Perusahaan Sawit “Milik Jenderal” Bikin Merana Petani, Bupati Boalemo pun Cuek?

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, BOALEMO: Sudah sekitar 7 tahun, ribuan hektar lahan para petani di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, telah “dikuasai” (digunakan) oleh sebuah perusahaan perkebunan sawit, PT. Agro Artha Surya (AAS), dengan sejumlah perjanjian yang telah dibangun bersama para petani.

Dan PT. AAS itulah yang kini menjadi pengelola kebun inti dan plasma kemitraan dengan para petani setempat sejak 2012, yakni dengan skema perjanjian sistem pembagian lahan plasma dengan inti sebesar 50:50 persen.

Artinya, jika seorang petani yang memiliki lahan seluas 12 hektar, maka perusahaan hanya memberikan pembayaran seluas 6 hektar. Sehingga pembayaran yang telah dijanjikan oleh perusahaan sebesar Rp.1.350.000 per bulan adalah dikali 6 hektar, yakni Rp.8.100.000.

Dari investigasi langsung di lapangan, wartawan DM1 mendapatkan sejumlah informasi. Bahwa perjanjian pembayaran sebesar Rp.1.350.000 per bulan tersebut, disepakati dimulai pada bulan ke-49, atau sesudah panen pertama.

Artinya, pada bulan pertama (tahap penanaman dan pertumbuhan sawit) hingga 48 bulan atau selama 4 tahun, petani sepakat tidak mendapatkan apa-apa dari lahan milik mereka yang telah dikelola oleh perusahaan.

Namun, setelah memasuki bulan ke-49, para petani yang sudah bersabar menahan “penderitaan” (mengencangkan ikat pinggang) selama 4 tahun lantaran telah menyerahkan lahannya ke perusahaan tersebut, ternyata tidak juga mendapatkan pembayaran sebagaimana yang sudah disepakti. Padahal, pihak perusahaan sudah berkali-kali melakukan panen.

Memasuki tahun ke-5 (atau sekitar bulan ke-60), para petani bersama sejumlah aktivis dan LSM setempat pun menggelar aksi unjuk-rasa di depan kantor PT.AAS, Senin (11/2/2019). Mereka mendesak agar pihak perusahaan segera menepati perjanjian yang telah disepakati, terutama adalah membayar hak-hak para petani.

Unjuk-rasa tersebut terpaksa dilakukan, lantaran pihak perusahaan telah berkali-kali pula ingkar dari kesepakatan dan janji untuk segera membayar para petani pada waktu yang telah ditentukan.

Sesuai data yang diperoleh, terdapat sejumlah kesepakatan yang tertuang dalam lembar berita acara hasil pertemuan pihak perusahaan dengan para petani melalui perwakilan sejumlah koperasi setempat.

Di antaranya, terdapat lembar berita acara hasil pertemuan yang digelar pada Senin (22/10/2018). Salah satu poin yang dituangkan sebagai kesepakatan dalam berita acara tersebut dituliskan: “Pengurus koperasi dan anggota/Petani Plasma meminta kepastian dan kejelasan tentang realisasi pembagian hasil kebun plasma selambat-lambatnya pada tanggal 01 November 2018. Jika setelah batas waktu yang sudah ditentukan tersebut belum ada kepastian juga dari perusahaan, maka untuk kegiatan panen akan dihentikan dan akses jalan ke kebun juga akan ditutup“.

Namun tiba batas waktu yang telah ditentukan dalam berita acara dari pertemuan pada Senin (22/10/2018) tersebut, pihak perusahaan ternyata belum juga bisa memberikan kejelasan terkait pembayaran kepada petani.

Ketika itu, pihak perusahaan kembali mengajak dilakukan pertemuan, dan para petani melalui perwakilan sejumlah koperasi itupun setuju dilakukan pertemuan kembali, yakni pada Kamis (01 November 2018).

Pada pertemuan resmi itu, kembali memunculkan sejumlah kesepakatan yang tertuang dalam lembar berita acara. Di antara kesepakatan tersebut tertulis poin, bahwa pihak perusahaan sepakat akan segera merealisasikam pembayaran kepada para petani selambat-lambatnya pada hari Jumat tanggal 01 Februari 2019.

Namun, hingga tiba batas waktu yang ditentukan, pihak perusahaan pun nyatanya lagi-lagi mengingkari janji dan kesepakatan tersebut. Padahal, berita acara tersebut bercap/stempel serta bermaterai 6.000 yang ditanda-tangani oleh pihak perusahaan dan sejumlah koperasi setempat.

Menyadari “perilaku” perusahaan yang tak kunjung memberi kejelasan dan kepastian terkait waktu pembayaran, para petani inipun lalu menggelar unjuk-rasa bersama sejumlah aktivis dan LSM setempat, Senin (11/2/2019), di depan pabrik PT. AAS.

Sayangnya, meski belakangan ini petani telah berkali-kali giat melakukan aksi unjuk-rasa, baik di hadapan pihak perusahaan maupun di “muka hidung” Bupati Boalemo, terkait pembayaran tersebut nyatanya belum juga mendapat kejelasan hingga tulisan ini diturunkan.

Para petani mengaku sangat kecewa dengan sikap Bupati Boalemo, Darwis Moridu, saat suatu kesempatan ditanyai apakah berpihak kepada perusahaan atau kepada petani. “Bupati saat itu hanya menjawab, saya berpihak kepada keduanya, perusahaan dan petani,” ujar seorang petani di Desa Pangea meniru jawaban Darwis.

Jawaban seperti itu, menurut para petani, adalah sesungguhnya merupakan sikap “bimbang” yang tidak mencerminkan keberpihakan kepada nasib para petani yang kini sudah sangat terpuruk.

Bupati Boalemo beberapa waktu lalu, bahkan pernah melontarkan janji, bahwa masalah pembayaran para petani akan diselesaikan sesudah Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Boalemo yang ke-20 tahun (12 Oktober 2019).

Namun hingga saat ini, Darwis Moridu yang memimpin kabupaten yang berslogan “Damai Bertasbih” itu belum juga mampu memberi kedamaian (jalan keluar yang membahagiakan dan mendamaikan hati) bagi para petani tersebut.

Dari hasil dialog investigas yang dilakukan wartawan DM1 bersama puluhan petani di Desa Pangea, Kecamatan Wonosari, pada Senin (18/11/2019), sangat banyak terungkap informasi maupun curahan hati dan harapan-harapan dari para petani yang mengaku kini sangat merana dengan kondisi ekonomi yang kian terjepit dan terhimpit.

Sudah 7 tahun, para petani terpaksa tidak bisa menggarap lahannya sendiri secara maksimal akibat telah “dikuasai” oleh pihak perusahaan.

Dan selama 7 tahun itu, sebagian besar petani mengaku terpaksa menambal hidup keluarga dengan pekerjaan yang tak menentu. Kadang menjadi kuli tani di lahan milik teman sesama petani, kadang juga menumpang bercocok tanam di lahan-lahan milik orang lain, yang tentu hasilnya sangat jauh dari harapan.

Bahkan tidak sedikit petani di Kecamatan Wonosari, saat ini mengaku telah banyak dililit utang di sana-sini hanya untuk bertahan hidup, memenuhi kebutuhan dapur, dan juga untuk kebutuhan biaya pendidikan anak-anak sekolah mereka.

Masih dari hasil dialog investigasi Wartawan DM1, sejumlah petani mengaku mendengar kabar, bahwa konon perusahaan sawit PT. AAS itu adalah juga milik atau “dibentengi” oleh sejumlah sosok berpangkat jenderal.

Sehingga boleh jadi, itu yang membuat perusahaan PT. AAS merasa bisa seenaknya memperlakukan para petani, dan bahkan membuat Bupati Boalemo menjadi sulit mengambil langkah tegas, alias cuek atau bermasa bodoh terhadap nasib petani.

Namun betulkah PT. AAS yang merupakan anak perusahaan dari PT. Bukit Berlian Plantations Grup yang berkantor pusat di Jakarta itu, juga adalah milik sejumlah jenderal?

Entahlah! Yang jelas, menurut para petani, jika memang benar-benar perusahaan tersebut juga termasuk dimiliki sejumlah jenderal, maka seharusnya pihak manajemen perusahaan itu bisa menjaga kewibawaan para jenderal tersebut. (inv/dm1)

——-

Baca Berita Terkait:

  1. Terkait Tuntutan Lahan Sawit, Pendemo Sindir Bupati Darwis Jangan Cuma Marah ke Gubernur
Bagikan dengan:

Muis Syam

23,408 views

Next Post

Ucapan HUT Kab. Gorontalo 346 Lurah Dutulanaa

Rab Nov 20 , 2019