DM1.CO.ID, JAKARTA: Apa yang pernah dilontarkan oleh Bambang Soesatyo (Bamsoet), 2011 silam, nampaknya tidaklah keliru.
Bamsoet kala itu mengatakan, bahwa Sri Mulyani (yang kini kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan) itu adalah Sales Promotion Girls (SPG)nya International Monetary Fund (IMF).
Bahkan secara tajam Bamsoet juga menyebut, bahwa komitmen kerjasama Pemerintah Indonesia dengan IMF selama ini telah disalahgunakan Sri Mulyani untuk memperkaya diri sendiri.
“Sri Mulyani ternyata merangkap sebagai SPG atau Sales Promotion Girls-nya IMF, karena mendapat fee sebesar satu persen dari setiap pinjaman,” ungkap Bamsoet, dikutip RMOL, Selasa (1/2/2011).
Modus seperti itu, kata Bamsoet, jelas merupakan perilaku koruptif. “Karena tidak ada ketentuan perundang-undangan yang membolehkan pejabat negara mendapatkan fee dari setiap negosiasi pinjaman,” tegas Bambang.
Bamsoet kala itu sepertinya sangat menduga kuat ada yang “tidak beres” pada diri Sri Mulyani. Misalnya, Sri Mulyani diduga telah melakukan abuse of power.
“Namun, kita tetap meminta dua jawaban dari Sri Mulyani. Pertama, tentang perannya dalam skandal Bank Century. Kedua, dia juga harus mengklarifikasi perannya sebagai SPG bagi IMF, terutama dalam memroses persetujuan pinjaman bagi Indonesia,” tegas Bamsoet, dilansir Tribunnews, Selasa (24/5/2011).
Hal senada juga pernah disampaikan oleh seorang aktivis Justiani atau Liem Siok Lan dalam sebuah diskusi yang digelar Sabang Merauke Circle (SMC), Senin (31/1/2011).
Menurut Liem Siok Lan yang juga mantan Penasihat Thaksin (Perdana Menteri Thailand) itu, Sri Mulyani merupakan salah satu pihak yang menggadaikan kekayaan Indonesia ke pihak asing. Di antaranya adalah dengan memperbanyak utang luar negeri melalui IMF.
Liem Siok Lan juga mengungkapkan, bahwa Sri Mulyani mendapat success fee sebesar 1 hingga 3 persen dari nilai pinjaman yang berhasil didapatkannya.
Dan jika hal tersebut terjadi, maka itu sama halnya Sri Mulyani telah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, dan bagai menari-nari di atas penderitaan rakyat.
Olehnya itu, menurut Liem Siok, saat menjabat Menteri Keuangan era Presiden SBY, Sri Mulyani adalah salah satu faktor (sosok) penyebab hancurnya perekonomian Indonesia.
Mengetahui dirinya disebut SPG-nya IMF, Sri Mulyani ketika itupun sepertinya buru-buru membantah tudingan tersebut.
Dilansir inilah.com, melalui website srimulyani.net, seseorang bernama Grip Rasp dari kubu Sri Mulyani membantah dan menolak keras bila Sri Mulyani dituding sebagai SPG-nya IMF.
“Sejak kapan Sri Mulyani menjadi SPG-nya IMF?” bantah Grip.
Belakangan, sepertinya bantahan Grip tersebut terjawab sendiri. Yakni, dalam sebuah video yang ditayangkan oleh IMF sendiri.
Video yang disematkan di laman IMF tersebut, ditayangkan “penampakan” Sri Mulyani yang seolah sedang melakukan “promosi barang dagangan”.
“IMF dan mereka juga bercita-cita untuk membuat dunia itu makmur stabil dan adil. Oleh karena itu, nilai-nilai yang ada di dalam IMF adalah sesuai dengan tujuan kita untuk membangun Indonesia yang juga sangat heterogen inklusif dan memiliki keinginan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran bersama,” ujar Sri Mulyani dalam video itu.
Video yang berdurasi 1 menit itu nampaknya lebih cocok disebut sebagai video iklan. Dan Sri Mulyani di dalam video itupun memang nampaknya lebih tepat disebut bintang iklan yang sedang berperan sebagai seorang SPG.
Jika demikian, maka video tersebut sekaligus membenarkan “tudingan” Bamsoet dan Liem Siok Lan, bahwa Sri Mulyani adalah SPG-nya IMF.
Sayangnya, Bamsoet yang kini telah menduduki jabatan sebagai Ketua DPR-RI itu nampaknya tak “setajam” dulu.
Jika pada 2011 Bamsoet pernah “mengejek” Sri Mulyani sebagai SPG-nya IMF, saat ini ia malah sepertinya membuka tangan menyambut kedatangan IMF di Bali Oktober 2018 mendatang.
Dulu VOC, Sekarang IMF
Sebuah perspektif dari seorang peneliti sejarah independen, Sofia Abdullah, dalam tulisannya menyimpulkan bahwa VOC dan IMF adalah sebuah sejarah yang berulang, mereka sama-sama penjajah.
VOC adalah perusahaan multinasional yang menghalalkan segala cara demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Jadi, yang menjajah Nusantara pada awalnya bukan Belanda, melainkan korporasi global.
Memang negeri ini secara lahiriah sudah merdeka, tapi sejatinya sejarah berulang hingga kini. Yakni, masih sedang terjajah oleh korporasi global, bukan hanya Indonesia, tetapi juga kebanyakan negara-negara berkembang lainnya.
Bisa ditengok dan diamati, bagaimana perilaku korporasi global hari ini betapa sangat memonopoli perdagangan dunia dengan cara-cara kasar. Misalnya, dengan melobi para politisi untuk meloloskan sebuah undang-undang (UU) yang banyak menguntungkan mereka; dana pembuatan UU itupun digelontorkan oleh “lembaga sosial” yang sebenarnya perpanjangan tangan korporasi (dikutip dari buku Kudeta Putih, Hadi, et al).
Juga dengan menggunakan kekuatan IMF dan Bank Dunia untuk memaksakan proyek-proyek yang sebenarnya tidak urgen, dan hanya membuat bangsa-bangsa terjerat utang yang semakin menggunung dan meroket (dikutip dari buku John Perkins)
Selain itu, mereka juga memaksakan aturan-aturan di WTO agar sesuai dengan kepentingan mereka (dikutip dari buku Power in Global Governance, Barnet et al)
Pemilik saham terbesar IMF saat ini adalah Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Jepang, dan Prancis (disebut G-5). Kekuatan dominasi G-5 terlihat jelas ketika sebuah negara meminjam uang kepada IMF.
IMF baru mengucurkan dana pinjaman jika negara calon pengutang telah melaksanakan seluruh syarat yang ditetapkan IMF. Di antara syarat tersebut adalah mencabut subsidi, meningkatkan pajak, liberalisasi pasar, dan meningkatkan suku bunga.
Dan semua persyaratan itu ujung-ujungnya hanya menguntungkan negara-negara pemegang saham terbesar di IMF dan Bank Dunia (keduanya saling bersekutu). Oleh Stiglitz disebut sebagai dengan istilah “pilar globalisasi/pasar bebas”.
Sebetulnya, Presiden Jokowi sudah pernah melontarkan “kesadarannya” untuk menolak mentah-mentah keterlibatan IMF dan kawan-kawan.
“Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang,” tegas Presiden Jokowi dalam pidatonya pada Pembukaan Konfrensi Asia Afrika (KAA), di Jakarta, 22 April 2015 silam.
Sayangnya, ketegasan Presiden Jokowi tersebut saat ini tak bisa dipegang sebagai sebuah ucapan serius yang patut dilaksanakan. Apalagi, Jokowi sebagai presiden saat ini malah nampaknya “bertekuk lutut” di hadapan sang SPG IMF itu.
Dan satu-satunya ekonom senior yang juga sebagai sosok pergerakan perubahan yang sejak dulu keras melawan dan menolak IMF adalah DR. Rizal Ramli. Dan bahkan tokoh pertama yang ingin siap berdebat dengan Sri Mulyani seputar utang. Sebab, bagi Rizal Ramli, ekonomi Indonesia dapat dibangun dengan kemajuan yang pesat meski tanpa mengandalkan campur-tangan IMF. (dbs-ams/dm1)