Oleh: Abdul Muis Syam (AMS)
INI bukan “Ngeri-ngeri Sedap” yang pernah dipopulerkan oleh Sutan Bhatoegana semasa hidup. Istilah Ngeri-ngeri Sedap ini umumnya dilontarkan oleh orang-orang Medan secara khas, yang artinya kurang lebih ditujukan kepada situasi ketakutan dan kecemasan tingkat tinggi yang dialami oleh seseorang karena nyaris ketahuan melakukan sesuatu hal yang “negatif”, namun situasi tersebut berhasil ia lewati karena faktor “keberuntungan”.
Misalnya, seorang maling yang masih membawa barang curiannya tiba-tiba bertemu dengan petugas ronda malam. Dalam kondisi seperti itu, tentulah ia amat ketakutan dan pasti diliputi kecemasan yang luar biasa. Namun dalam situasi tersebut, untung saja petugas ronda itu kebetulan kebelet buang air, sehingga si maling pun bisa lolos. Itulah salah satu gambaran dari arti “Ngeri-ngeri Sedap” versi Sutan Bhatoegana.
Lalu bagaimana dengan versi Ahok?
Lain Sutan Bhatoegana, lain pula kiranya versi Ahok yang nampaknya sedikit lebih keren dan lebih modern, yakni “Ngeri-ngeri Sadap”.
Dan “Ngeri-ngeri Sadap” inilah yang dipandang akan membuat Ahok kian terjerohok ke dalam lubang masalah yang makin menganga lebar akibat dari kecerobohannya sendiri.
Dan inilah rentetan kronologis munculnya “Ngeri-ngeri Sadap” itu. Bahwa, saat ini jutaan warga Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh Indonesia tiba-tiba menjadi sangat geram.
Mereka dengan amat tegas tidak terima cecaran yang disertai ancaman dari Ahok beserta para kuasa hukumnya terhadap Rais Aam Pengurus Besar NU (PBNU), yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin ketika menjadi saksi dalam sidang penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu, pada Selasa (31/1/2017)lalu.
Seluruh Warga NU merasa ditampar keras dengan lontaran kalimat yang dinilai sangat arogan dari kubu Ahok. Misalnya, nada ancaman yang menyebut akan mempolisikan Kiai Ma’ruf apabila memberikan keterangan palsu.
Dikabarkan ada sekitar tujuh jam pria yang telah berusia 74 tahun itu dicecar dalam persidangan. Dan meski hanya memenuhi undangan selaku saksi ahli, nyatanya Kiai Ma’ruf seolah-olah didudukkan sebagai terdakwa dalam persidangan itu akibat cecaran dari kubu Ahok tersebut.
”Ahok bersama tim kuasa hukumnya memelintir situasi dan seolah-olah menempatkan Kiai Ma’ruf sebagai terdakwa. Kata-kata Ahok itu melukai hati warga Nahdliyin,” ujar Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, sekaligus mengaku mengecam keras arogansi Ahok beserta tim kuasa hukumnya.
Sesungguhnya pada situasi seperti itu, bukan hanya Warga NU yang murka, tetapi seluruh umat Muslim di tanah air bisa dipastikan juga ikut merasa ditampar. Sebab Ma’ruf Alim adalah salah seorang ulama dan kiai panutan yang diyakini sebagai “pewaris” ajaran Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam.
Olehnya itu, Yaqut Cholil Qoumas selaku Ketua Umum GP Ansor melempar peringatan kepada pendukung terdakwa Ahok untuk segera menghentikan upaya-upaya yang menyudutkan para ulama seperti Kiai Ma’ruf Amin. “Karena hal itu akan semakin memperuncing suasana dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal,” tegas Yaqut Cholil.
Saat disodori foto pernyataan minta maaf Ahok, Yaqut menuturkan kalau GP Ansor tunduk pada Kyai Ma’ruf. Bila Kyai Ma’ruf memaafkan, tentu mereka juga akan mengikuti. ”Tapi soal sikap, tergantung pada Ahok. Itu permintaan maaf di mulut atau memang keluar dari hati?” tambah dia.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI sekaligus Khatib Syuriah PBNU, Asrorun Niam Sholeh, sempat menceritakan situasi paruh kedua sidang ke-8 Ahok, Selasa (31/1) lalu itu, sudah sangat tidak kondusif. Sebab, pihak Ahok mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak mengarah kepada substansi. “Pertanyaannya sangat politis,” ungkap Asrorun.
Misalnya, pihak Ahok dalam sidang kedelapan tersebut seolah-olah berada dalam situasi persidangan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusional, yakni dengan sengaja memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada persoalan politik, padahal yang ditanyai (kiai Ma’ruf) itu adalah seorang saksi tentang kasus dugaan penistaan agama.
Dan inilah pernyataan keberatan Ahok yang dinilai sangat arogan dan congkak dengan menyudutkan, dan bahkan menghakimi saksi ahli (seolah-olah Kiai Ma’ruf adalah sebagai terdakwa).
“Saya juga keberatan tapi itu hak saudara saksi, setelah dibuktikan akhirnya meralat tanggal 7 Oktober ketemu pasangan calon nomor 1. Jelas-jelas untuk menutupi riwayat hidup pernah jadi Wantimpres Pak SBY. Dan tanggal 6 pukul 10.16, disampaikan pengacara saya, ada bukti telepon untuk minta pertemukan,” ujar Ahok dalam persidangan tersebut.
“Artinya saudara saksi tidak pantas menjadi saksi karena tidak obyektif lagi. Ini sudah mengarah mendukung pasangan calon omor 1. Ini jelas 7 Oktober. Saudara saksi saya terima kasih ngotot depan hakim saudara saksi tidak berbohong tapi meralat ini. Banyak pernyataan tidak berbohong, kami akan proses secara hukum saudara saksi, untuk bisa membuktikan bahwa kami punya data yang sangat lengkap,” lontar Ahok.
Dan pernyataan tersebut dikuatkan dengan adanya ungkapan anggota tim kuasa hukum Ahok, Humphrey R. Djemat yang mengatakan, pihaknya memiliki bukti pernah ada percakapan antara Ma’ruf dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada 6 Oktober 2016 pukul 10.16 WIB. Percakapan tersebut, kata Humphrey, berkaitan dukungan terhadap Agus Harimurti Yudhoyono dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada DKI) 2017.
Selain dinilai telah menampar Warga NU dan umat Muslim, ungkapan-ungkapan dari pihak Ahok itu juga dipandang menampar kewibawaan hukum. Sebab, ini sekaligus menjadi sebuah keheranan yang luar biasa.
Bagaimana mungkin seorang terdakwa bisa melakukan menyadapan (atau mendapat) data selengkap itu? Bukankah data-data dari hasil penyadapan hanya bisa diungkapkan di persidangan oleh pihak-pihak khusus dan tertentu yang memiliki kewenangan hukum saja? Dan sungguh jika penyadapan ini benar, maka Ahok akan semakin terjerohok di lingkaran “Ngeri-ngeri Sadap”, dan ini membuatnya sangat sulit untuk lolos seperti istilah “Ngeri-ngeri Sedap” versi Sutan Bhatoegana itu.
Dan tentang hal tersebut, Ketua MK periode 2008-2013 Mahfud MD menuturkan, bahwa dalam sidang Ahok ke-8 itu telah terjadi dan memunculkan dua masalah. Artinya, belum selesai masalah yang sedang melilitnya, Ahok kembali membuat dua lubang masalah yang baru.
Pertama, menurut Mahfud MD, adalah masalah penghardikan serta fitnah kepada Kiai Ma’ruf secara langsung di dalam persidangan.
Yang kedua, adalah dalam persidangan itu terindikasi kuat kubu Ahok memiliki rekaman hasil penyadapan percakapan antara Kiai Ma’ruf dengan SBY. “(Itu) Jelas sekali dan diucapkan berkali-kali dalam persidangan,” kata Mahfud. Di antara indikasi yang sangat kentara, menurut Mahfud, adalah pihak Ahok menyampaikan detail waktu percakapan yakni 10.51 WIB dan 10.16 WIB.
Dikatakannya, penyadapan masuk kategori bukan delik pengaduan, sehingga polisi bisa langsung mengusutnya. Polisi dapat melakukan pemeriksaan dan menanyakan langsung ke Ahok dan jajaran penasehat hukumnya, soal bukti penyadapan itu. Terkait ancaman hukumannya, merujuk UU ITE lama kurungannya 10 tahun. Sedangkan merujuk UU Telekomunikasi, ancaman pidananya 15 tahun penjara.
Andaikan memang betul ada percakapan antara Kiai Ma’ruf dengan SBY, menurut Mahfud itu bukan pidana apalagi sebuah kejahatan. Lagian isinya hanya mengenai kunjungan ke PBNU.
Bahkan andaikan saja juga memang benar ada percakapan soal permintaan fatwa mengenai Ahok kepada MUI, menurut Mahfud, itu juga bukan pidana. “Itu politik. Silakan dibuat opini publik saat kampanye,” jelasnya.
Sementara itu, seperti dirili oleh Indopos, anggota Komisi I DPR, Jazuli Juwaini mengatakan, Ahok harus membuktikan tuduhan rekaman itu. “Jangan jadi fitnah. Tunjukkan saja,” kata Jazuli.
Dan jika sudah menunjukkan adanya penyadapan itu, kata Jazuli, baru kemudian publik bisa mempertanyakan, untuk apa sadapan itu dilakukan.
Karena menurut Jazuli, tidak sepantasnya seseorang melakukan penyadapan (apalagi seorang yang berstatus terdakwa). “Justru yang dikejar atas dasar apa Ahok mengatakan punya data (rekaman) itu? Sebagai apa pula dia (Ahok) menyimpan data itu? Dan punya wewenangan apa dia (Ahok) mendapat data itu?” cetusnya.
Saat ditanya tentang apakah perlu meminta keterangan dari BIN? Jazuli yang juga selaku Ketua Fraksi PKS di DPR ini menjawab, “Ngapain nanya ke BIN? Suruh si Ahok-nya dulu jelasin, darimana itu data didapatkan!?”
Pernyataan senada juga dilontar oleh anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf. Ia menyatakan, klaim Ahok memiliki bukti data (sadapan) telepon Ketua MUI Kiai Ma’ruf ddengan mantan Presiden SBY itu adalah persoalan serius dan untuk itu harus didalami secara serius pula.
Saat ditanya wartawan, apakah ada keterlibatan dari BIN yang saat ini dipimpin oleh Jenderal (Pol) Budi Gunawan? Nurhayati menyatakan, “Ini (masalah) yang akan kita panggil BIN. Kita tanyakan, dari mana Ahok dapat rekaman?”
“Ahok merasa sakti sehingga dia mengumbar hawa nafsunya dan semua dilawan, dilecehkan tim penasihat hukumnya. (Ahok) Harus bisa membedakan meskipun di pengadilan masih bisa berlaku sopan,” pungkasnya.
Irmanputra Sidin selaku ahli Hukum Tata Negara juga angkat suara. Ia menjelaskan, penyadapan tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Bahkan lembaga negara pun tidak boleh melakukan penyadapan jika tidak diberikan otoritas oleh UU ITE. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Bahkan, menurut Irman, dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang- wenang.
“Jikalau ada penyadapan diluar kerangka di atas maka hak tersebut adalah kejahatan terhadap konstitusi dan hak asasi manusia dan tentunya hasil penyadapannya tidak memiliki basis legalitas dan konstitusional,” jelasnya.
Mengenai penyadapan yang dilakukan secara ilegal maupun berupa data penyadapan yang berada di tangan pihak yang tidak diberi kewenang an oleh negara melalui undang-undang, juga dibenarkan oleh Mahfud MD, adalah termasuk sebuah kejahatan besar.
“Ini (penyadapan) adalah kejahatan yang sangat besar, dan jelas. Dia mengancam (Kiai Ma’ruf) kok, namun dia (pihak Ahok) ngeles tadi saat konferensi pers,” kata Mahfud MD ketika menjadi narasumber dalam acara Berita Hari Ini di TVOne, Rabu (1/2/2017).
Mahfud menegaskan, selama ini dirinya telah berusaha objektif dalam menilai kasus yang menjerat Ahok. Hal ini terlihat ketika Safii Maarif dikecam karena membela Ahok, Mahfud mendukung Safii. Begitu juga ketika dikatakan Fatwa MUI bukan hukum positif, Mahfud juga membenarkannya. “Tapi ini Ahok dan pengacaranya menista pimpinan saya,” tegas Mahfud.
Mahfud kembali mengatakan, tidak ada yang salah jika pun SBY menelepon karena akan ada yang ke PBNU. Hal itu, kata dia, biasa dilakukan jika akan berkunjung ke sebuah lembaga. “Lalu, apa salahnya orang menerima telepon itu? Lah, Ahok juga kalau datang gak telepon dulu apa?” ujar Mahfud kecewa.
Dan Mahfud mengaku tetap akan mengikuti PBNU yang apabila menerima permintaan maaf dari pihak Ahok. Namun, menurut Mahfud, permintaan maaf itu bukan berarti kasus penyadapan itu tidak ditindaklanjuti (atau dianggap selesai).
“Mari kita maafkan terkait penghardikan pada Kiai Ma’ruf Amin, tapi hukum tetap harus ditegakkan. Karena kalau hukum tidak ditegakan, hancur negara ini,” tegas Mahfud.
Dan jika ditengok kembali ke belakang, Ahok nampaknya bisa mengalami kekacauan hingga jadi sedahsyat ini adalah boleh dikata diawali dengan perseteruannya dengan Rizal Ramli seputar Reklamasi Pulau G.
Rizal Ramli yang ketika itu sangat jelas-jelas berani mempertaruhkan jabatannya demi membela wong cilik, tak disangka benar-benar harus terhempas dari posisinya selaku Menko Kemaritiman lantaran melawan “kesaktian” Ahok yang di kala itu sangat cenderung membela “wong gede”.
Dan sejak itu, atau pasca perseteruan tersebut yang ditandai dengan dicopotnya Rizal Ramli, arogansi Ahok pun makin menjadi-jadi, seolah-olah ia ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa siapa yang berani menghalanginya akan bernasib seperti Rizal Ramli.
Tapi sepertinya, fakta berkata lain. Pencopotan Rizal Ramli di saat itu justru lebih boleh dikata adalah merupakan tanda awal kekacauan dan kejatuhan Ahok dari atas puncak, bagai bola salju yang menggelinding jatuh ke bawah, yang makin hari kian membesar hingga benar-benar amat kacau dan sungguh sangat mengerikan seperti saat ini: “Ngeri-ngeri Sadap” (Makin ngeri karena soal Penyadapan)
Meski sedikit mirip dengan “Ngeri-ngeri” versi Sutan Bhatoegana, tetapi “definisi” versi Ahok tak ada penggambaran adanya “petugas ronda yang kebetulan kebelet buang air”, sehingga situasi Ahok sangat tidak memungkinkan untuk mencapai kata “sedap”, alias sangat sulit untuk lolos. Apalagi kini Partai Demokrat bertekad melaporkan Ahok bersarta tim kuasa hukumnya karena menyeret-nyeret nama SBY yang bukan merupakan pihak terkait sama sekali dalam kasus penistaan agama tersebut.
Sehingganya, Ahok saat ini akan semakin dililit masalah dari segala penjuru mata angin. Orang Manado dan Gorontalo bilang: “Rasa kalau Sadap!?”