DM1.CO.ID, GORONTALO: Hembusan angin gunung terasa tak mampu menyumbat pori-pori di jidat, sehingga peluh terus menetes dan menukik ke alis, seolah mengundang debu agar hinggap dan turut menantang hawa panas terik matahari yang menembus hingga ke sela-sela helm.
Ya, siang itu, matahari tegak lurus menancapkan sinarnya di sepanjang jalan di Kelurahan Pohe, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo, hingga memaksa awak Majalah DM 1 A untuk menghentikan laju motor, lalu berteduh di bawah rimbunan pepohonan.
Sampai pada tahun 1980-an, Warga di kelurahan ini jika ingin bepergian, memang lebih memilih lewat laut, karena jalan darat masih sangat sulit ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun empat.
Sekarang, meski sudah beraspal, namun pengendara masih harus berhati-hati karena jalannya berkelok-kelok di bibir gunung yang terbilang terjal. Namun pemandangan di sepanjang pesisir pantai di Kelurahan Pohe ini dan di rentetan kelurahan tetangganya itu nampaknya merupakan surga wisata perairan yang tersembunyi.
Penduduknya juga mayoritas bermata pencaharian “dua musim”. Yakni, sebagai petani kebun dan nelayan konvensional. Artinya, ketika ombak meninggi, maka mereka menggarap kebun. Dan ketika laut tenang, mereka lebih memilih untuk turun menangkap ikan.
Matahari di siang itu betul-betul amat menyengat, sampai-sampai awan pun sepertinya enggan mendekat untuk menghalau. Untunglah, ada seorang warga yang sudi sedikit berbagi untuk menik-mati keteduhan, sekaligus berbincang-bincang dengan awak Majalah DM 1 A.
Rumah panggung yang terletak di lereng gunung dan menghadap langsung ke perairan itu lebih mirip sebuah gubuk, pemiliknya bernama Tuna Mahmud (55). “Kalau tidak biasa dengan panas, pasti tidak tahan di sini, apalagi tinggal di rumah seperti ini,” ujar Tuna tersenyum.
Rumah ini sekitar 80 persen berbahan baku bambu, berukuran 3×2 Meter (tidak ada dapur dan tanpa MCK), beratap rumbia, berlantai bambu belah, serta berdinding pitate (anyaman bambu). Dan di dalam rumah inilah, Tuna hidup bersama istri dan seorang anak perempuannya.
Tuna nampaknya ingin jadi tuan rumah yang berusaha menyenangkan tamunya. Yakni, dengan sejenak, ia mengajak awak DM 1 A untuk membantu mencungkil kelapa muda miliknya yang tumbuh tak jauh dari gubuknya.
“Maaf, hanya ini (kelapa) yang kami bisa suguhkan. Soalnya, di sini sedang mengalami krisis air. Sumur-sumur di sini semuanya kering,” ucap Tuna dengan logat Gorontalo sambil membelah kelapa muda untuk diminum bersama.
Tuna tidak sendiri, dalam bincang-bincang dengan awak DM 1 A, akhir Oktober 2017 lalu, ia ditemani seorang kawannya, Mustapa.
Tuna pun mulai mengungkap seputar “nasibnya”. Bahwa ia kini hanya bisa tawakal dengan kondisi rumahnya ini. “Yang penting saya sudah berupaya sekuat tenaga,” ujar Tuna.
Ternyata, upaya yang dimaksud Tuna adalah sebuah perjalanan yang amat panjang untuk mewujudkan sebuah “Rumah Impiannya”.
Ia bercerita, dari 2001 dirinya telah mengajukan proposal Mahyani (Rumah Layak Huni) ke Pemerintah Provinsi dan Kota Gorontalo. “Pokoknya saya setiap tahun ganti proposal,” ungkap Tuna.
Dan hanya satu jawaban yang kerap ia dapatkan dari pihak pemerintah. Yakni, proposalnya direstui, dan secepatnya segera dibangunkan Mahyani.
“Ada pernah, kira-kira dua tahun lalu saya sempat tunggu, karena amat serius dan sangat meyakinkan. Kata mereka, bahan-bahan sebentar lagi diangkut ke lokasi, tunggu saja di rumah. Saya tunggu-tunggu sampai sore, dan bahkan malam. Tapi tidak datang-datang juga,” cerita Tuna.
Tak disangka, bahan-bahan (material Mahyani) yang sedianya buat “jatah” Tuna tersebut, ternyata “disulap” (dialihkan) menjadi milik orang lain. “Yahh.. Apa boleh buat? Saya kembali bersabar lagi,” ucap Tuna menarik nafas dalam-dalam.
Tahun berikut, Tuna mengaku kembali mengajukan proposal lagi. Proses awal-awalnya sama, selalu diberi janji, tapi kenyataanya itu jadi milik orang lain.
Tuna sangat berharap diberi bantuan mahyani karena pekerjaan sebagai nelayan kecil sangat sulit diandalkan guna memperbaiki sebuah gubuk untuk menjadi rumah layak huni. “Saya cari ikan rata-rata sampai tiga hari di tengah-tengah Teluk Tomini. Kadang cukup, kadang juga kurang. Yah.. biasanya cuma habis diongkos, dan buat makan istri dan anak cukup sehari,” ujar Tuna.
Sebab itu, meski kantor Gubernur dan kantor Dinas PU Provinsi Gorontalo sudah pindah alamat ketika itu, tapi Tuna mengaku tak ingin menyerah. “Proposal-proposal itu saya antar sendiri dengan jalan kaki,” kenang Tuna.
“Sudah lelah kaki ini ke sana-ke mari tapi hasilnya sama, cuma jatuh (dialihkan) ke keluarga pengurus (orang dalam). Meski begitu, saya lagi-lagi coba mengajukan proposal kembali dengan harapan semoga Pemerintah Provinsi dan Kota Gorontalo bisa pula memberikan bantuan Mahyani kepada orang seperti saya,” tutur Tuna.
Tapi kini, Tuna akhirnya mengaku harus menyerah juga. “Saya sudah sangat lelah. Saya ingin ikhlas melepas harapan dan impian saya untuk mendapatkan Mahyani,” ucap Tuna tertunduk sambil tak sadar meneteskan air mata.
Dan seraya menghapus air matanya, Tuna mengaku tidak putus asa. Ia hanya ingin berusaha untuk tidak menjadi beban pemerintah.
Pekerjaannya sebagai nelayan kini harus ia tetap lanjutkan perjuangan untuk tetap bertahan hidup dan menambal kebutuhan ekonomi yang tidak murah.
Parahya, Tuna kini malah sudah 8 bulan tidak mendapat Beras Sejahtera (Rastra). “Biarlah hanya Tuhan yang tahu nasib kami,” pungkas Tuna dengan mata yang masih berkaca-kaca.
(ton-ams/dm1a)