DM1.CO.ID, JAKARTA: Seorang netizen di media sosial menerjemahkan akronim BTP yang selama ini dikenal sebagai Basuki Tjahaja Purnama menjadi Busuk, Tipu-tipu, Penindas (BTP). Berikut ini adalah pemaknaan BTP yang disadur dari medium.com:
Mereka yang selama ini berpikir bahwa Basuki Tjahaya Purnama (BTP) atau Ahok berkarakter Bersih, Transparan, dan Profesional (BTP) telah tersesat dari kenyataan yang ada. Karena sejatinya karakter Ahok adalah Busuk, Tipu-Tipu, dan Penindas (BTP). Bukan kata kosong, berikut ini adalah paparannya.
Busuk
Ahok secara sistematis dan terstruktur menggunakan politik SARA dengan tujuan untuk memenangkan dirinya dalam kontestasi Pilkada sejak bertahun lalu. Taktik “korban al-Maidah” telah dimainkan Ahok di berbagai kontestasi politik yang diikutinya (Pilkada Bangka Belitung) hingga akhirnya menuai kesuksesan di putaran pertama Pilkada DKI 2017. Harapan dari taktik ini adalah menarik simpati suara umat Muslim DKI yang sekuler dan mensolidkan suara umat non-Muslim DKI, akhirnya berhasil di DKI Jakarta yang memang plural masyarakatnya.
Buktinya, LSI versi Denny JA beberapa hari lalu merilis hasil surveinya dari putaran pertama Pilkada DKI yang menyebutkan, bahwa Ahok berhasil mendapatkan 40-an % suara pemilih Muslim DKI dan 90-an% pemilih non-Muslim DKI.
Dengan keluarnya lagi video lanjutan, setelah video pidato Kepulauan Seribu, tentang Ahok yang bercanda tentang “wifi al-Maidah dengan password kafir” saat rapat di Balaikota dapat dipastikan Ahok kembali meluncurkan taktik yang sama untuk coba memenangkan putaran kedua Pilkada DKI.
Meskipun label sebagai terdakwa penista agama adalah resiko yang memang harus ditanggungnya, karena besarnya tekanan massa Muslim dari daerah-daerah luar Jakarta pada penegak hukum memang di luar kendalinya.
Kebusukan lain Ahok adalah secara vulgar menjadi kaki tangan para taipan etnis Tionghoa untuk melestarikan oligarki di Indonesia. Agar menjadi lebih intim lagi dengan mereka, Ahok lebih memilih tinggal bertetangga dengan para taipan dan direksinya di perumahan elit Pantai Mutiara daripada menempati rumah dinas Gubernur DKI di Taman Untung Suropati.
Saat disebut oleh media sebagai “Gubernur (Agung) Podomoro” saat membela kelangsungan Reklamasi Pulau G yang bermasalah, Ahok juga tidak keberatan. Ahok sendiri pernah berucap, bila dirinya gagal menjadi Gubernur DKI Jakarta sudah ada taipan yang bersedia menampungnya dengan gaji Rp.250 Juta perbulan.
Yang paling kontroversial, tanpa malu Ahok pernah berucap di pengadilan tentang Suap Raperda Reklamasi, bahwa “tanpa pengembang, Jokowi tak akan jadi Presiden seperti sekarang”. Presiden Jokowi tidak pernah membantah ucapan Ahok ini, bahkan masih terus berusaha melindungi dan mengayomi Ahok hingga sekarang. Wajar bila publik akhirnya berkesimpulan, bahwa memang benar Ahok adalah orang yang bertugas sebagai “kasir” Jokowi menampung dana dari para taipan pengembang saat Pilres 2014.
Tipu-Tipu
Dalam kasus e-KTP yang menghebohkan politik nasional saat ini memang sempat disebut oleh salah satu jaksa KPK, bahwa “sepengetahuannya” nama Ahok tidak ada dalam dakwaan. Namun bukan berarti Ahok benar-benar tidak terlibat, karena namanya jelas tercantum dalam berbagai rapat pembahasan e-KTP.
Dalam dakwaan jaksa juga tertera, bahwa selain nama-nama besar menteri, mantan menteri, anggota DPR pimpinan Komisi II, Banggar, dan wakil Fraksi yang diungkap, terdapat sejumlah 37 orang anggota Komisi II DPR saat itu yang juga menerima jatah uang haram yang namanya belum diungkap. Seberapa besar peluang nama Ahok bukan salah satu dari 37 orang tersebut? Proses hukum lebih lanjut di pengadilan yang akan membuktikan tipu-tipu Ahok dalam kasus e-KTP.
Yang pasti Ahok sudah terbukti tidak transparan dalam mengelola dana kontribusi pengembang Reklamasi dan dana setoran Koofisien Luas Bangunan (KLB).
Ahok mengeluaran jurus tipu-tipu bahwa yang dilakukannya adalah model membangun tanpa APBD, bahwa ini adalah diskresi, dsb. Kenyataannya model pengelolaan dana off budget ala Ahok ini melanggar UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, karena negara dan publik tidak dapat mengawasi penggunaan dana setoran pengembang untuk pembangunan berbagai proyek publik. Kebijakan Ahok menggunakan dana off budget telah kembali membangkitkan praktik korupsi era Orde baru yang sudah belasan tahun coba ditumpas Reformasi. Beberapa bulan lalu Ketua KPK sempat memperingatkan Ahok perihal potensi pelanggaran hukum dana off budget ini, tapi entah kenapa suaranya kembali meredup. Mungkin karena kurangnya tekanan publik pada KPK.
Tipu-tipu lain adalah pola pembelian tanah yang selalu merugikan negara. Dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras, sangat jelas BPK menyebutkan bahwa terdapat “penyimpangan yang sempurna” dalam auditnya atas kebijakan Ahok ini. Namun lagi-lagi KPK masuk angin, mungkin karena kurang tekanan publik juga.
Kemudian dalam kasus pembelian lahan Cengkareng, terungkap bahwa lahan yang dibeli oleh Pemda DKI dengan disposisi Ahok ternyata merupakan lahan negara. Aneh bila KPK belum bergerak, artinya publik harus lebih kuat lagi menekan KPK. Untung dalam kasus pembelian lahan bekas Kedutaan Besar Inggris dibatalkan oleh plt Gubernur Soemarsono, karena ternyata menurut BPN lahan yang nyaris dibeli pemprov Ahok juga merupakan lahan negara.
Kalaupun transparan, Ahok hanya melakukannya pada dana-dana kecil seperti gajinya atau sebagian kecil dana kampanyenya yang tersorot publik. Beranikah Ahok ungkap trilyunan rupiah mahar dari para taipan kepada parpol-parpol pendukungnya di Pilkada DKI? Mustahil.
Penindas
Karakter penindas Ahok adalah yang paling kuat dan jelas. Dengan mengeluarkan ucapan-ucapan kasar yang cenderung kotor di hadapan publik, Ahok telah menindas adab kesantunan masyarakat Indonesia dan Melayu khususnya.
Seoalah ingin melindungi mulut Ahok, Megawati bilang bahwa wajar ucapan Ahok kasar karena dia berasal dari Belitung, sontak langsung dijawab oleh Perkumpulan Masyarakat Adat Melayu bahwa pendapat Megawati tidaklah benar, karena masyarakat Melayu sejak berabad lalu dikenal kesantunannya dalam bertutur kata.
Namun yang paling menyakitkan adalah, kata-kata kasar Ahok ini ditujukan banyak kepada masyarakat kecil, wong cilik, yang seharusnya diberikan tuntunan dan penjelasan dari pimpinannya, bukan malah dimaki-maki.
Dalam beberapa momentum, Ahok juga tertangkap watak fasisnya di depan publik. Terjadi saat dirinya menuduh warga sebagai komunis, saat mengancam demonstrasi warga akan disemprot bensin (dicampur air), dan saat dengan vulgar menyatakan di depan media bahwa dirinya lebih baik membunuh ribuan orang di depan kamera demi kemaslahatan jutaan warga.
Meskipun ini baru dalam ucapan, jelas sudah dapat dikategorikan sebagai bibit-bibit fasisme. Bukankah sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, bahwa kita harus adil sejak dalam pikiran. Nah, dalam kasus Ahok, setelah berpikir, dia berucap fasis. Sama sekali tidak terdapat keadilan dalam alam pikir Ahok.
Dalam kasus penggusuran dan relokasi warga ke rusunawa, Ahok juga terbukti telah melakukan penindasan yang bertentangan dengan kemanusiaan. LBH Jakarta mencatat terdapat puluhan ribu warga DKI yang terdampak.
Di DKI Ahok telah semena-mena menggusur kehidupan warga, bahkan di saat putusan pengadilan ternyata memenangkan warga (contoh kasus: Bukit Duri). Kehidupan warga gusuran di rusunawa pun jauh dari sejahtera. Lapangan pekerjaan mereka tercerabut karena rusunawa berada puluhan km dari tempat kerja. Sementara bila dalam waktu tertentu warga tak mampu membayar sewa rusunnya, maka mereka akan diusir. Bukankah ini jelas merupakan cara Ahok melakukan pemiskinan struktural? Ya, kalaupun disebut profesional, Ahok memang cukup profesional dalam memiskinkan rakyat.
Dan kini, terasa tak ada lagi etika, norma ataupun frame hukum bagi Ahok (juga para Ahokers), semuanya terasa dilindas demi mempertahankan kekuasaan. Dan apabila ini terus dibiarkan, maka sangat boleh dipastikan penegak hukum pun ikut jadi BTP. Dan sungguh ngeri membayangkannya jika semua itu bisa benar-benar terjadi. Namun, semoga saja negeri ini terhindar dari cengkeraman “para BTP”.
(dbs/DM1)