Menakar Legalitas & Legitimasi “Sekda” Sherman Moridu

Bagikan dengan:

Oleh : Herman Muhidin*

DM1.CO.ID, OPINI: Legalitas Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Boalemo sedang ramai diperbincangkan di tengah-tengah publik, bahkan dipersoalkan oleh hampir seluruh anggota DPRD Boalemo.

Hal ini berkaitan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pemberhentian sementara Darwis Moridu dari jabatannya selaku Bupati Boalemo, yang berlaku surut  terhitung sejak 7 September 2020, lantaran telah berstatus terdakwa pada kasus penganiayaan dengan ancaman paling singkat 5 tahun penjara.

Kemudian diketahui, Sherman Moridu dilantik sebagai Sekda pada 9 Oktober 2020. Dan di sinilah sumber permasalahan tersebut. Pertanyaannya, apakah Sherman Moridu memiliki legalitas sebagai Sekda?

Jika pada akhirnya jabatan yang disandangnya itu tidak sah atau dibatalkan oleh Mendagri, maka bagaimana dengan khawatiran sejumlah anggota DPRD Boalemo yang menilai, bahwa APBD 2021 bisa ikut dibatalkan karena posisi Sherman yang juga selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dianggap tidak sah.

Persoalan legalitas Sherman Moridu harus mendapat kejelasan, agar tidak menimbulkan akibat hukum yang bisa berakibat pada APBD. APBD itu lokomotif ekonomi daerah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Jika APBD stagnan atau mengendap berbulan-bulan di BPD tidak dibelanjakan karena sekda yang ex-officio sebagai ketua TAPD tidak legal, sudah pasti  serapan anggaran atau belanja pemerintah berpotensi melahirkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) pada APBD 2021.

Jika mayoritas wakil rakyat mengajukan interupsi saat sidang pembahasan RAPBD 2021, itu pertanda bahwa interupsi itu bukan hanya berkaitan dengan legalitas Sherman Moridu sebagai Sekda yang disoal, tetapi  sesungguhnya Sherman Moridu sekaligus dipandang oleh anggota DPRD sudah tidak memiliki lagi legitimasi sebagai Sekda.

Legalitas tanpa legitimasi, membuat pemerintahan tidak efektif karena pejabat yang tidak memiliki legitimasi itu tidak mampu mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang mengikat ASN. Artinya, Sekda tidak diterima dan tidak diakui untuk memimpin ASN. Ketika Sekda sebagai pemimpin ASN tidak diakui eksistensinya, bagaimana bisa mesin birokrasi diharapkan bisa berjalan baik, dengan permasalahan-permasalahan yang muncul tentunya jadi sulit diatasi dengan cepat?

Di dalam Pasal 214 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, mengatur bahwa bupati/walikota mengangkat pejabat Sekda setelah mendapat persetujuan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Namun tanggal pelantikan Sherman Moridu pada 9 Oktober 2020 menjadi soal, karena Bupati Boalemo Darwis Moridu berdasarkan SK Mendagri tentang pemberhentian sementara Bupati Boalemo terhitung sejak tanggal 7 September 2020. Artinya, Sherman Moridu dilantik dalam situasi setelah diketahui bahwa Darwis Moridu ternyata sudah berstatus non-aktif, sehingga secara prosedural tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 214 Ayat (2) UU No. 23/2014 Tentang  Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), bupati/walikota itu sebagai pejabat pembina kepegawaian, memiliki kewenangan penuh dalam mengangkat pejabat birokrasi di lingkungan Pemda.

Kewenangan ini merupakan kewenangan atribusi  yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, karena kewenangan ini didapatkan langsung dari presiden berdasarkan Perpres No. 3 Tahun 2018 tentang Pejabat Sekretaris Daerah, Pasal 5 Ayat (2). Namun sekali lagi, ketentuan ini hanya berlaku dalam situasi normal atau di saat bupati tidak dalam kondisi status non-aktif.

Menyimak pernyataan Kasubdit Otonomi Daerah Wilayah Sulawesi Dr. Saidiman kepada Anas Jusuf  selaku Plt Bupati Boalemo, saat berkunjung ke Kemendagri, disampaikan agar segera melakukan perbaikan administrasi tentang pelantikan Sekretaris Daerah maupun pelantikan pejabat lainnya yang sudah dilakukan Bupati Boalemo Darwis setelah tanggal 7 September 2020. Apa makna dari kata “perbaikan administrasi” yang dilontarkan Dr. Saidiman dalam penjelasan khususnya? Bisakah diinterpretasi, bahwa pejabat Kemendagri itu meminta Plt Bupati Boalemo agar segera mengusulkan ulang calon Sekda ke Gubernur Gorontalo?, demikian juga dengan pejabat lain yang sebelumnya sudah dilantik untuk ditinjau ulang, kemudian dilantik lagi oleh bupati aktif!?

Legitimasi itu secara filosofi jauh lebih substansi dibandingkan dengan legalitas, tetapi sangat ideal jika selain memiliki legalitas, ada juga melekat legitimasinya. Contohnya, tokoh masyarakat atau tokoh agama, itu tidak punya legalitas formal, tetapi mereka mendapat legitimasi yang sangat kuat dari masyarakat, mereka mendapat pengakuan atas keilmuan dan nasihatnya yang didengar dan ditaati oleh masyarakat. Jika pejabat publik setingkat Sekda legalitasnya sedang dipersoalkan oleh wakil rakyat, maka itu berarti secara bersamaan legitimasinya sedang “runtuh”.

*(Penulis adalah pemerhati Hukum, Sosial dan Politik)

—————-

Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.

Bagikan dengan:

Muis Syam

62,400 views

Next Post

Dana Santunan Dampak Sosial Bendungan Ladongi Siap Dibayarkan Kepada 51 Penggarap

Jum Des 4 , 2020
DM1.CO.ID, KOLAKA TIMUR: Perjalanan pembayaran santunan sosial terhadap 51 warga Kecamatan Ladongi, Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) memakan waktu yang begitu panjang. Bahkan dalam prosesnya sempat diwarnai dengan berbagai macam protes hingga nyaris berujung ricuh antara warga dengan aparat kepolisian.