Mahfud: Jika Ingin Pertahankan Ahok, Jokowi Tanggung Sendiri Akibatnya

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak lagi mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebab, langkah itu melanggar Undang-Undang.

“Menurut Undang-undang (UU. No.23/2014), Pasal 83 ayat 1, jelas seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara. Nggak ada pasal lain yang bisa menafikan itu,” ujar Mahfud MD di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said-Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017).

Dan begini bunyi UU. No. 23 Tahun 2014, Pasal 83, ayat 1 tersebut: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Juga dipertegas dalam ayat 2, bahwa: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.”

Meski begitu, Mahfud mengusulkan, apabila enggan memberhentikan Ahok, maka Jokowi harus mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) terlebih dahulu. Tujuannya agar kebijakannya tidak menabrak UU.

“Kalau memang Ahok ini dipertahankan juga, ya, cabut dulu pasal itu, agar tidak melanggar hukum. Presiden boleh mencabut pasal itu dengan perppu, dengan hak subjektifnya,” saran Mahfud.

Tapi, lanjut Mahfud, jika mengeluarkan Perppu, Jokowi harus berani mempertanggungjawabkan secara politik jika ada anggapan bahwa presiden mengistimewakan Ahok.

“Asal mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan Perppu itu. Itu politik ya, saya memberi jalan yuridisnya. Ada hak subjektif presiden, hak subjektif itu artinya alasan-alasannya ditentukan sendiri. Tapi dipertanggungjawabkan sendiri secara politik pada masa sidang DPR berikutnya,” ujarnya.

Mahfud mengaku merasa perlu menjelaskan sekaligus menyarankan hal itu, sebab sejauh ini sejumlah keanehan sudah muncul terhadap status Ahok sebagai terdakwa.

Salah satunya, Mahfud melihat adanya kesalahan Mendagri Tjahjo Kumolo yang masih ‘ngotot’ ingin mempertahankan jabatan Ahok dengan dalih menunggu tuntutan terlebih dahulu. Padahal, kata Mahfud, dalam Pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 itu, yang dimaksud adalah dakwaan, bukan tuntutan.

Olehnya itu, Mahfud pun menegaskan, bahwa pemberhentian sementara Ahok juga tidak bisa menunggu tuntutan.

“Tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut (pasal) itu. Karena undang-undang jelas menyebutnya bukan tuntutan seperti dikatakan Mendagri. Mendagri katakan menunggu tuntutan, di situ (pasal 83 ayat 1 UU 23 tahun 2014) disebut terdakwa berarti dakwaan,” jelas Mahfud.

(say/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

2,375 views

Next Post

Ekonomi Cuma Tumbuh 5%, Mana Cukup?

Jum Feb 10 , 2017
DM1.CO.ID, JAKARTA: Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari silam mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2016 sebesar 5,02%. Angka ini lebih tinggi ketimbang 2015 yang dikoreksi, yaitu 4,88%. Dibandingkan pertumbuhan negara-negara maju yang tergabung di G-20, kinerja ini jelas lebih tinggi. Maklum, pertumbuhan ekonomi negara maju sudah mentok. Mereka bergerak sangat lambat, rata-rata […]