DM1.CO.ID, JAKARTA: WAKTU baru kembali dari belajar ilmu hukum di Belanda Ali Sastroamidjojo berguru politik pada Ki Hadjar Dewantara.
Di rumah tokoh utama pendidikan nasional itu saban bulan pada malam Rabu Wage, yaitu hari lahir Diponegoro dan hari jadi Taman Siswa, selalu digelar silaturrahmi para tokoh politik, sosial, dan kebudayaan.
Esensi obrolannya mencari solusi untuk menyelamatkan negeri dari berbagai persoalan yang menyengsarakan rakyat dengan merintis jalan kemerdekaan.
Di dalam pertemuan-pertemuan itu hadir Dr Radjiman Wedyodiningrat, Mr Soepomo, Dr Sukiman Wirdjosandjojo, Mr Singgih, dan tokoh penting lainnya. Mereka adalah para tokoh berbeda aliran pemikiran dan haluan politik. Namun demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan mereka mengedepankan decency, etika, dan fatsun dengan memelihara silaturrahmi.
Mr Mohamad Roem suatu saat pernah berkata, elit Angkatan ’28 dan Angkatan ‘45 umumnya menjaga decency (kesopanan). Kewibawaan mereka berakar dari perjuangan kemerdekaan. Dengan modal ini mereka mendapatkan kepercayaan rakyat.
Mereka mengalami zaman yang penuh gejolak perlawanan terhadap kolonialisme, perang dunia, revolusi, dan perang saudara. Kematangan politik mereka datang dari persoalan-persoalan nasional dan internasional, aliran, dan isme-isme, atau persoalan daerah.
Waktu Soeharto jatuh dari kekuasaan Bang Ali mengunjunginya setiapkali lebaran. Menurut cerita, sering Bang Ali berjalan kaki dari rumahnya di Jalan Borobudur, Menteng, ke Jalan Cendana, untuk bersilaturrahim dengan koleganya sesama Angkatan ‘45 itu.
Sukarno dikenakan tahanan rumah sehingga Hatta tidak dapat menjenguk. Ketika dalam perawatan di rumah sakit Hatta datang membesuk.
Sukarno menyambutnya dengan berbaring lemah dan menyapanya dalam bahasa Belanda:
‘’Hoe at het met jou ? (bagaimana keadaanmu?…).
Bung Hatta tak dapat menahan tangis. Airmatanya tumpah. Dwitunggal proklamator kemerdekaan itu tak dapat berkata-kata menahan haru.
Buya Hamka beberapa kali dipenjarakan oleh Sukarno. Ketika Putra Sang Fajar itu mangkat, sang ajudan menyampaikan pesan terakhir Sukarno yaitu minta kesediaan Buya Hamka untuk menshalatkan. Ulama terkemuka itu ikhlas. Baginya amal dan jasa Sukarno bagi bangsa dan negara adalah lebih besar daripada kesalahannya.
Itulah sekelumit kisah tradisi politik para elit bangsa di masa lalu, yang sekarang kian pudar semangatnya. Hingga ternyata keteladanan itu diresapi oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang meneruskannya dengan menjaga silaturrahmi kepada para tokoh.
Rangkaian silaturrahim yang dilakukan oleh Dr Rizal Ramli kepada sejumlah tokoh belakangan ini harus dibaca dalam konteks keteladanan seperti itu. Rizal Ramli antara lain bersilaturrahmi dengan Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kolega lama.
Rizal datang tidak dengan pikiran hampa dan tidak tanpa solusi terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Ia dikenal merupakan problem solver dan tipe tokoh operational leadership baik saat di dalam kekuasaan maupun di luar kekuasaan.
Waktu membesuk SBY di RSPAD dua sahabat lama yang pernah sama-sama jadi Menko di era pemerintahan Gus Dur itu mengungkap keprihatinan yang sama terhadap berbagai kemelut yang sedang melanda negeri saat ini.
SBY yang sedang berbaring sakit bahkan sempat minta Rizal menjelaskan kondisi mutakhir perekonomian nasional, yang intinya sedang dalam kondisi setengah lampu merah dan semakin memprihatinkan. Sehingga dibutuhkan penyelamatan demi untuk kepentingan rakyat.
Rizal Ramli dan SBY sesungguhnya merupakan teman seiring, antara lain bersama mendiang Nurcholish Madjid dan Letjen Agus Wirahadikusuma pernah menjadi peletak dasar reformasi ABRI (TNI).
Banyak kisah kenegaraan dan kisah persahabatan yang monumental yang dilalui Rizal Ramli bersama dengan SBY, yang rasanya akan terlalu panjang apabila dituturkan di dalam tulisan ini. Boleh dibilang keduanya juga merupakan kesayangan Gus Dur saat cucu pendiri NU KH Hasyim Asyhari itu menjadi Presiden RI.
Adapun Prabowo Subianto dan Rizal Ramli adalah dua sahabat yang saling menghormati. Mungkin pula suatu kebetulan ayah Prabowo, Sumitro Djodjohadikusumo juga seorang ekonom terpandang.
Sewaktu muda Sumitro Djodjohadikusumo merupakan tokoh pergerakan di Perhimpunan Indonesia, demikian pula halnya dengan Rizal Ramli, yang merupakan orang pergerakan saat jadi mahasiswa di ITB hingga menjadi seorang ekonomi pro kerakyatan yang dikenal kritis dan sangat anti perekonomian neoliberal yang menghamba kepada kepentingan asing dan aseng yang dalam hari-hari belakangan ini imbas buruknya kian sangat dirasakan oleh rakyat. *