Tanggapan Balik Atas Kritik Staf Sri Mulyani Ke Rizal Ramli

Bagikan dengan:

KEPALA Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa WS, menanggapi kritik DR Rizal Ramli (RR), Menko Perekonomian era Presiden  Abdurrahman Wahid yang juga Menko Kemaritiman dan Sumber Daya 2015-2016,  atas RUU PNBP yang diajukan Menkeu Sri Mulyani ke DPR Januari 2017.

Rizal Ramli dalam suatu diskusi di Jakarta telah mengeritik, bahwa RUU PNBP yang diajukan ke DPR itu membuka peluang untuk menggenjot pendapatan negara langsung dari rakyat, bahkan dari sektor pendidikan, kesehatan dan agama, yaitu nikah, cerai, rujuk.

Nufransa sebagai aparat dari Kemenkeu menyerang balik Rizal Ramli dengan mengatakan, RR tidak memahami bahwa PNBP sudah diatur oleh UU No. 20/1997 yang juga mengatur soal pungutan kepada a.l. sektor pendidikan, kesehatan dan agama yaitu nikah, cerai dan rujuk.

Nufransa tidak menangkap poin dari kritik RR terhadap RUU PNBP. Yang pertama adalah walaupun pemikiran bahwa perlunya diajukan  RUU PNBP itu sudah sejak 2011, namun baru Januari 2017 diajukan ke DPR dalam kondisi kepanikan Kemenkeu akibat mengecilnya pendapatan negara dari PNBP khususnya dari sektor Migas.

Pada 2014 pendapatan negara dari PNBP mencapai Rp 385 triliun dan 2017 mengecil hanya mencapai Rp 250 triliun. Sedangkan dari sektor migas akibat harga minyak yang turun jauh maka sumbangan PNBP Migas merosot jauh sekali dari 2014 mencapai Rp 216,9 triliun dan pada 2016 tinggal Rp 44,9 triliun atau tinggal 20,7 persen saja . Sedangkan harapan untuk naiknya lagi harga minyak untuk bisa mencapai US$ 70/barrel saja masih jauh dari kenyataan .

Selain itu Kemenkeu semakin panik menghadapi kenyataan bahwa sampai dengan September 2017 penerimaan pajak masih kurang Rp 500 triliun lebih dari target, padahal waktunya tinggal kurang tiga bulan lagi. Bisa diperkirakan bahwa sampai dengan akhir tahun pengumpulan pajak hanya akan mencapai 80 persen-an dari target dan pasti akan terjadi pemotongan anggaran lagi karena untuk berhutang besar lagi sudah tidak memungkinkan akibat defisit APBN-nya sudah terlalu besar .

Oleh karena itu dapat diduga bahwa pengajuan RUU PNBP ke DPR dengan target bisa disahkan menjadi UU tahun ini juga untuk menggenjot PNBP non Migas termasuk yang mengutip langsung dari masyarakat dari sektor pendidikan, kesehatan dan agama, nikah, cerai, rujuk dan sektor pelayanan publik lainnya.

Point yang paling penting dari kritik RR yang tidak mampu dicerna oleh pemikiran Nufransa dan bahkan oleh Sri Mulyani yang mengarahkan Nufransa adalah bahwa dalam Mukadimah UUD 45 disebutkan tujuan kemerdekaan itu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa . Sehingga RR  mendesak bahwa saatnya sekarang kita melindungi sektor pendidikan, kesehatan dan hajat hidup masyarakat yang paling dasar seperti nikah, cerai, rujuk dan sektor pelayanan publik lainnya dari pungutan yang memberatkan. Bahkan harus menggratiskan bagi masyarakat yang tidak mampu agar mereka juga bisa cerdas, sehat dan bahagia.

RR bahkan memberikan contoh di negara Amerika Serikat yang super Liberal Kapitalis pun tidak memungut pajak kepada sektor pendidikan dan bahkan memberikan bantuan tanah ratusan hektar kepada yang menyelenggarakan pendidikan. Namun dalam RUU PNBP ini, RR tidak melihat adanya rumusan perlindungan dari negara kepada masyarakat yang lemah agar tidak dipungut biaya untuk sektor pendidikan, kesehatan dan agama, khususnya nikah, cerai, dan rujuk dan sektor pelayanan publik lainnya. Hal ini akan membuka peluang adanya permainan pungutan kepada rakyat yang lemah yang dimuat di dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri atau Kepurusan Menteri dan sebagainya.

Yang kedua , soal tuduhan bahwa Sri Mulyani membarter pemberian anggaran gedung baru DPR senilai Rp 5,7 triliun yang dimasukkan ke APBN 2018 dengan pengesahan tahun ini juga UU PNBP memang sulit untuk dibantah. Masih banyak kepentingan rakyat yang jauh lebih urgent dari pada pembangunan gedung baru DPR, misalnya defisit dana BPJS yang merupakan hajat hidup rakyat yang paling dasar, tetapi mengapa gedung baru DPR yang tidak ada urgensinya didahulukan .

Sri Mulyani yang menganut mazhab Neoliberal dan menyusup ke pemerintahan Jokowi, memang selalu mencari jalan yang paling mudah, tanpa perlu berpikir yang berat, cari jalan yang gampang saja, tanpa perlu harus memutar otak, pajakin saja rakyatnya. Sudah banyak contoh, misalnya menaikkan tarif listrik 900 VA yang menyedot uang rakyat yang hampir miskin sebesar Rp 15 triliiun setiap tahun.

Menghadapi defisit dana BPJS,  Sri Mulyani akan menaikkan iurannya. Begitu saja. Kalau APBN defisit, ya anggarannya saja dipotong. Nanti kalau ekonomi menjadi lesu cari-cari alasan saja untuk ngeles. Yang bisnisnya bergeser ke online-lah, yang terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat-lah, yang msyarakat menyimpan uangnya di bank-lah.

Tetapi satu hal yang tidak bisa dibantah yaitu mencapai pertumbuhan ekonomi 5,2 persen saja tidak mampu. Padahal Vietnam selama 10 tahun (2006-2015) rata-rata pertumbuhan ekonominya mencapai 6,7 persen (Indonesia hanya 5,7 persen) dan Filipina pada 2016 tumbuh 6,8 persen dan 2017 ini target pertumbuhan Vietnam dan Filipina di atas 6,5 persen jauh lebih tinggi dari Indonesia yang hanya 5,3 persen itupun pasti tidak tercapai .

Cara kerja dan kemampuan kerja Sri Mulyani yang  seperti inilah yang menggerus terus menerus elektabilitas Jokowi untuk 2019. [***]

Penulis adalah analis sosial politik, aktivis 77/78

Bagikan dengan:

Muis Syam

1,856 views

Next Post

Kadis Pendidikan Sebut Walikota Gorontalo Punya Inteligensi Tinggi

Sel Nov 7 , 2017
DM1.CO.ID, GORONTALO: Setiap yang terjadi di lingkungan sekolah atau yang berurusan dengan persoalan pendidikan, sekecil apapun masalahnya, itu sudah langsung diketahui oleh Walikota Gorontalo. Dan itu menandakan bahwa Marten Taha sebagai Walikota Gorontalo punya tingkat inteligensi yang tinggi.