Pak Jokowi, Anda Diberi “Makan” Apa Oleh Ahok?

Bagikan dengan:
Oleh: Abdul Muis Syam (AMS)
AMS (Pempred DM1)

SEJAK dulu, Jokowi sebetulnya tak pernah saya idolakan, apalagi untuk mau menjadikannya sebagai panutan. Untuk saat ini, tidak sama sekali!

Tapi meski begitu, karena menurut hasil perhitungan KPU, Jokowi dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2014 silam, maka sebagai warga negara saya pun mencoba “tunduk” dengan tetap menerima Jokowi sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia (RI).

Tentu saja dengan untain doa dan pengharapan seperti yang dilantungkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia,  yakni: semoga dengan Jokowi sebagai presiden,  Indonesia bisa benar-benar tenteram, makmur, aman dan damai sebagaimana yang dijanjikannya dalam kampanye.

Bukti doa dan pengharapan saya terhadap Jokowi tersebut bahkan sengaja kutandai secara khusus dengan sebuah “acara”. Yakni, dengan memilih hari pelantikan Jokowi selaku Presiden RI tanggal 20 Oktober 2014 sebagai pula hari pernikahanku yang kedua (karena istri pertama saya meninggal bersama bayi saya akibat pendarahan seusai melahirkan di rumah sakit).

Dan jujur sekali lagi, meski saya tidak mengidolakan Jokowi, tetapi saya sempat mengajak tetamu dan undangan (dalam resepsi pernikahanku pada tanggal 20 Oktober 2014 itu) untuk sama-sama mendoakan Jokowi agar menjadi presiden yang dapat melayani dan memperlakukan secara adil (sesuai undang-undang/konstitusi) seluruh rakyat Indonesia guna mencapai ketenteraman, kenyamanan, dan kemakmuran dalam kesejahteraan.

Namun sayang sungguh disayang, doa dan pengharapan rakyat (terutama wong cilik) itu pun saat ini tiba-tiba menguap bagai embun pagi yang sirna diterpa panas sang surya, “sepanas kondisi” politik serta ekonomi yang pula kian membara dan membakar tatanan sosial. Di mana-mana rakyat kecil  pun makin menjerit.

Lihat saja, sejak awal usai dilantik jadi presiden, Jokowi malah sudah langsung “membantai” wong cilik. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik dinaikkan secara membabi-buta (subsidi dicabut), sehingga harga-harga kebutuhan pokok pun “mencekik leher” rakyat lemah.

Sungguh, selama Jokowi “menjelma” jadi presiden, belum ada kesejukan dan kenyamanan yang dapat dirasakan oleh wong cilik,– sekali lagi wong cilik. Sejauh ini, yang merasakan kesejukan dan kenyamanan hanyalah segelintir kelompok-kelompok penjilat, kaum munafiqun yang sesat dan menyesatkan, serta sejumlah kaum intelektual yang tadinya idealis dan tajam kini jadi fatalis yang tumpul. Mereka-mereka inilah yang layak disebut tikus-tikus got dan lalat-lalat kotor yang sedang mengerumuni “sampah”, mereka ikut menjelma jadi “pedansa” yang mahir menari-nari di atas penderitaan rakyat.

Tak cukup hanya dengan “membantai” wong cilik dengan menaikkan harga BBM dan tarif listrik, rezim yang “berbaju” Nawacita dan “berkalung” Trisakti itu nampaknya hanya menjadikan Nawacita serta Trisakti tersebut sebagai “perisai” dan “jimat” untuk melindungi kaum neo-kapitalis beserta neo-kolonialis, seperti para 9 naga bersama Ahok. Sungguh, mereka telah berhasil berkolaborasi secara sempurna untuk kembali menjajah dan menguasai negeri ini. Dan, pribumi pun terkapar dan tak berdaya.

Coba saksikan sendiri, betapa Ahok (Warga Negara Indonesia keturunan Cina itu) tiba-tiba mampu menjelma menjadi “sakti mandraguna”, kalau si Pitung masih hidup bisa dipastikan juga ikut KO.

Saking “saktinya”, sejumlah netizen pun pernah memunculkan sebuah penggambaran tentang Ahok. Bahwa, jika dulu ada pahlawan nasional bernama Pangeran Diponegoro yang hebat dan gagah berani melawan penjajah, maka sekarang ada Ahok si Pangeran Dipodomoro yang hebat dan sakti karena mampu “menaklukkan dan menundukkan” Jokowi selaku presiden.

Bayangkan saking “saktinya” Ahok, sampai-sampai Ahok kelihatannya sangat kebal hukum sehingga bisa melakukan apa saja (bersikap dan bertutur) dengan seenak perutnya. Tengok saja sederetan dugaan kasus korupsi yang melibatkan dirinya, semuanya “aman”. Ucapan atau kata-kata yang sangat kasar dan kotor, semuanya pun “aman”. Juga sejumlah proyek-proyeknya yang bermasalah (seperti Reklamasi Teluk Jakarta), semuanya “Timor Kupang Ambon”.

Dan saking “hebatnya” Ahok, sampai-sampai Jokowi dan Tito (Kapolri) seolah sangat tunduk kepada Ahok. Seolah apapun yang diinginkan Ahok, Jokowi dan Tito langsung “86”. Bahkan meski melanggar dan menabrak undang-undang (konstitusi) pun, Jokowi siap memenuhi dan melayani “titah paduka” Pangeran Dipodomoro itu.

Misalnya, meski publik beserta para pakar hukum sekelas Prof. Mahfud MD sudah menegaskan bahwa Jokowi dipastikan melanggar undang-undang jika kembali mengangkat Ahok sebagai Gubernur seusai cuti kampanye, nyatanya Jokowi maju tak gentar dan pantang mundur (meski tanpa dasar dan landasan hukum yang jelas) tetap juga kembali mengangkat Ahok sebagai Gubernur DKI.

Selain Mahfud MD, juga ada Asep Warlan seorang Pakar hukum tata negara yang turut memperingatkan Jokowi. Ia mengatakan bahwa, Ahok seharusnya diberhentikan dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Sebab, jika mengacu pada UU Pemda, ketika seorang kepada daerah berstatus terdakwa, maka sudah semestinya diberhentikan sementara.

”Tapi Mendagri menafsirkan harus ada putusan, tapi hemat saya terdakwa, bukan inkrah. Contohnya Ratu Atut (mantan Gubernur Banten), tersangka diberhentikan. Ojang Sohandi (mantan bupati Subang) juga begitu,” ujar Asep, Jumat (10/2/2017).

Jadi, menurut Asep, pemberhentian sementara bukan dilihat pada kasusnya, tapi dilihat dari status terdakwa dan dakwaannya. Begitu juga soal penahanan seorang tersangka, jika ancaman hukuman pidananya di atas lima tahun maka harus ditahan.

Karena itu, Asep menilai, status Ahok bergantung pada hakim, pasal mana yang akan digunakan. Sementara, Mendagri melihat dari dua aspek. Pertama, saat pilkada, seorang kepala daerah tidak boleh diberhentikan, agar pembangunan tidak berhenti. Kedua, Mendagri menyatakan menunggu vonis hakim terlebih dahulu.

Namun di mata publik dan para pakar hukum memandang, bahwa alasan yang dikemukakan oleh Mendagri itu sungguh sangat ngawur. Bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi juga menyakiti hati rakyat yang selalu disikapi “tajam” di hadapan hukum.

”Ini tidak fair, diskriminatif. Lihat bagaimana Atut di Banten, Subang juga. Belum divonis sudah diberhentikan. Jadi di negeri ini mah bergantung penguasa. Mudah-mudahan dengan tekanan publik mendagri memperlakukan Ahok sama dengan yang lain,” kata dia.

Tetapi apa yang ditegaskan oleh Mahfud MD dan Asep Warlan, nyatanya tidak membuat Jokowi apalagi Ahok untuk segera kembali berjalan di atas roda pemerintahan yang benar, yakni dengan tunduk kepada sumpah dan janji sebagai pejabat negara dalam menjalankan kekuasaan dari rakyat dan untuk rakyat. Bukan hanya untuk elite dan kelompok tertentu saja!

Tapi nyatanya, Ahok semakin berulah. Coba perhatikan, dalam statusnya sebagai terdakwa saja, Ahok masih nampak sangat arogan, mengancam ulama, misalnya. Ia merasa dirinya paling benar dan suci, padahal agamanya pun sempat ia kerdilkan apalagi cuma lembaran undang-undang negara buatan manusia.

Buktinya, saat memberi sambutan pada hari pengangkatannya kembali sebagai Gubernur DKI, Ahok seolah dalam keadaan “mabok” berceloteh, bahwa memilih karena pertimbangan agama adalah melawan konstitusi.

Untuk siapakah celoteh seperti itu? Dan apakah Ahok tidak sadar bahwa sejauh ini tak ada satupun ayat dalam undang-undang yang mendukung celotehnya itu? Atau mungkin itu cara Ahok membela (atau menutupi) diri terhadap pengangkatannya kembali sebagai Gubernur DKI yang justru secara terang benderang melawan konstitusi (undang-undang)?

Menanggapi hal tersebut Rizal Ramli pun mengingatkan, bahwa setiap orang bebas memilih siapapun dan apapun alasannya tidaklah melanggar konstitusi.

Ia pun setuju jika Ahok disebut ngawur berat jika mengatakan memilih berdasarkan agama adalah melanggar konstitusi. “Ini orang (Ahok) kok ndak kapok-kapok, saenake dewe,” ujar Rizal Ramli.

Jadi, jika rezim ini tetap memamerkan keberpihakannya yang sangat istimewa kepada seorang Ahok Cs, maka ini bukan hanya membuat seorang presiden kehilangan “kemaluan” (kehormatan), tetapi juga sama halnya membuat Jokowi melakukan langkah “bunuh diri”.

Ini kemudian memunculkan pertanyaan. Mengapa Jokowi begitu sangat berani mempertaruhkan kehormatannya sebagai presiden hanya untuk membela seorang Ahok?

Padahal, seorang presiden yang sudah nyata-nyata mempersembahkan hasil dan prestasi luar biasa saja belum tentu ingin “mentang-mentang” seberani itu menabrak undang-undang, apalagi memang publik belum melihat kinerja yang dapat dinilai sebagai prestasi luar biasa dari seorang Jokowi selama menjabat presiden.

Bahkan sebaliknya, kondisi kinerja rezim Jokowi hingga saat ini sungguh teramat memprihatinkan, pertumbuhan ekonominya saja cuma mampu disulam 5,01%. Sekarang malah membebankan Menko Perekonomian serta Menteri Keuangan (Menkeu) yang neolib itu untuk mematok 5,7%.

Padahal sebelumnya mereka (Menko Perekonomian dan Menkeu) hanya mematok target 5,1%. Apakah Jokowi sudah mempertimbangkan kemampuannya untuk bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi 5,7%? Wong untuk menyumbat “mulut” satu orang terdakwa kasus dugaan penistaan agama saja tidak mampu?! Jadi apa yang membuat Jokowi merasa “pede”?

Padahal kini norma agama, kesusilaan, dan bahkan norma hukum yang harusnya dipelihara dan dijaga oleh Jokowi selaku presiden, malah dibiarkan jadi “pengalas kaki” Ahok.

Maaf, saya cuma ingin bertanya ke Presiden dan Kapolri: Anda diberi “Makan” apa oleh Ahok?

Dan maaf sekali lagi, saya bertanya begitu karena saya pernah diberitahu oleh seseorang pakar ikan hias. Ia mengatakan, jika ingin membuat warna terang dan berkilau pada kulit ikan Mas Koki di aquarium, maka berikan makanan yang cocok dan tepat.

(ams/DM1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

7,033 views

Next Post

Ini Hasil “Pemanasan” Terobosan Rizal Ramli: Wisatawan di NTT Tembus 1 Juta

Sel Feb 14 , 2017
DM1.CO.ID, JAKARTA: Meski hanya sekitar setahun menjabat Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya, namun tidak sedikit terobosan yang dapat dimunculkan dan berhasil dilakukan oleh Rizal Ramli. Salah satunya adalah terobosan kemajuan di dunia pariwisata.