TAK terasa musim pertarungan politik 2019 akan segera tiba. Dan sebagai awal persiapannya, ada draf RUU Pemilu yang kini mulai dibahas di DPR untuk dijadikan “aturan mainnya”.
Dan rakyat Indonesia sebaiknya jangan hanya sebatas tahu, tetapi hendaknya rakyat juga harus sebisa mungkin mengawal dan mengawasi proses penggodokan RUU Pemilu tersebut. Sebab sangat boleh jadi ada terselip ayat-ayat dan pasal-pasal “titipan” untuk kepentingan kelompok tertentu.
Olehnya itu rakyat jangan sekali-kali memandang sepele dengan pembahasan RUU Pemilu ini, sebab dari RUU Pemilu inilah sesungguhnya yang menjadi awal dimulainya pembentukan perjalanan baru sebuah rezim untuk lima tahun berikutnya, periode 2019-2024.
Sedikit saja lalai dan kecolongan, maka rakyatlah yang kembali dapat dipastikan akan terlunta-lunta, bagai anak ayam yang kehilangan induknya.
Sebagaimana diketahui, rezim yang sedang berkuasa saat ini telah mengajukan diberlakukannya kembali sistem Presidential Threshold dalam draf RUU Pemilu. Itu artinya, rezim saat ini kembali mencoba ingin menabrak konstitusi.
Dalam pembahasannya di DPR, ada memang yang setuju, namun tak sedikit pula yang menolak untuk diberlakukannya kembali Presidential Threshold. Bahkan di tingkatan rakyat, kalangan menengah dan lapisan bawah begitu banyak yang secara tegas menolak sistem Presidential Threshold tersebut.
Mereka umumnya meminta, agar kalangan DPR yang sedang membahas RUU Pemilu saat ini sebaiknya tak perlu menggubris “selera” penguasa yang menghendaki diberlakukannya kembali sistem Presidential Threshold.
DPR harus fokus dan konsisten terhadap konstitusi. Bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah pernah mengabulkan sebagian permohonan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu.
Yakni, Majelis MK dalam keputusannya sesungguhnya pada Pemilu 2014 lalu telah membatalkan atau membersihkan (mencabut) seluruh pasal yang berkaitan dengan Presidential Threshold.
Yaitu, Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.
Pasal 12 ayat 1: “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden dalam kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.”
Pasal 12 ayat 2: “Bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden yang diumumkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah mendapatkan persetujuan tertulis dari bakal calon yang bersangkutan.”
Pasal 14 ayat (2): “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 112: “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”
Secara rasional, putusan yang diambil MK pada Kamis (23/1/2014) yang lalu itu sebetulnya harus segera berlaku saat itu juga, meski proses tahapan Pilpres sedang berlangsung.
Namun ketika itu, dalam putusannya, MK menegaskan ketentuan tidak serentak itu tidak serta merta bisa diberlakukan pada Pemilu 2014, tetapi berlaku pada Pemilu 2019. Alasannya, semua tahapan penyelenggaraan pemilu 2014 sudah berjalan dan mendekati pelaksanaan.
“Amar putusan dalam angka satu tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya,” ucap Ketua MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Effendi Gazali di ruang sidang MK, Kamis (23/1/2014).
Mahkamah menyatakan, penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.
Faktanya, masih menurut Mahkamah, tawar-menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.
Bahkan dalam sidang, Mahkamah mengungkapkan dan menegaskan, bahwa penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya tawar-menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang.
“Dalam kerangka itulah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Inilah bunyi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, (silakan dikupas maknanya): “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
“Norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pileg, telah nyata tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan makna pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,” lanjut Fadlil.
Dan inilah bunyi Pasal 22E ayat (1) UUD 1945: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Kemudian bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Nah, ketika disebutkan dalam UUD 1945 bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, namun di saat bersamaan sistem Presidential Threshold yang sudah dinyatakan oleh MK “menabrak” konstitusi tetapi tetap “dipaksakan” pelaksanaannya pada Pilpres 2014, maka pantaskah pemerintahan saat ini disebut sebagai representasi kedaulatan rakyat?
Sebab, dari sisi penafsiran sistematik juga original intent, makna asli para perumus perubahan UUD 1945 sesungguh sangat jelas mengarah pada kesimpulan, bahwa penyelenggaraan Pilpres dilakukan serentak dengan Pileg.
Hal itu secara tegas dikemukakan anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR Slamet Effendy Yusuf yang memaparkan, “…yang dimaksud Pemilu itu adalah Pemilu untuk DPR, Pemilu untuk DPD, Pemilu untuk presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Jadi, (kesemuanya itu) diletakkan dalam satu rezim pemilu.”
Lebih lanjut secara teknis pemaknaan tersebut dapat digambarkan, bahwa pelaksanaan Pemilu nantinya akan terdapat lima kotak, yaitu kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakil presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, serta kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.
“Dari sudut pandang original intent penyusun perubahan UUD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pileg sesuai Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dan penafsiran sistematis Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” ujar Fadlil.
Sejalan dengan pemikiran itu, lanjut Fadlil, penyelenggaraan Pilpres dan Pileg secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara dan mengurangi gesekan horizontal masyarakat.
Namun dengan pertimbangan proses Pilpres 2014 sedang berjalan ketika itu dan untuk menghindari kekacauannya, maka MK pun tetap “mempersilakan” dilaksanakannya UU No. 42 Tahun 2008 secara utuh (termasuk pemberlakuan sistem Presidential Threshold). Tetapi di saat bersamaan, MK juga menegaskan dalam keputusannya, bahwa Pemilu serentak dilaksanakan pada Pemilu 2019.
Ketetapan dan keputusan MK itupun disepakati dan disambut positif oleh seluruh kalangan, termasuk salah satunya di saat itu adalah salah seorang anggota Komisi III DPR-RI Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan.
Menurutnya, jika pemilu serentak diselenggarakan 2014, (maka) hal tersebut sangat riskan dan berisiko. “Tetapi, kalau putusan ini diberlakukan 2019, kita setuju,” kata Trimedya Panjaitan.
Trimedya bahkan menilai putusan Mahkamah ini cukup negarawan, arif dan bijaksana. Selanjutnya, KPU tinggal menyelesaikan berbagai kekurangan pada tahapan-tahapan pemilu. “Kita mengapresiasi putusan mahkamah ini,” ujar Trimedya.
Namun, lain dulu, lain pula sekarang! Di mana seiring dengan bergantinya waktu, keputusan MK yang memutuskan untuk Pemilu 2019 diselenggarakan secara serentak, kini ingin coba dianulir dan ditabrak oleh PDIP.
Wacana penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold menjadi nol persen ditolak mentah-mentah oleh PDIP. Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP menyebut Presidential Threshold penting untuk menguatkan sistem pemerintahan.
Dan nampaknya, rezim yang berkuasa saat ini memang begitu sangat ngotot ingin memberlakukan kembali sistem Presidential Threshold. Sebab saat ini, parpol penguasa beserta koalisinya sangat optimis dapat “bergotong-royong” untuk kembali meraih 20% kursi di DPR atau 25% perolehan suara sah nasional, di mana angka inilah sebagai ambang batas sekaligus syarat pengajuan calon pasangan presiden (Presidential Threshold).
Lalu celah seperti apa yang bisa “dimainkan” oleh parpol penguasa beserta para koalisinya agar sistem Presidential Threshold kembali bisa diberlakukan pada Pemilu 2019?
Entahlah? Yang jelas, MK tentu masih tetap konsisten dengan keputusannya, bahwa Pemilu 2019 diselenggarakan secara serentak. Dan atas putusan tersebut, setiap parpol peserta Pemilu berhak mengusung dan memajukan pasangan capresnya masing-masing.
Bisa dipastikan, bukan hanya rakyat yang menyambut senang hal tersebut, Gerindra sebagai salah satu parpol pun bahkan yang menyatakan mendukung penuh keputusan MK itu.
Melalui Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, menegaskan dasar Partai Gerindra mendukung hal tersebut adalah untuk menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Selain menghindari politik dagang sapi, Arief menilai, dengan setiap parpol bisa mengusung calon presiden dapat membuka kesempatan calon-calon (figur-figur) berkompeten yang selama ini tidak diakomodir oleh partai lama.
“Dasarnya, Gerindra itu mengusulkan dan sangat mendukung kalau setiap parpol itu harus diperbolehkan mengusung capresnya dengan angka threshold zero persen,” ujar Arief.
Arief menilai, sistem Presidential Threshold seperti Pemilu 2014 jika diberlakukan kembali, maka itu sesungguhnya adalah salah satu cara untuk melakukan penghambatan terhadap seseorang yang sebenarnya sangat mampu, sangat bisa, untuk memimpin Indonesia sebagai presiden.
Dikatakannya, kalau setiap partai bisa mendorong (mengusung) sendiri capresnya, maka partai tersebut tidak perlu berkoalisi dan tak perlu bayar mahar atau upeti.
Penghapusan Presidential Threshold, menurut Arief, itu justru adalah salah satu cara untuk menjaga demokrasi Indonesia ini agar tetap bersih dan tidak ada money-politic.
Dan tidak sedikit kalangan pun menilai, bahwa apabila ada parpol yang ngotot ingin mempertahankan sistem Presidential Threshold diberlakukan seperti Pemilu 2014, maka parpol tersebut sudah pasti adalah parpol yang tak ingin terusik dan digeser dari posisi “kenyamanannya” saat ini.
Sebab, apabila setiap parpol peserta Pemilu (gurem maupun pendatang baru) dapat mengusung capresnya masing-masing, maka itu sudah pasti adalah bagian ancaman serius buat parpol-parpol lama yang telah terlanjur merasakan nikmatnya “berselancar” di lingkungan pemerintahan bersama para parpol koalisi.
Dari seluruh penggambaran tersebut, sangatlah jelas terlihat, bahwa apabila Presidential Threshold tetap diberlakukan pada Pemilu 2019 yang memaksa para parpol harus berkoalisi, maka dapat dipastikan ini hanya melahirkan “presiden para parpol koalisi”, bukan kepala negara.