DM1.CO.ID, GORONTALO: Pada Mei 2024, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Gorontalo telah melakukan pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo tahun anggaran 2023.
Salah satu hasilnya, yakni BPK menemukan adanya 165 orang guru SMA/SMK yang terkena TGR (Tuntutan Ganti Rugi) dari pembayaran TPG (Tunjangan Profesi Guru), dengan total mencapai Rp.797.248.100.
Dari data yang diperoleh redaksi DM1, memperlihatkan besaran TGR tiap-tiap guru tersebut adalah masing-masing dengan nilai atau jumlah yang bervariasi. Yakni dari Rp.2 Jutaan hingga Rp.17 Juta, dan bahkan ada seorang guru terkena TGR terbesar mencapai Rp.21 Juta.
Tentu saja, hal itu kemudian yang membuat ke-165 guru tersebut kini dirundung sedih dan bersusah hati, karena harus dililit Tuntutan Ganti Rugi (TGR) tersebut.
Dari masalah tersebut, timbul spekulasi dugaan yang menjadi penyebab terjadinya TGR, yaitu salah satunya adalah akibat adanya pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi Gorontalo yang tidak mengantongi SK, namun diberikan akses untuk memegang aplikasi.
Dugaan tersebut kemudian diluruskan oleh Rusli W. Nusi selaku Kepala Dinas (Kadis) Dikbud Provinsi Gorontalo. “(memang) saya yang beri akses (pegawai tersebut). Tapi itu pasca pemeriksaan BPK. Itu pun cuma hanya sebatas read, bukan mengutak-atik aplikasi,” jelas Rusli W. Nusi di ruang kerjanya kepada Wartawan DM1, Selasa (17 September 2024), didampingi Siti Lahidjun (Kabid GTK).
Pada kesempatan tersebut, Siti Lahidjun juga menegaskan, bahwa munculnya TGR yang “menimpa” ratusan guru tersebut, sangat jauh dari rekayasa.
Siti menggambarkan alur pembayaran TPG, yakni merupakan dana transfer dari pusat yang turun setiap 3 bulan dikirim langsung ke kas daerah, bukan di dinas. “Di dinas hanya melakukan verifikasi. Hasil verifikasi itu kemudian dimasukkan ke dalam sistem pembayaran. Selanjutnya kas daerah yang melakukan pembayaran non-tunai ke rekening masing-masing penerima,” jelas Siti.
TGR ini muncul, menurut Siti, sangat boleh dipastikan karena berkas atau dokumen kinerja manual dari guru-guru tersebut tidak sinkron dengan yang di-input di aplikasi. “Dan auditor BPK melakukan pemeriksaan sesuai kondisi yang telah di-input dalam aplikasi,” jelasnya.
Siti menyebutkan, terkait TPG itu harus berdasar pada dua regulasi, yakni Permendikbudristek Nomor 45 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pemberian Tunjangan Guru Aparatur Sipil Negara Daerah; dan Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pegawai Sekolah.
Jadi, kata Siti, dua regulasi itulah yang dipakai oleh pihak BPK dalam melakukan pemeriksaan. “Yakni, regulasi guru sebagai pegawai negeri sipil, dan regulasinya sebagai penerima tunjangan,” terang Siti.
Syarat dibayarkannya TPG, lanjut Siti, harus menurut ketentuan dalam dua regulasi atau ketentuan juknis tersebut, yakni yang paling menonjol adalah harus memenuhi beban kerja guru sebesar 37,5 jam per minggu.
Terkait ketentuan 37,5 jam tersebut, menurut Siti, sangat tidak proporsional. Sebab, andai seorang guru dalam seminggu hanya mampu mencapai 36 jam, maka dia tidak menerima TPG. Artinya, 36 jam tersebut dianggap tidak ada.
Siti menduga, kemungkinan banyak guru hanya mengetahui garis-garis besar Permendikbudristek Nomor 45 Tahun 2023, tetapi tidak mendalami Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 yang di dalamnya mengatur tentang pemenuhan beban kerja 37,5 jam tersebut.
Siti menjelaskan, pada Pasal 5 Ayat (2) huruf f dalam Permendikbudristek Nomor 45 Tahun 2023 menyebutkan: “Guru ASN di daerah yang menerima Tunjangan Profesi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: memenuhi beban kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“.
Huruf f tersebut, kata Siti, penjabarannya secara lengkap terdapat dalam Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018. Yakni, harus memenuhi beban kerja sebanyak 37,5 jam.
Siti pun membantah jika pihaknya dituding tidak pernah memberitahu perihal dua regulasi itu kepada para guru, terutama mengenai adanya ketentuan pemenuhan beban kerja 37,5 jam yang diatur dalam Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 tersebut. “Sebab, pada 3 Januari 2020, sudah ada surat edaran dari Kadis yang menjelaskan 37,5 jam,” tutur Siti.
Namun terkait masalah TGR tersebut, Siti mengaku bahwa ketentuan 37,5 jam itu adalah hal yang sangat berat diterapkan sebagai dasar hitungan dalam membayar TPG.
Olehnya itu, ungkap Siti, terkait masalah TGR ini, Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, pekan lalu telah melayangkan surat resmi ke Kemendikbudristek dan ke DPR-RI, sebagai bentuk upaya memperjuangkan agar ke-165 guru tersebut tidak dikenakan TGR.
“Ada dua poin yang dalam surat tersebut sedang Pak Kadis perjuangkan di Kementerian serta di Komisi X dan IV DPR-RI. Yakni pertama, meminta keringanan atau bahkan tidak membebankan TGR kepada 165 guru tersebut. Kedua, memohon pihak Kemendikbudristek agar mengganti Juknis 37,5 jam tersebut,” tandas Siti.
“Sepanjang belum diganti Juknis ini, maka kita akan sangat kesulitan di daerah. Dan kita adalah daerah pertama yang diperiksa untuk beban kerja ini. Minta tolong agar Juknis ini bisa diperbaharui, minimal cara menghitungnya dikonversi antara gaji pokok guru dibagi 22 hari kerja. Kalau rumusnya begini (menghitungnya dikonversi antara gaji pokok guru dibagi 22 hari kerja), maka kami yakin tidak ada lagi yang TGR,” sambung Siti.
Sejauh ini, kata Siti, tidak pernah terjadi masalah TGR di kalangan guru-guru. “Setiap tahun kita diperiksa, tapi khusus untuk judul beban kerja guru itu, baru kali ini. Dan ini adalah masalah TGR pertama, makanya bukan cuma guru-guru yang kaget, kami dan pak Kadis juga sangat kaget. Sebab pemeriksaan tahun-tahun lalu itu secara umum, bukan berdasarkan hitungan pemenuhan beban kerja 37,5 jam tersebut,” pungkas Siti. (dms-dm1)