DM1.CO.ID, JAKARTA: Meski debat Capres putaran kedua Pilpres 2019, Ahad malam (17/2/2019), di Ballroom Hotel The Sultan, Jakarta, baru saja usai. Namun tidak sedikit pengamat maupun warganet menilai, bahwa Capres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi), dalam debat tersebut melontarkan sejumlah kebohongan.
Kebohongan yang dikemukakan Jokowi tersebut di antaranya adalah ketika menanggapi pernyataan Prabowo soal ganti-rugi. “Tidak bisa serta-merta mereka dirampas tanahnya tanpa ada penyaluran pengalihan kehidupan mereka,” kata Prabowo.
Jokowi seolah dengan sigap menyambut pernyataan Prabowo tersebut. “Dalam empat setengah tahun ini hampir tidak ada terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur, karena apa? Tidak ada ganti rugi, yang ada ganti-untung,” ujar Jokowi, yang disambut aplaus para pendukungnya.
Mendengar tanggapan Jokowi tersebut, seorang warganet @RajaPurwa lalu menulis tweet: “Jaeeeeeeeee.. Ini Apa Namanya??? Tidak ada konflik pd pembebasan lahan?!?!? Petani Kulon Progo pasti akan bilang “BOHONG!!!”. Ngibulnya Awet”.
Tweet @RajaPurwa itu bahkan disertai sebuah video berita sebagai bukti visual, bahwa memang telah terjadi aksi penolakan pembangunan Bandara Kulon Progo dari para warga dan petani setempat.
Aksi penolakan tersebut berlanjut dengan gerakan demo yang mengusung tuntutan: “Menggugat pembangunan rezim Jokowi-Jk dan menolak penggusuran/perampasan tanah di Kulonprogo”, pada Selasa (16/2/2018).
Selain itu, Warga Desa Putren, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, pada September 2017, juga melakukan aksi demo.
Dalam orasinya, Warga Desa Putren yang memiliki 54 bidang lahan itu memprotes dan menolak nilai ganti rugi yang diberikan oleh tim panitia pengadaan tanah (P2T) tol atau tim appraisal, sangat rendah, yakni Rp.177.000 hingga Rp.404.000.
Nilai tersebut dinilai warga sangat tidak pantas. Karena di wilayah itu rata-rata harga tanah per-meter mencapai Rp.600.000. (Video beritanya dapat dilihat di sini).
Tirto.id (@TirtoID) bahkan memunculkan data konkrit terkait konflik pembebasan lahan atau agraria akibat proyek infrastruktur, yang mencapai ratusan konflik (Sumber Konsorsium Pembaruan Agraria). Yakni, pada 2014 terjadi 215 konflik; 2016 terdapat 450 konflik; 2017 sebanyak 659 konflik; dan 2018 terjadi 410 konflik.
Kebohongan lain yang dikemukakan Jokowi dalam debat Capres ke-2, menurut sejumlah pengamat dan warganet, adalah soal kelapa sawit.
“Supaya masyarakat tahu, bahwa sekarang produksi sawit Indonesia itu sudah 46 juta ton per-tahun, dan melibatkan petani kurang lebih 16 juta petani,” ujar Jokowi.
Warganet kemudian memunculkan data riil yang disebar oleh KompasTV dan tirtoID pada tweetnya dalam bentuk infografis sumber BPS dan Direktorat Jenderal Perkebunan.
Yakni produksi kelapa sawit pada 2015 sebanyak 26.542.224 Ton; pada 2016 sebanyak 31.487.986 Ton; dan pada 2017 terdapat 34.468.293 Ton.
Sementara jumlah petani yang terlibat dalam produksi kelapa sawit tersebut pada 2015 adalah sebanyak 3,36 Juta orang; 2016 sebanyak 3,63 Juta orang; dan pada 2017 berjumlah 3,78 Juta orang.
Lalu data darimana Jokowi yang menyebutkan produksi Kelapa Sawit mencapai 46 Juta Ton dengan melibatkan 16 Juta petani?
Kebohongan berikutnya yang dilontarkan Jokowi di depan publik saat debat Capres ke-2, menurut pengamat dan warganet adalah mengenai kebakaran hutan dan lahan gambut.
“Kenapa dalam tiga tahun ini kita bisa mengatasi kebakaran hutan, kebakaran lahan gambut? Salah satunya adalah penegakan hukum yang tegas terhadap siapapun. Sudah ada 11 perusahaan yang diberikan sanksi denda sebesar Rp.18,3 Triliun. Kenapa sekarang ini semua takut urusan dengan yang namanya kebakaran hutan, illegal logging. Karena kita tegas, penegakan hukum kita tegas terhadap pelanggar-pelanggar perusak lingkungan,” ujar Jokowi dalam debat Capres kedua tersebut.
Mendengar pengakuan Jokowi yang seolah mengatakan selama 3 tahun tidak lagi terjadi kebakaran hutan, para warganet pun memunculkan data yang disebar oleh TirtoID sumber dari Kementerian Lingkungan Hidup. Dan datanya dapat dilihat melalui infografis di bawah ini:
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan luas kebakaran hutan dan lahan mencapai 4.666,39 Ha pada 2018 dari seluruh provinsi Indonesia.
Berdasarkan laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), pada 2018 terdapat 3.427 titik api yang berasal dari lahan gambut. Sementara itu, secara keseluruhan total titik api berjumlah 8.617 pada tahun yang sama.
Sementara soal 11 perusahaan yang diberikan sanksi denda sebesar Rp.18,3 Triliun, diungkap dari data yang disebar oleh greenpeace, sumber kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ternyata denda tersebut belum sepeser pun yang diterima oleh negara. (Datanya bisa dilihat melalui infografis di bawah ini):
Bahkan, pada Agustus 2018, Jokowi pernah divonis melakukan perbuatan melawan hukum pada kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Vonis itu diketok oleh Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya.
Menurut para penggugat, Jokowi selaku penanggung jawab telah gagal memberikan kepastian hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat kepada seluruh rakyat Kalimantan Tengah.
Lontaran Jokowi yang juga dinilai bohong oleh pengamat dan warganet, adalah mengenai impor jagung.
“Di tahun 2014 kita mengimpor jagung itu 3,5 Juta Ton. 2018 kemarin, perlu saya sampaikan, kita hanya mengimpor (jagung) 180 Ribu Ton. Artinya petani kita, petani jagung kita telah memproduksi 3,3 Juta Ton. Sehingga impor itu menjadi sekarang ini dapat dikatakan sangat jauh berkurang,” tutur Jokowi.
Pernyataan Jokowi tersebut ternyata tidak sesuai data. Sebab, data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan impor jagung sepanjang tahun 2018 mencapai 737,22 Ribu Ton, dengan nilai US$ 150,54 juta.
Masih dari data BPS, pada 2014 Indonesia mengimpor 3,25 Juta Ton jagung.
Pada tahun 2018, terutama dari Januari hingga September, impor jagung sebesar 481.471 Ton, atau naik jika dibandingkan posisi yang sama pada tahun sebelumnya (2017), yang sebesar 360.355 Ton. Angka tersebut berlainan dengan data dari Kementerian Pertanian.
Iqbal Damanik, peneliti AURIGA, memaparkan data dari Kementerian Pertanian pada 2018 yang menyebutkan, produksi jagung sebanyak 25,9 Juta Ton sedangkan konsumsi sebanyak 26,1 Juta Ton, sehingga diperlukan impor sebesar 878 Ribu Ton. Impor tersebut turun dari 3,4 Juta Ton pada 2014.
Impor jagung, lanjut Iqbal, sebesar 3,34 Juta Ton (2014); lalu 3,47 Juta Ton (2015); 1,31 Juta Ton (2016); 709 Ribu Ton (2017); dan 878 Ribu Ton (2018).
“Yaah…boong lagi deh, punten pak, kpn sih bpk berhenti boongin rakyat?” komentar @NawirTola dalam twitter.
“Maklum aja om, paket ngibulnya unlimited,” tweet komentar @DhikkiE.
Wartawati/Editor: Dewi Mutiara DM1.CO.ID, KABUPATEN GORONTALO: Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Gorontalo, Jayusdi Rivai akan melakukan kunjungan ke Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri). Hal itu disampaikan Jayusdi kepada wartawan saat ditemui di Kantor DPRD Kabupaten Gorontalo, Senin (18/2/2019). Jayusdi mengatakan, kunjungannya tersebut untuk melakukan konsultasi dan verifikasi terhadap permohonan kerjasama […]