulan sedang berada di puncaknya dan tidak menggenjot sumber-sumber ekonomi baru yang tidak bergantung kepada Sumber Daya Alam dan komoditi primer.
Sehingga akhirnya, menurut Abdulrachim, kita pun tahu tahu bahwa pidato Sri Mulyani yang menganjurkan agar kita tidak lagi menggantungkan diri kepada SDA dan komodit primer, sesungguhnya adalah bertentangan dengan rekam jejak Sri Mulyani sendiri.
Bahkan, lanjut Abdulrachim, kalau kita perhatikan baru-baruini ketika Menteri ESDM menggebrak PT.Freeport Indonesia (PTFI) agar merubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan mewajibkan PTFI agar menjual sahamnya sebesar 51% ke Indonesia, untuk memberi manfaat yang lebih besar ke negara kita, Sri Mulyani malah mengeluarkan pernyataan yang bernada berkeberatan.
Padahal, menurut Abdulrachim, di lain pihak Indonesia mempunyai seorang ekonom handal yang sering melakukan terobosan inovatif untuk memunculkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, yaitu Dr. Rizal Ramli (RR), Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur (2000-2001), serta Menko Kemaritim dan Sumber Daya (2015-2016).
Abdulrachim menguraikan, bahwa Rizal Ramli pada era Presiden Gus Dur pernah menyelamatkan PT.IPTN yang kemudian berubah menjadi PT.Dirgantara Indonesia (PTDI), perusahaan negara pembuat pesawat terbang, yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang teknologi maju, bukan hanya mengandalkan SDA.
Ketika itu, ungkap Abdulrachim, PT.DI harus diselamatkan karena tiba-tiba LoI (Letter of Intent) IMF (tempat kerja dan pengabdian Sri Mulyani selama 2 tahun sebelum menjadi Menteri /Ketua Bappenas), mengharuskan agar pemerintah RI menyetop anggaran kepada PT.DI.
Dalam kondisi sulit seperti itu, Rizal Ramli mengadakan perombakan besar-besaran. Hasilnya, pada tahun 2001 PT.DI akhirnya mampu meningkatkan penjualan hampir tiga kali lipat, hingga mencapai Rp.1,4 Trilyun.
Abdulrachim juga mengungkapkan, bahwa RR juga pernah menyelamatkan PLN, perusahaan negara yang terkait dengan pembangkit, transmisi dan distribusi listrik.
Ketika itu, kata Abdulrachim, PLN sudah secara teknis bangkrut akibat banyaknya kontrak pembangunan pembangkit listrik KKN yang tarifnya gila-gilaan di zaman Orde Baru.
Disebutkannya, semester pertama tahun 2000 saja PLN didera kerugian Rp.11,58 Trilyun. Modal PLN sudah minus Rp.9,1 Trilyun, sudah ditolak oleh bank di mana-mana.
Dalam kondisi PLN yang sangat kolaps ketika itu, menurut Abdulrachim, justru nyatanya bisa diselamatkan oleh RR, bahkan modal PLN naik menjadi Rp.119,4 Trilyun tanpa menyuntikkan modal sepeserpun, melainkan dengan revaluasi aset.
Dan keberhasilan itu tak berlebihan jika disebut sebagai sebuah legacy positif dari RR. Sebab, itu adalah tindakan penyelamatan BUMN yang belum pernah ada dalam sejarah. Itupun belum cukup, RR berhasil menegosiasikan utang pemerintah yang disebabkan oleh PLN dari $ US 80 Milyar menjadi hanya $ US 35 Milyar.
Selanjutnya di bidang perbankan, RR juga pernah menyelamatkan krisis BII, suatu bank yang jauh lebih besar dari bank Century, juga tanpa menyuntikkan modal sepeserpun.
Namun menurut Abdulrachim, sebetulnya bukan hanya perusahaan-perusahaan yang terancam kolaps saja akibat krisis ekonomi 97/98 yang bisa diselamatkan oleh RR, tetapi RR juga menggerakkan sumber pertumbuhan ekonomi baru yaitu dunia penerbangan.
Sebab, kata Abdulrachim, dulunya dunia penerbangan hanya dikuasai oleh sedikit pemain yang cenderung mahal, tidak efisien dan tidak ada kompetisi yang sehat. RR membuka izin-izin baru bagi perusahaan-perusahaan penerbangan agar terjadi kompetisi yang sehat. Dan dari situlah bermunculanlah perusahaan-perusahaan baru, seperti Lion Air, Sriwijaya Air dan lain sebagainya, sehingga selain tarifnya lebih murah, jumlah penumpangnya bisa lebih dari 5 kali lipat sebelumnya, dan menghasilkan pajak bagi pemerintah.
Tak hanya sampai disitu, Abdulrachim juga mengungkap geliat RR dalam hal membantu petani akibat krisis 98 yang membuat harga-harga kebutuhan pokok melonjak tinggi, sehingga juga membuat petani kesulitan untuk membayar Kredit Usaha Tani (KUT).
RR juga menghapuskan 100% bunga kredit, dan antara 25%-50% pokok pinjamannya. Sehingga para petani yang jumlahnya meliputi jutaan orang itupun dapat meneruskan pekerjaannya dengan tenang.
Untuk membantu sektor UKM dan properti yang juga banyak mempunyai kredit macet ditahun 2000-2001 itu, RR merestrukturisasi kredit mereka sehingga sektor tersebut bisa bergerak lagi.
Diungkapkan pula, pada bulan Agustus 2015-Juli 2016 (selama 11 bulan) Dr. Rizal Ramli menjabat sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya dalam pemerintahan Presiden Jokowi . Di mana pada masa jabatannya itu, RR juga membuat banyak kebijakan dan program-program yang menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.
Ketika itu, kata Abdulrachim, RR sebagai Menko Kemaritiman, pertama-tama menjalin koordinasi dengan Menteri Perhubungan demi menjalankan program Presden Jokowi secara cermat dan tepat, yaitu menjalankan program Tol Laut.
Program ini meliputi 6 rute yang 5 rute di antaranya adalah menuju Indonesia Timur. Hal ini selain akan dapat menurunkan harga-harga kebutuhan pokok yang selama ini berbeda jauh dengan wilayah Indonesia Tengah dan Barat, juga akan menumbuhkan perekonomian di Indonesia Timur.
Selain itu, RR juga menjalankan program 10 tujuan wisata yang diprioritaskan agar nantinya bisa membesarkan industri pariwisata. Industri ini hanya membutuhkan investasi yang relatif kecil, melibatkan ratusan ribu tenaga kerja langsung atau tidak langsung, bisa menyebar keseluruh Indoesia, dan bisa menumbuhkan industri2 lainnya.
RR telah memulai dengan mendorong pariwisata di Danau Toba, memperbaiki bandara Silangit, akan memperbaiki bandara Sibisa, membuat jalan tol, infrastrukturnya dan lain-lain.
Untuk mendukung perkembangan pariwisata tersebut, RR bahkan telah mempersiapkan sekolah tinggi perhotelan di NTB bekerjasama dengan Swiss, juga membuat kebijakan bebas visa untuk 169 negara yang kemudian berdampak besar bagi bertambahnya jumlah wisman.
Tak hanya sampai di situ, RR juga merencanakan pembangunan kompleks industri Petrokimia yang menggunakan sumber gas di blok Masela Maluku. Untuk itu telah berkunjung ke negara-negara yang industri Petrokimianya lebih maju seperti Malaysia.
Industri Petrokimia di pulau-pulau terdekat dengan blok Masela ini, selain akan mampu menghilangkan impor bahan plastik sebesar lebih dari Rp.100 Trilyun pertahun, juga menyerap ratusan ribu tenaga kerja dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia Timur yang mempunyai banyak sekali multiplier efek.
Selain itu, RR juga mendorong dibesarkannya industri perawatan pesawat terbang yang selama ini banyak yang dilakukan di luar negeri padahal bisa dilakukan di dalam negeri. Untuk itu telah diurus pembebasan impor komponen pesawat terbang. Bahkan pula telah merencanakan untuk mendorong industri perkapalan karena PT.PAL telah mampu membuat kapal perang yang diekspor ke Filipina.
Demi mengantisipasi agresivitas Cina di Laut Cina Selatan, RR sebagai Menko ketika itu bergegas merencanakan pembangunan Natuna yang akan didukung oleh 4 sektor, yaitu oil and gas, perikanan, jasa pelayanan perkapalan dan pariwisata. Kontraktor-kontraktor oil and gas yang stagnan akan diaktifkan kembali atau diganti, akan dibuat pasar ikan terbesar nomor dua di Asia setelah Jepang. Untuk itu juga akan mendatangkan 400 kapal nelayan di atas 60 GT dari Pantura yang akan memanfaatkan perairan Natuna yang tingkat penangkapan ikannya masih rendah. Sehingga nelayan-nelayan kecil di Pantura bisa mendapat ikan lebih banyak dan nelayan besarnya menangkap ikan di Natuna.
Abdulrachim juga mengungkapkan, karena di perairan Laut Cina Selatan lalu lintas perkapalannya cukup ramai, maka juga akan dikembangkan jasa pelayanan perbaikan kapal yang melayani kebutuhan-kebutuhan perkapalan. Selain itu, juga akan dikembangkan pariwisata karena di Natuna juga terdapat pantai yang sangat indah. Untuk itu akan bekerjasama dengan Perancis.
Tak cukup sampai di situ, guna menggerakkan perekonomian di pedesaan, RR juga sudah mematok program Mina Padi. Program tersebut adalah memelihara ikan di sawah. Di mana petani tak hanya menanam padi tetapi juga bisa memelihara ikan. Ini akan membuka peluang kerja bagi ratusan ribu tenaga kerja di desa-desa se-Indonesia, dan tentunya menumbuhkan perekonomian pedesaan.
Abdulrachim pun menyimpulkan, bahwa apa yang dipidatokan oleh Sri Mulyani tentang kita harus beralih dari perekonomian yang bergantung kepada SDA dan komoditi, sesungguhnya jauh-jauh hari sudah banyak sekali dilakukan oleh Dr.Rizal Ramli, yakni sejak tahun 2000 atau pada 17 tahun yang lalu. “Jadi RR sudah melakukan banyak sekali dan banyak hasilnya, sementara saat ini Sri Mulyani hanya bisa sebatas berpidato dan belum ada rekam jejaknya sama sekali.
Padahal Indonesia adalah negara yang sangat besar. Kalau dibentangkan di benua Eopa, bisa menutup jarak antara Inggris sampai Laut Kaspia perbatasan antara Eropa dan Asia.
Dan kalau dibentangkan lagi ke wilayah Amerika Serikat menutup dari pantai Barat di Lautan Pasifik dan kepala burung Papua, sudah menutup pantai Timur di Lautan Atlantik dan badannya Papua (Merauke) berada jauh sekali menjorok ke wilayah Laut Atlantik.
Jumlah penduduk Indonesia sekitar 255 juta, adalah terbesar keempat di dunia dengan berbagai macam suku, agama, latar belakang sosial politik dan pendidikan. Oleh karena itu, untuk bisa menumbuhkan perekonomian yang tinggi dan merata, tentulah sangat diperlukan tokoh ekonomi yang handal dan terbukti prestasinya, bukan hanya ekonom yang dibesarkan citranya oleh media dalam dan luar negeri, serta anak murid dari Bank Dunia dan IMF yang mempunyai kepentingan lain dari kepentingan nasional.
Lalu apakah bisa cita-cita besar Presiden Jokowi untuk memajukan Indonesia dan menyejahterakan rakyatnya hanya bisa dicapai dalam sebuah pidato?
(ams/DM1)