KPK Kembali Bidik Megawati dalam Kasus BLBI, Jokowi “Pasang Badan”

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Setelah lama mengendap, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membuka ulang kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dan pada kasus ini, KPK kembali membidik Megawati sehingga memancing reaksi sejumlah pihak tertentu, tak terkecuali Jokowi.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) sebesar Rp.147,7 Triliun, yang disalurkan pada Desember 1998 oleh Bank Indonesia kepada 48 bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.

Skema ini dilakukan atas petunjuk dan arahan IMF yang kemudian disepakati dalam bentuk perjanjian dengan pemerintah Indonesia. Namun belakangan, justru inilah yang kemudian membuat situasi ekonomi dalam negeri makin parah, dan bahkan menimbulkan masalah-masalah lain yang lebih rumit.

Sesuai audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut, ditemui dan disimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp.138 Triliun. Dan penyimpangan ini meruncing menjadi sebuah kasus akibat diterbitkannya Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh Presiden Megawati kepada sejumlah obligor, kendati obligor tersebut belum benar-benar melunasi kewajibannya.

Dalam proses kembali penanganan kasus BLBI ini, KPK telah menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin A. Tumenggung di era Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai tersangka.

Dan pasca penetapan tersangka Syafruddin A. Tumenggung, KPK pun kemudian kembali membidik Inpres yang dikeluarkan Megawati terkait SKL tersebut.

KPK menilai penerbitan Inpres oleh Megawati bisa saja diindikasikan sebagai tindak korupsi apabila dalam penerbitannya ada sesuatu yang melanggar Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Kebijakan bisa saja terindikasi tindak pidana korupsi, apabila dalam proses berjalannya kebijakan itu ada sesuatu manfaat yang diperoleh untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain,” ujar Wakil K KPK, Basaria Panjaitan.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo langsung pasang badan dan membela Megawati dengan menegaskan bahwa Inpres adalah kebijakan, bukan pelaksanaan.

“Bedakan mana kebijakan dan mana pelaksanaan. Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden adalah kebijakan, bukan pelaksanaan,” ujar Presiden Joko Widodo kepada wartawan di Inacraft, Jakarta Convention Center, Rabu (26/4/2017).

SKL BLBI dikeluarkan Presiden Megawati lewat Inpres No.8 Tahun 2002. Inpres itu diterbitkan untuk memberikan jaminan hukum kepada debitur yang dianggap menyelesaikan kewajibannya membayar BLBI.

Dalam pertimbangannya, Inpres tersebut dikeluarkan berdasarkan pada ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham).

Dalam Inpres itu juga antara lain disebutkan, bahwa kepada para debitur yang menyelesaikan kewajiban pemegang saham, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum.

Jokowi menambahkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Megawati kala itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Jadi, menurut Jokowi, tidak bisa langsung dikaitkan dengan dugaan korupsi yang ada.

“Lebih detilnya, tanyakan ke KPK lagi,” lontarnya.

Selasa kemarin KPK menetapkan Syafruddin A. Temenggung sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Tersangka Syafruddin A. Tumenggung selaku Kepala BPPN pada 2002 diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,” ujar Basaria.

Menurut Basaria, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup atau dua alat bukti dalam pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham, yang dalam hal ini Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia pada 2004.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan pada jumpa pers di Gedung KPKJakarta, Selasa (25/4/2017), menjelaskan, kerugian negara terjadi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim tersebut.

“SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligator BLBI kepada BPPN,” tutur Basaria.

Dikatakannya, pada tahun 2002, Syafrudin selaku Kepala BPPN mengusulkan untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

Kemudian, terjadi perubahan proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor sebesar Rp.4,8 Triliun.

Hasilnya, restrukturisasi aset Sjamsul Nursalim sebesar Rp.1,1 Triliun.
Sementara, terdapat Rp.3,7 Triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi.

“Sehingga, seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp.3,7 Triliun yang masih belum ditagihkan,” jelas Basaria.

Namun, meski terjadi kekurangan tagihan, Syafrudin pada April 2004 tetap mengeluarkan SKL terhadap Sjamsul Nursalim atas semua kewajibannya pada BPPN.

Sejak dua tahun lalu, KPK menduga ada masalah dalam proses penerbitan SKL kepada sejumlah obligor tersebut.

(dbs/DM1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

3,653 views

Next Post

Sambut HUT, RSTN Boalemo Gelar Berbagai Lomba

Sab Apr 29 , 2017
Wartawan: Kisman Abubakar Editor: AMS DM1.CO.ID, TILAMUTA: Setiap tanggal 2 Mei, Rumah Sakit Tani dan Nelayan (RSTN) Kabupaten Boalemo bertambah usia. Dan tahun ini, RSTN yang terletak di Tilamuta (ibukota Kabupaten Boalemo) itu kini akan memasuki usia yang ke-12 tahun, pada Selasa (2 Mei 2017).