DM1.CO.ID, GORONTALO: Jelang berakhirnya perjalanan masa bakti 2014-2019, Pemerintah dan DPR-RI berambisi untuk merevisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Meski banyak yang ingin direvisi sebelum periode berakhir, namun hanya kedua undang-undang ini yang sedang dipacu pengesahannya oleh Pemerintah dan DPR-RI sebelum masa bakti pada periode ini berakhir.
Khusus dalam draf RUU KUHP, ada sejumlah pasal yang dianggap masyarakat sipil tak sesuai dengan semangat reformasi dan pemerintahan bersih. Bahkan ada 10 pasal yang dinilai sangat mengancam kebebasan pers dalam berekspresi.
Pasal-pasal tersebut adalah: Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Seakan mengabaikan masukan masyarakat, DPR dan pemerintah juga kembali menghidupkan pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Padahal, pasal ini pada 2006 telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.
Kabarnya, pada 24 September 2019, draf Revisi KUHP ini akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI. Tak bisa dibayangkan jika Revisi KUHP ini disahkan, maka kebebasan pers dalam berekspresi tinggallah kenangan. Dan kehidupan berdemokrasi di negeri inipun dipastikan akan mundur jauh ke belakang.
Menyikapi keprihatinan tersebut, sejumlah organisasi Pers di Gorontalo pun menggelar seruan aksi untuk menolak revisi KUHP, Senin (23/9/2019). Organisasi Pers di Gorontalo tersebut adalah AJI, IJTI, PWI dan LPM Merah Maron. Mereka menegaskan 4 pernyataan sikap, yakni:
1. Mengecam DPR dan Pemerintah yang masih mempertahankan pasal-pasal yang bisa mengkriminalkan jurnalis (Pasal 219, 241, 247, 262, 263, 281, 305, 354, 440, dan 444). Sikap DPR dan Pemerintah ini tidak menghormati sistem demokrasi yang menempatkan media sebagai pilar keempat -setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam negara demokrasi.
2. Meminta DPR dan Pemerintah tak memaksakan untuk mengesahkan RUU KUHP dalam waktu singkat. RUU itu masih banyak memuat pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Melanjutkan pembahasan ini dalam waktu yang sangat singkat diyakini tidak akan menghasilkan KUHP yang sesuai semangat demokratisasi, selain juga mengabaikan aspirasi masyarakat sipil, organisasi jurnalis dan media.
3. Meminta DPR dan Pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata. Mempertahankan pemidanaan soal pencemaran nama baik mengesankan dua lembaga itu tak mengikuti perkembangan internasional yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata. Memasukkan soal pencemaran nama baik dalam ranah pidana akan memberikan efek menakutkan, dan itu tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan tak sesuai semangat Pasal 6 Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang meminta pers berperan “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”
4. Mendesak DPR dan Pemerintah mencabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Sebab, pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. Pasal ini bisa dipakai oleh para penegak hukum yang buruk untuk membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusannya atau karena mengungkap perilakunya yang tak sesuai kepatutan atau undang-undang. (*/dm1)
DM1.CO.ID, MAKASSAR: Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Senin siang (23/9/2019), menggelar aksi unjukrasa, di depan Kampus UMI, Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar. Dan sempat menimbulkan kemacetan panjang.