Pers adalah Pewarta, Bukan Pembawa Petaka

Bagikan dengan:

Oleh: Abdul Muis Syam (AMS)
(AMS/Pempred DM1)

DM1.CO.ID, ARTIKEL: JAKOB Oetama selaku pendiri Kompas Gramedia pernah berpesan, “Kemerdekaan Pers jangan hanya mengutamakan freedom from, tetapi juga harus diimbangi freedom for, yaitu kemerdekaan Pers untuk rakyat. Membela kepentingan rakyat sudah jadi naluri dan nurani wartawan di mana-mana.”

Jujur, pesan Jakob Oetama tersebut secara kebetulan menjadi motivasi mencintai profesi sebagai wartawan yang saya tekuni sejak tahun 1990-an. Di samping itu, saya juga punya ideologi (pandangan) dan alasan tersendiri mengapa harus memilih “hidup” sebagai seorang wartawan yang saya yakini sebagai pekerjaan yang sangat mulia itu.

Menurut pandangan saya, bekerja dalam penerbitan media massa ibarat melakukan “pekerjaan seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi”, yakni sama-sama menyebarkan dan menyampaikan “ayat-ayat” kebenaran untuk menjadi manfaat bagi seluruh makhluk.

Bedanya, nabi-nabi menuliskan “kebenaran” itu di dalam sebuah “media” yang disebut kitab, dan para nabi itulah yang bertindak sebagai “pemimpin redaksi” atas kitab masing-masing.

Perbedaan lainnya, para nabi menerbitkan kitab (medianya) hanya dalam sekali periodik penerbitan, selanjutnya akan terus dicetak dalam jumlah oplah yang tak terbatas.

Sedangkan para penerbit media massa (cetak) punya priodik penerbitan yang bervariasi (harian, mingguan, bulanan, dan sebagainya). Ini bukan bermaksud untuk menyejajarkan antara nabi dengan wartawan. Sebab nabi adalah utusan Tuhan, sedangkan wartawan adalah “utusan nurani”. Sehingga sejatinya, nabi dan wartawan adalah sama-sama “pembawa” kebenaran.

Olehnya itu, yang menjadi inti dalam hal ini, yakni sebagai insan Pers ataupun pemilik media massa hendaknya “kokoh dan teguh memberi petunjuk ke arah kebenaran, bukan pembenaran menurut selera dan rekayasa dari kelompok tertentu yang justru akan memunculkan tragedi-tragedi baru yang mengenaskan dan juga menjerat korban-korban yang tak bersalah.”

Jadi, bekerja sebagai insan Pers sesungguhnya memang sangatlah mulia, itu jika dilakukan dengan benar. Sebaliknya, akan menjadi pekerjaan yang sangat dilaknat Tuhan apabila media massa dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melakukan penzaliman terhadap individu atau kelompok yang memperjuangkan kebenaran.

Ada kutipan pesan menarik dari mantan Pemimpin Redaksi Surat Kabar Al-Ahram terbitan Kairo-Mesir, Dr. H. Hassan Albanna, bahwa: “the job of journalist is not for hunting news only, but how to save the people” (tugas utama seorang wartawan sejati, bukan hanya mampu memburu berita, tapi harus juga dapat menyelamatkan orang-orang,– yang teraniaya).

Bahkan mantan Pemred PosKota, H. Sofyan Lubis (almarhum),  pernah secara tegas melontarkan sindiran keras kepada para pemilik media massa agar tidak menyalahgunakan profesinya (kekuasaannya) sebagai insan Pers.

Ia mengatakan, bahwa Pers Indonesia jangan sampai menjadi ‘’centeng’’ (anjing penjaga malam) buat para pejabat rakus, ataupun “pelacur” buat pengusaha yang sekaligus bertindak sebagai penguasa.

Bicara tentang pengusaha yang juga bertindak sebagai penguasa, saya jadi teringat, misalnya, istilah yang diungkapkan dan dipopulerkan oleh seorang aktivis perubahan pro-rakyat, Rizal Ramli, menyebutnya dengan nama “Pengpeng” (Pengusaha-penguasa).

Jika sejumlah Pers Indonesia telah bersekongkol menjadi “anjing penjaga malam buat pejabat rakus, dan bertindak sebagai “pelacur” Pengpeng, maka di situlah wartawan berubah wujud menjadi pembawa petaka, bukan sebagai utusan nurani yang membawa kebenaran.

Padahal, H. Sofyan Lubis yang juga mantan Ketua Umum PWI Pusat itu mengajak Pers Nasional agar tidak segan-segan menjalankan kontrol sosial dengan tajam, transparan, akurat namun berimbang.

Karena katanya, Pers juga berfungsi sebagai pengawal nilai-nilai kebenaran, bukan pelindung kejahatan terselubung, atau menjadi alat propaganda yang bombastis, sesat dan menyesatkan informasi yang hakiki.

Cover both side dan croos check, buat menjaga kemuliaan sejati seorang wartawan, adalah hendaknya wajib dijadikan sebuah prinsip untuk tetap dijunjung tinggi dan dipertahankan. Sehingga, nantinya tidak melahirkan opini keliru, dimana seringkali ‘bernaung’ di bawah ketiak pemilik sebuah media raksasa.

Suatu berita yang tidak memenuhi prinsip cover both side yang disusun oleh jurnalis tidak ada bedanya membangun reality in imagination (kenyataan dalam imajinasi), bukan real in reality (nyata dalam kenyataan).

Berita yang disusun berdasar reality in imagination rata-rata lebih merupakan pekerjaan kehumasan, bukan jurnalistik.

Sehingganya, jika suatu media banyak gagal melakukan cover both side karena mungkin media tersebut sangat sulit lepas dan bebas dari kepentingan pemilik yang memihak pada kelompok tertentu, maka media massa tersebut hanya sebatas sebagai media pengawal aspirasi dan penyambung lidah sang pemilik. Dan media seperti ini lebih pantas dinamai sebagai media humas yang bertugas hanya untuk memenuhi kepentingan pemilik.

Padahal, bila peran dan fungsi media massa atau Pers bila dilaksanakan dengan benar, maka akan membawa manfaat dan kemajuan besar yang sangat dahsyat bagi negeri ini.

Saya justru membayangkan, betapa dahsyatnya jika para pemilik media dapat bersatu dan kompak untuk tidak memberitakan atau menulis “ide-ide” dari oknum-oknum pejabat pemerintahan atau siapa saja yang nyata-nyata telah terindikasi melakukan pelanggaran, baik sebagai koruptor maupun kejahatan-kejahatan lainnya, termasuk berbohong dan ingkar janji kepada rakyat.

Sebagai kesimpulan dari saya, bahwa suatu negara yang dianggap telah rusak sebenarnya masih bisa menjadi baik (bahkan maju dan berkembang) apabila negara tersebut mendapat “asuhan” dari elite-elite dan juga media-media massa yang baik dengan berani tampil dalam membela kepentingan umum.

Sebaliknya, Elite-elite dan juga media-media massa yang dianggap telah “rusak” (mental dan moralnya) karena melakukan kegiatan yang merugikan bangsa dan negara hanya akan melahirkan generasi-generasi yang rusak pula, salah satunya rusak karena “melacur” (menjual diri, bangsa dan negaranya) demi kepentingan kelompok tertentu.

Akhirnya, saya ucapkan, selamat Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2017 yang ke-69. Semoga Pers Nasional di negeri ini dapat menjadi the power of people, dan bukan menjadi “tombol-tombol remote” penghancur kebenaran di tangan rezim yang zalim. Maka jadilah pewarta, bukan pembawa petaka, yakni dengan tidak menyajikan berita-berita yang hanya memuaskan “nafsu” sang penguasa yang serakah, angkuh dan otoriter. 

(ams/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

2,085 views

Next Post

Faisal Sebut Rini Sumber Masalah, Kenapa Nggak Diganti? Mahfud MD pun Heran

Sel Feb 7 , 2017
DM1.CO.ID, JAKARTA: Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, saat ini menjadi sumber permasalahan dari kekusutan perusahaan plat merah di negeri ini.