DM1.CO.ID, BOALEMO: Tersangka inisial SH, pada Jumat (26/6/2020), telah ditangkap paksa oleh pihak kejaksaan di Jakarta. SH kemudian tiba di Bandara Djalaluddin-Gorontalo, pada Sabtu pagi (27/6/2020), dengan pengawalan ketat oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Boalemo dan sejumlah polisi lengkap dengan senjata laras panjang.
SH adalah salah seorang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi Pembangunan Irigasi Air Tanah Dangkal, Embung, Dam Parit/Long Storage dan Pintu Air di Kabupaten Boalemo. Ketika itu, SH berkedudukan sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Boalemo.
Penangkapan secara paksa terhadap SH yang kini sebagai Pelaksana Harian (Plh) Sekda Boalemo itu, dinilai sangat berlebihan dan memunculkan keanehan.
Meski begitu, sejumlah media kemudian memberitakan, bahwa penangkapan itu dilakukan akibat SH melakukan “persembunyian” untuk menghindari pemeriksaan di tingkat Kejari Boalemo.
Untuk memberi penjelasan kepada publik terhadap pengangkapan tersebut, kuasa hukum tersangka SH pun mengirim rilis (press-release) ke meja redaksi DM1. Berikut isi lengkapnya:
“Menanggapi pemberitaan yang menyatakan bahwa Tersangka SH dilakukan penangkapan, karena yang bersangkutan tidak mengindahkan atau mangkir dari panggilan Kejari Boalemo, dengan alasan tidak diketahui keberadaannya. Menurut kami, hal ini tidak benar dan perlu diluruskan.
Sebab kami telah memberitahukan secara resmi kepada Penyidik Kejaksaan Negeri Boalemo, bahwa klien kami SH tidak dapat menghadiri panggilan tersebut, dikarenakan telah terlebih dahulu harus menjalankan tugas dinas berdasarkan Surat Perintah Tugas dari Bupati (Boalemo) tanggal 19 Juni 2020, yakni untuk melakukan dinas ke sejumlah instansi di Jakarta selama 5 hari, yaitu dari tanggal 22 Juni 2020 sampai dengan 26 Juni 2020, atau sebelum adanya Surat Panggilan Tersangka dari Kejaksaan Negeri Boalemo tanggal 22 Juni 2020 untuk melakukan Tahap II, pada hari kamis tanggal 25 Juni 2020.
Atas alasan tersebut, kami mengajukan surat pemberitahuan kepada Kejari Boalemo perihal klien kami tidak dapat hadir dikarenakan adanya kegiatan dinas ke Jakarta, dengan melampirkan Surat Perintah Tugas dari Bupati Boalemo tersebut. Dan surat kami itu telah diterima Pihak Kejari Boalemo dengan bukti tanda terima pada Kamis tanggal 25 Juni 2020.
Namun Kejari Boalemo tanggal 25 Juni 2020 (hari itu juga) justru mengeluarkan Surat Panggilan Tersangka ke-2 untuk melakukan Tahap II pada hari Senin tanggal 29 Juni 2020.
Atas adanya Surat Panggilan Tersangka Ke-2 itu, klien kami akan pulang hari Minggu tanggal 28 Juni 2020 dan sudah memiliki tiket pulang ke Gorontalo. Tapi anehnya, tiba-tiba pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2020, klien kami malah dilakukan penangkapan oleh tim dari Kejaksaan Agung dengan alasan yang sangat janggal.
Ada yang janggal dari peristiwa penangkapan Tersangka SH di Jakarta, sebab berdasarkan keterangan klien kami SH, ia ditangkap di Jakarta oleh Tim Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Perintah Jaksa Agung Muda Intelijen Nomor: SP.OPS.124/D/DB.2/06/2020, yang ditunjukkan (diperlihatkan) kepada klien kami dengan memuat pertimbangan:
a). Sehubungan dengan Surat Kejaksaan Tinggi Gorontalo Nomor R.295/P.5/06/2020 tanggal 25 Juni 2020 tentang Permohonan Bantuan Penangkapan Tersangka a.n. (inisial SH).
b). Bahwa belum dapat dilaksanakan eksekusinya karena Terpidana tidak diketahui keberadaannya maka untuk pelaksanaan penangkapannya perlu mengeluarkan Surat Perintah Operasi Intelijen.
Dalam surat tersebut disebutkan tujuan dilakukannya penangkapan untuk:
Melakukan pengamanan terhadap klien kami SH,
Menghadapkan Terpidana kepada Jaksa Eksekutor Kejaksaan Tinggi Gorontalo.
Dan seterusnya.
Dari Surat Perintah Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung RI itu sangat jelas terdapat beberapa kejanggalan:
Pertama: Pihak Kejari Boalemo sesungguhnya mengetahui keberadaan klien kami, yakni berdasarkan surat pemberitahuan yang kami sampaikan dengan disertai lampiran Surat Perintah Tugas dari Bupati. Dan sehari sebelumnya, tim kuasa hukum juga telah menyampaikan melalui via Handphone kepada Kasie Pidsus, bahwa klien kami SH tidak bisa hadir karena sudah ada tugas lebih dahulu sebelum adanya surat dari Kejari tersebut, dan minta untuk dijadwalkan ulang. Maka kemudian keluarlah Surat Panggilan Kedua.
Sehingga tidak benar jika kejaksaan tidak mengetahui keberadaan klien kami sebagaimana pertimbangan point b Surat Perintah Jaksa Agung Muda Intelijen tersebut.
Kedua: Bahwa tidak benar klien kami dilakukan penangkapan karena belum dapat dilaksanakan eksekusi, sebagaimana pertimbangan point b Surat Perintah Jaksa Agung Muda Intelijen tersebut. Sebab klien kami belum disidangkan, sehingga kami justru mempertanyakan Eksekusi yang mana yang dimaksud dalam surat tersebut? Pada bagian surat yang menyatakan pada point 2 (Menghadapkan Terpidana kepada Jaksa Eksekutor Kejaksaan Tinggi Gorontalo).
Tentu saja itu makin membingungkan. Sebab faktanya, klien kami bukan Terpidana, akan tetapi sebagai Tersangka. Dan faktanya, pada hari sabtu tanggal 27 Juni 2020 klien kami tidak diserahkan kepada Jaksa Eksekutor Kejaksaan Tinggi Gorontalo, akan tetapi diserahkan kepada Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri Boalemo.
Ketiga: Bahwa kami menyayangkan perlakuan yang sangat berlebihan terhadap klien kami oleh pihak kejaksaan, di satu sisi pihak kejaksaan tidak melakukan penegakan hukum yang sama terhadap Tersangka kasus dugaan korupsi GORR, yang kasusnya sudah lama dan sudah jelas ada kerugian negaranya Miliaran Rupiah, dibandingkan klien kami yang sampai hari ini justru tidak ada perhitungan kerugian negaranya, namun harus diperlakukan bak Teroris.
Empat: atas perlakuan tersebut, kami berencana akan berkonsultasi dengan klien kami, apakah akan melakukan Pra-Peradilan terkait Penangkapan yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang benar atas klien kami?”. (rls/dm1)
Sen Jun 29 , 2020
DM1.CO.ID, MALUKU: Jomina Ormo, seorang tenaga medis di RSUD dr Haulussy, Ambon, Maluku, mengalami penganiayaan sehingga membuat luka di bagian pipi, belakang kepala dan bagian punggung belakang akibat dihajar oleh keluarga pasien Covid19.