Kasus Terdakwa Ahok Terus Didesak, Bukti Bukan Karena Politik Tapi Murni Penistaan Agama

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Pasangan Anies-Sandi telah menang dalam Pilkada DKI. Dan jika kasus terdakwa Ahok adalah soal politik yang bermaksud memenangkan pasangan Anies-Sandi sebagaimana yang dituding oleh kubu Ahok selama proses Pilkada, maka tuntutan bebas sekalipun dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap diri Ahok tentu tak perlu lagi dipermasalahkan.

Tapi kenyataannya, sampai hari ini justru kasus tersebut terus didesak. Terlebih JPU melalui Jaksa Agung M.Prasetyo menyampaikan bahwa Ahok tidak terbukti menista agama sehingga hanya dikenai pasal 156, membuat Umat Islam pun makin protes.
Jaksa menilai ucapan Ahok di kepulauan Seribu itu hanya ditujukan kepada subjek perorang atau para elite politik dalam kontestasi pilkada. “Bukan pada agama,” ujar jaksa.

Namun, kalangan Umat Islam menilai bahwa wajah hukum saat ini sungguh tak punya wibawa lagi karena negara sangat nampak memperlakukan Ahok secara istimewa di hadapan hukum. Sehingga dapat mencederai hati rakyat dari rasa keadilan.

Rakyat dari berbagai kalangan merasakan hal tersebut, karena dalam perjalanan kasus Ahok ini dinilai banyak memperlihatkan keanehan. Salah satunya keanehan tersebut adalah, bahwa sepanjang sejarah kasus dugaan penistaan agama seluruh pelakunya dipenjara, dan hanya Ahok yang tidak dipenjara.

Menurut Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, dalam kasus ini, seharusnya hukum ditegakkan dengan ketentuan equality before the law atau siapa pun memiliki kesamaan di depan hukum.

“Tetapi, saya melihat perlakuan terhadap terdakwa Ahok ini dari awal memang sudah ada ketidak-samaan. Ada potensi diskriminasi (terhadap masyarakat),” ungkap Suparji, Ahad (23/4/2017), dilansir Okezone.

Bagi Suparji, ada banyak keanehan yang dapat dirasa sebagai ketidak-adilan dalam proses kasus Ahok tersebut.

Keanehan atau ketidak-adilan yang pertama, jelas Suparji, adalah masyarakat melaporkan Ahok dengan Pasal Penodaan Agama yang diatur dalam Pasal 156a KUHP. Ketika diproses secara hukum di kepolisian, Ahok lantas tidak ditahan di mana tersangka penodaan agama lainnya selalu ditahan.

“Pasal 156a itu, sudah layak untuk ditahan, tapi ternyata tidak ditahan,” tutur Suparji.
Kedua, lanjut dia, ketika perkara itu dilimpahkan dari kepolisian ke kejaksaan, sudah terlihat kejanggalan. Kejaksaan tidak melakukan proses pendalaman dan perkara langsung dilimpahkan ke pengadilan dengan tempo waktu yang sangat singkat.

“Itu menunjukkan ketidak-adanya kesungguhan dalam proses pendalaman perkara itu,” ujarnya.
Ketiga, menurut Suparji, dakwaan disusun JPU sangat sederhana, yakni hanya tujuh lembar.

Padahal kasus ini memiliki implikasi yang sangat luas secara politik, ekonomi, dan hukum. “Sangat disayangkan, jaksa hanya membuat dakwaan hanya tujuh lembar,” katanya.

Keempat, dakwaan yang disusun jaksa adalah dakwaan alternatif yakni Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan Pasal 156 KUHP tentang Penistaan Terhadap Golongan dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara.

“Itu kemudian memberikan ruang untuk bermain pada suatu kemungkinan dikenakan (hukuman) yang sangat minimal,” ucapnya.

Kelima, ungkap Suparji, jaksa dalam proses menghadirkan saksi-saksi terlihat tidak membela saksi-saksi yang dihadirkan. Padahal mereka dihadirkan untuk kepentingan JPU. “Seperti Ma’ruf Amin (Ketua MUI), lalu, bagaimana ahli dari jaksa itu diserang oleh pengacara dan kemudian berjam-jam itu tidak ada pembelaan?” katanya.

Keenam, jaksa pun mengikuti tindakan kepolisian dengan tidak menahan terdakwa, padahal sudah memenuhi syarat untuk ditahan.

Selanjutnya, Ahok yang sempat menjabat kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta pasca-mengikuti kampanye putaran pertama tak kunjung diberhentikan sementara dari jabatannya. Padahal, itu sudah sangat memenuhi syarat yang diatur oleh Undang-Undang Pemerintah Daerah Pasal 83.

“Titik puncaknya, tuntutan yang hanya satu tahun penjara atau pidana percobaan dua tahun itu, artinya selama dua tahun itu selama yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tindak pidana penjara satu tahun itu tidak perlu dilakukan. Dengan demikian, sama saja yang bersangkutan tidak dihukum (alias bebas),” tukasnya.

Dan keanehan-keanehan, rasa keadilan, serta perlakuan istimewa inilah yang hingga kini didesak dan diprotes oleh kalangan umat Islam, dan sama sekali bukan karena soal politik.

Dikuatirkan, bila kasus Ahok yang telah banyak membuang energi bangsa itu tidak diberlakukan secara adil seperti para pelaku sebelumnya, maka diyakini kelak akan ada Ahok-Ahok lain yang bisa seenaknya menistakan agama, yang justru merusak kebhinnekaan di negeri ini.

(ams/DM1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

2,311 views

Next Post

Marten Taha Tutup Ajang Walikota Cup 1

Rab Apr 26 , 2017
Wartawan: Alfisahri Pakaya Editor: AMS DM1.CO.ID, GORONTALO: Walikota Gorontalo, Marten Taha, penutup Walikota Cup 1 yang digelar di Kelurahan Heledulaa Utara, Kota Gorontalo, pada Sabtu (22/4/2017).