DM1.CO.ID, GORONTALO: Saat ini, pengerjaan proyek Rekonstruksi/Peningkatan Jalan Nani Wartabone (Ex. Panjaitan) yang dilaksanakan oleh PT. Mahardika Permata Mandiri (MPM), terlihat dalam kondisi berantakan, kacau dan sangat memprihatinkan. Sehingga diprediksi kuat akan putus kontrak, dan terancam terbengkalai, alias mangkrak.
Proyek yang menyediakan anggaran hampir Rp.24 Miliar (dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional/PEN) itupun ramai diperbincangkan, dan menjadi diskusi menarik oleh banyak kalangan di sejumlah warung kopi (Warkop) di Kota Gorontalo.
Tak hanya mengaku prihatin terhadap “nasib” proyek yang akan menjadi salah satu ikon “kebanggaan” Wali Kota Gorontalo itu, mereka juga menyoroti secara tajam semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan proyek tersebut, terutama pihak kontraktor (penyedia) yang dinilai bergerak dengan progres yang sangat lambat.
“Dari awal, secara teknis pihak penyedia memang sepertinya sudah keliru,” ujar seorang kontraktor lokal, Hartono Kaluku kepada Wartawan DM1, di Warkop Ano, di Kawasan Pertokoan Murni, Kota Gorontalo, Selasa sore (24/5/2022).
Hartono menilai, MPM sebagai pihak penyedia atau pelaksana proyek tampaknya tidak mengukur kemampuan pekerjaan sesuai cash-flow mereka. “Dia (MPM) kan tahu cash-flow dia seperti apa? Seharusnya dia bisa mengatur pekerjaan ini (dengan cash-flow yang ada). Contohnya, berapa ketersediaan (kemampuan) untuk bisa menyediakan U-Ditch. Terus untuk pekerjaan mayornya, dari agregat, LPA-LPB (Lapis Pondasi), aspal dan lain sebagainya,” jelas Hartono.
Yang terjadi di lapangan, menurut Hartono, pihak penyedia sepertinya menampilkan pekerjaan tanpa perhitungan cash-flow. Yakni, pihak MPM langsung melakukan penggalian saluran secara menyeluruh di sepanjang Jalan Nani Wartabone dengan menggunakan eskavator.
“Seharusnya jangan seluruhnya dia bongkar (menggali saluran). Akhirnya kelihatan semrawut, orang komplain kiri-kanan. Konsentrasi bekerja jadi hilang,” ujar Hatono.
Hartono memberi contoh, bahwa jika pihak penyedia bekerja sesuai cash-flow, maka akan terlihat pekerjaan secara step by step yang sistematis. “Misalnya, melakukan penggalian dari jarak STA-0 (nol) di pertigaan UNG sana mungkin sampai di perempatan lampu merah, itu dulu yang dia selesaikan. Supaya pemasangan UDitch-nya pun bisa rapi, termasuk elevasinya,” terang Hartono.
Hartono menduga, pihak penyedia (MPM) hanya menyewa (tidak memiliki) peralatan seperti eskavator, sehingga harus memacu penggalian secara menyeluruh di sepanjang jalan ex-Panjaitan tersebut. “Kalau dia tidak punya eskavator, maka dia kan harus sewa. Sewa satu hari misalnya Rp.3,5 Juta, maka pasti akan mengoptimalkan dan memaksimal (memacu) eskavator itu (menurut hitungan sewa per hari), sehingga dia korbankan orang banyak. (Karena) dia tentu tidak mau eskavator itu menganggur,” tutur Hartono.
Hal lain yang disoroti Hartono adalah terkait “kemunculan” MPM sebagai pihak “pemenang” tender atas proyek ex Jalan Panjaitan tersebut.
Hartono menduga, penetapan pemenang tender proyek Jalan Nani Wartabone ini, boleh jadi karena pihak-pihak berkompeten yang kurang jeli. “Pihak Pengguna Anggaran (PA) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggara) harus bisa menjadikan persoalan proyek Panjaitan ini sebagai suatu pembelajaran. Pengguna kurang jeli dalam menetapkan siapa pekerjanya,” ungkap Hartono.
Ia berharap ke depan, hendaknya PA, KPA beserta pihak ULP bisa benar-benar jeli dalam menetapkan kontraktor sebagai pemenang tender proyek. Termasuk di antaranya harusnya jeli melihat track-record dan alat-alat yang dimiliki oleh calon pemenang tender.
Pada kesempatan bincang-bincang tersebut, Hartono membeberkan rasa salutnya kepada pihak Pemerintah Provinsi Gorontalo yang mampu “memprioritaskan” pemenang tender proyek kepada kontraktor lokal seperti Budi Gozali dan H. Afandi Laya (Haji Pepeng).
“Kedua kontraktor lokal ini (Budi Gozali dan Haji Pepeng) memang adalah kontraktor yang sudah kelihatan sangat jelas-jelas memiliki jam terbang dan kredibilitas yang tinggi, punya alat dan fasilitas untuk menunjang kelancaran pengerjaan proyek,” ucap Hartono.
Meski begitu, Hartono menyarankan dan mencoba memberi masukan kepada pihak Pemerintah Kota Gorontalo, khususnya Dinas PUPR Kota Gorontalo atas “nasib” proyek Jalan ex Panjaitan yang kini terancam mangkrak tersebut. “Yakni, misalnya pengguna bersama-sama dengan penyedia bisa mengajak dan melibatkan sub-kontraktor (Sub-kon) untuk bisa sama-sama menuntaskan proyek ini,” imbau Hartono.
Sementara itu Ketua Karang Taruna Kelurahan Limba U1, Steven Nurdin, juga angkat suara. Ia ikut prihatin dan mengeluhkan kondisi pengerjaan proyek ini. “Dari awal, pihak-pihak yang terkait dalam proyek ini tidak melakukan sosialisasi kepada warga,” tutur Steven.
Padahal jauh-jauh hari sebelum pencanangan proyek ini, Steven mengaku sudah mengajukan surat kepada pihak-pihak berkompeten, yakni agar terlebih dahulu melakukan sosialisasi kepada warga dan tokoh-tokoh masyarakat dengan menghadirkan lurah setempat. “Tetapi surat saya itu sama-sekali tidak digubris dan tidak ditindak-lanjuti,” ujar Steven mengaku kecewa.
Seorang warga Jalan Nani Wartabone, Roys Bau, juga mengemukakan keprihatinan dan menumpahkan keluhannya. Ia menilai, kondisi pengerjaan proyek di kawasan tempat tinggalnya itu sangat parah dan benar-benar tidak beres.
Akibatnya, kata Roys, seluruh warga di sepanjang lokasi proyek merasakan kesusahan dan ketidak-nyamanan. Yakni, siang-malam penuh dengan debu beterbangan, muncul kecelakaan lalu-lintas, luapan dan endapan air dari saluran yang sudah digali menimbulkan jentik-jentik nyamuk serta bau yang tidak sedap.
Selain itu, pengusaha UMKM maupun pedagang di sepanjang Jalan ex Panjaitan yang memang sudah mengalami kelesuan saat Covid19, kini berlanjut dan ditambah lagi dengan kesusahan dalam berusaha (berdagang) akibat kondisi pengerjaan proyek tersebut. “Saya punya warung di Panjaitan. Selama ada proyek itu, pembeli sangat kurang, benar-benar rugi,” lontar Roys.
Menanggapi kesusahan, kerugian serta keluhan atau ketidak-nyamanan warga di sepanjang Jalan Nani Wartabone terhadap kondisi proyek jalan tersebut, Aroman Bobihoe selaku pengamat sosial-hukum di daerah ini juga memberikan pandangannya.
Menurut Aroman, apabila benar-benar merasa tidak nyaman dan juga mengalami kerugian akibat dari pekerjaan proyek yang sedang berjalan, maka warga di lokasi proyek tersebut bisa melakukan keberatan dan gugatan hukum acara dalam class action.
Di satu sisi Aroman yakin bahwa warga sangat mendukung proyek pembangunan yang dilakukan oleh Wali Kota Gorontalo, tetapi apabila dalam proses pengerjaan proyek itu pada kenyataannya menimbulkan dampak yang justru bisa merugikan dan berakibat buruk terhadap ekonomi maupun kesehatan masyarakat, maka menurut Aroman, warga setempat bisa mengajukan gugatan dan keberatan class-action.
“Ketentuan hukum acara dalam class action di Indonesia diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002, yakni tentang acara Gugatan Perwakilan Kelompok,” tutur Aroman.
Sementara itu di tempat terpisah, Antum Abdullah, ST selaku Kepala Bidang (Kabid) Bina Marga Dinas PUPR Kota Gorontalo sekaligus sebagai KPA proyek tersebut membenarkan, bahwa MPM selaku penyedia atau pelaksana proyek jalan ex Panjaitan itu, saat ini mengalami sejumlah masalah.
Antum mengungkapkan, proyek yang dikerjakan sejak Desember 2021 dan akan berakhir pada Juni 2022 itu hanya memperlihatkan progres pengerjaan sebesar sekitar 11 persen. “Seharusnya, saat ini progresnya sudah harus di atas 50 persen,” ujar Antum.
Antum tidak membantah, bahwa saat ini MPM sebagai pihak pelaksana proyek Jalan ex-Panjaitan sudah terancam putus kontrak. “Yang kerja proyek itu kan perwakilan MPM. Jadi sekarang manajemen diambil alih oleh pihak MPM Pusat,” kata Antum.
Pihak pelaksana proyek saat ini sudah “terkena” SCM (Show Cause Meeting). SCM merupakan rapat pembuktian keterlambatan penanganan pada pekerjaan konstruksi yang bisa terjadi karena kendala dari segi materi atau bahan, kurangnya pekerja di lapangan dan kondisi alam yang secara umum keterlambatan pekerjaan tersebut dinilai terjadi akibat kelalaian pihak penyedia (pelaksana proyek).
Antum mengungkapkan, pihak penyedia Jalan ex-Panjaitan itu sudah SCM-2. “Dalam SCM-2 ini ada target, dari 11 persen harus dipacu minimal 28 persen. Kalau mereka (MPM) mencapai 28 persen, maka mengertinya SCM2 itu berjalan, deviasi jadi kecil,” ucap Antum.
Antum menyebutkan, jika ingin mencapai target tersebut, maka pihak penyedia harus menyediakan dana segar perusahaan paling tidak sebesar Rp.5 Miliar. “Dan mereka (MPM) menyatakan sanggup dan yakin untuk dapat mencapai target yang ditetapkan dalam SCM-2 tersebut,” ungkap Antum.
Masa tenggang waktu SCM-2, kata Antum lagi, yakni sampai akhir Mei 2022 ini. “Jika pihak penyedia ternyata tidak mampu mencapai target, maka putus kontrak,” tegas Antum seraya menambahkan bahwa jika putus kontrak, maka tidak akan ada kerugian negara meski sudah mengeluarkan uang muka, karena garansi bank dari penyedia dapat dicairkan untuk mengganti uang muka tersebut.
Antum pun menguraikan sejumlah kendala maupun permasalahan yang tengah dihadapi terkait pengerjaan proyek itu. “Pertama, kondisi sosial masyarakat yang ada di sekitar proyek,” kata Antum.
Ia menceritakan adanya insiden antara seorang warga di lokasi proyek dengan pengawas yang kala itu menghadapi seorang warga yang bersikeras tidak ingin dilakukan penggalian saluran di depan rumahnya. “Pengawas kita di sana, Joni, pernah nyaris terlibat pertengkaran dengan seorang warga yang sempat mendatangkan pihak aparat keamanan di lokasi karena menyampaikan laporan yang tidak sesuai. Yang mau digali itu adalah (saluran) milik pemerintah, bukan membongkar rumah,”jelas Antum.
Kendala berikutnya, kata Antum, yaitu terkait utilitas seperti, pipa milik PDAM, kabel Telkom, Penerangan Jalan Umum (PJU) milik Dinas Perkim, membongkar billboard dan traffic-light. “Itu semua ada ongkos yang tidak ada dalam kontrak. Dan pihak kontraktor meminta (ongkos yang tidak ada dalam kontrak itu) itu dapat hendaknya dipikirkan jalan keluarnya,” terang Antum.
Faktor alam yang menimbulkan luapan dan genangan air, menurut Antum, juga menjadi kendala. “Di sana air dari galian di saluran, ternyata bukan hanya air yang memang sudah ada, tetapi juga ada air hujan, pipa bocor, dan bahkan ada mata air. Jadi tidak pernah bisa kering,” jelas Antum.
Antum pun meminta semua pihak bisa bersabar, sebab sampai saat ini Dinas PUPR Kota Gorontalo tetap melakukan pemantaun dan pengawasan, serta senantiasa berupaya akan melakukan langkah-langkah antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk dari semua pengerjaan proyek yang sedang berjalan di dalam Kota Gorontalo ini. (dms/dm1)