Oleh: Herman Muhidin*
DM1.CO.ID, OPINI: Terdakwa proyek Gorontalo Outer Ring Road (GORR), AWB, kecewa karena menurutnya ada pemaksaan agar mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan, tetapi pengakuan ini disangkali oleh JPU (DM1, 14 Mei 2021). Pengakuan AWB ini menarik untuk dicermati, sejauh mana kebenaran pengakuan tersebut? apakah betul korupsi mega proyek GORR ini tidak melibatkan orang lain selain dari mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka di Pengadilan Tipikor Gorontalo? Dengan kata lain apakah betul mega proyek GORR ini masuk kategori Autogenic Corruption atau pelakunya hanya seorang diri?
Jika melihat kerugian negara dari mega proyek GORR ini mencapai Rp.43 Miliar dan sumber biaya ganti rugi lahan yang berasal dari APBD Provinsi Gorontalo, sepertinya tak mungkin bisa dilakukan oleh seorang saja, karena dana APBD itu dicairkan dan dibelanjakan dengan melibatkan pejabat secara terstruktur.
Pengakuan AWB di atas, seolah memberi pesan kepada publik bahwa mega proyek GORR itu dilakukan oleh beberapa orang, atau yang diistilahkan sebagai korupsi secara berjamaah. Jika korupsi berjamaah itu betul dilakukan seperti pengakuan AWB, maka pasti ada “imamnya” yang mengomandoi jamaah. Selain itu, ada “muazzinnya” yang memanggil dan mengorganisir waktu yang tepat untuk “memanggil” jamaah, dan ada juga jamaah yang tepat berdiri di belakang imam yang memiliki kapasitas di bawah imam, serta ada jamaah yang setia melaksanakan komando imam.
Di tengah kekecewaan publik terhadap putusan pengadilan tipikor yang hanya menjerat 3 orang, ada secercah harapan dari Kejati Gorontalo yang sedang mengupayakan untuk membuka kembali kasus GORR dengan secara khusus menggali adanya dugaan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) (DM1, 14 Mei 2021). Dengan demikian dugaan korupsi pada mega proyek GORR menjadi dasar yang kuat untuk melanjutkannya pada kasus pencucian uang sebagaimana diatur di dalam UU No. 15 Tahun 2002 dan Perubahannya pada UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Semoga harapan baik ini segera ditindaklanjuti oleh Kejati Gorontalo dengan menetapkan sesegera mungkin tersangka baru, sehingga keadilan itu menjadi nyata dan dirasakan oleh mereka yang lebih dahulu ditetapkan sebagai terdakwa, padahal posisinya hanya melaksanakan perintah pimpinan.
Pada tulisan sebelumnya, penulis mengangkat judul siapa orang lain yang punya peran penting dalam proyek GORR??? Hemat penulis dengan tidak memproses orang lain itu secara hukum, sama saja mempertontonkan ketidak-adilan.
Dengan adanya keinginan kuat Kejati Gorontalo untuk mencari orang lain di luar yang sudah dihukum sebagai tersangka baru dalam kasus pencucian uang, mengindikasikan bahwa orang itu bukan orang biasa. Janji Kejati kali ini untuk membawa ke kasus dugaan pencucian uang, tentu pananganannya membutuhkan komitmen yang kuat, karena akan berdampak terhadap jalannya pemerintahan.
Kejaksaaan dan pengadilan sebagai lembaga penegak hukum, memiliki peran strategis untuk terlaksananya penegakan hukum secara konsisten atau tidak tebang pilih. Di dalam UU No. 31 Tahun 199 jo UU No. 22Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, membagi perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. Yaitu perbuatan yang merugikan negara, suap, gratifikasi, penggelapan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan. Ketujuh perbuatan korupsi tersebut dalam mega proyek GORR, rasanya aromanya sudah ada yang masuk sebagai perbuatan korupsi.
Kasus GORR ini sungguh ironis, karena terjadi justru di saat upaya pemberantasan korupsi yang terus digalakkan di seluruh negeri. Kini bola itu ada pada Kejati, semoga imam dan jamaahnya yang menikmati hasil korupsi mega proyek GORR segera diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya agar masa menunggu siapa orang lain itu segera terungkap.
*(Penulis adalah pemerhati Hukum, Sosial dan Politik)
——
Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.