DM1.CO.ID, JAKARTA: Perusahaan minyak dan gas bumi (migas), baik internasional maupun lokal, mengerem produksi dan ekspansi usahanya. Ini adalah akibat terpaan harga minyak yang rendah sejak beberapa tahun terakhir, yang pula menimbulkan efek domino di Indonesia.
Dampak lanjutannya, tidak sedikit perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawannya. Dan demi menyambung hidup, para pekerja migas yang terkena PHK itupun banting setir melakoni profesi baru.
Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Rusalida Raguwanti mengatakan, sejumlah pekerja di industri migas beralih profesi ke berbagai sektor usaha. Ada yang menyeberang ke sektor perbankan, asuransi, organisasi non-profit tanpa adanya gaji tetap, hingga membuka usaha jual-beli barang secara daring.
“Ini satu fakta. Ada yang ke bisnis online karena perusahaannya tutup,” ungkap Rusalida dalam satu sesi acara pertemuan para pelaku industri migas, Indonesia Petroleum Association (IPA) Convention & Exhibition ke-41 di Jakarta, Jumat (19/5/2017).
Hal swrupa juga dikatakan Ketua Umum Indonesian Society of Petroleum Geologist (ISPG-IAGI), Julianta P. Panjaitan. Ia mengatakan, dorongan ekonomi membuat para pekerja beralih ke sektor non-migas. “Ini lagi-lagi karena tuntutan ekonomi,” ujar dia.
Rendahnya harga minyak juga sangat berpengaruh terhadap serapan tenaga kerja di sektor migas. Dari 1.000 lulusan geologi di 33 universitas di Indonesia, tak sampai 10 persen yang mampu terserap di industri minyak dan gas bumi.
Julianta mengaku belum tahu kondisi seperti ini bisa kembali normal. “Ini harga minyak up and down. Sampai kapan? Ya, tidak tahu,” tuturnya.
Namun Julianta membeberkan, bahwa pihaknya telah memberikan masukan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengaktifkan kembali komite tertentu sektor migas. Komite ini bisa membuka peluang bagi para alumni lulusan geologi untuk bekerja. Salah satu contohnya adalah Komite Eksplorasi Nasional (KEN).
Di sisi lain, Julianta menyoroti gross split yang menjadi skema baru kontrak migas saat ini. Skema ini, menurutnya, bisa membuat Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam negeri tidak bisa sepenuhnya dimanfaatkan oleh perusahaan migas. Penyebabnya, para perusahaan migas cenderung mencari pekerja tertentu sesuai kondisi keuangannya.
Persoalan yang sama juga disoroti oleh Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), Tutuka Ariadji. Ia menggambarkan, situasi setelah lulus, para alumni jurusan Teknik Perminyakan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan pekerjaan di sektor migas.
Bahkan, masih ada lulusan teknik perminyakan yang sudah lulus sejak beberapa tahun lalu hingga kini belum juga mendapatkan pekerjaan di sektor migas.
“Tiga puluh persen dari alumni kami masih waiting for the first job, beberapa yang sudah menjadi karyawan memilih resign dan mencari pekerjaan lain,” ungkap Tutuka.
Sementara itu, Direktur IPA Tenny Wibowo mengatakan, universitas sudah seharusnya membuat alumni dari jurusan sektor migas mengajarkan kemampuan yang baik. Dengan begitu, ketika lulus sudah siap menghadapi persaingan global. “Jadi jangan cuma kerja lapangan, kunjungan praktik saja. Harus ada soft skill,” kata dia.
(ktd-dbs/DM1)