Oleh: Abdul Muis Syam
KARENA jurus “Rajawali Ngepret” Rizal Ramli saat berada dalam Kabinet Kerja dianggap sebuah kegaduhan, hingga harus tersingkir, membuat tidak sedikit kekacauan di negeri kita saat ini benar-benar kacau-balau.
Coba kalau seandainya yang “dikepret” oleh Rizal Ramli saat itu bisa ditanggapi (ditangani) dengan baik oleh Presiden Jokowi, maka kekacauan saat ini tentu tidak akan terjadi, –sekali lagi, tidak akan terjadi–, hingga serumit ini.
Mari kita me-review kembali apa-apa yang telah “dikepret” oleh Rizal Ramli semasa menunaikan amanah (menurut bahasa Jokowi: permintaan dari rakyat) sebagai Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya. Berikut yang pernah dikepret Rizal Ramli :
Pertama, “mengepret” Menteri BUMN melalui Garuda Indonesia agar tidak membuang-buang uang negara hanya untuk membeli 30 unit pesawat Airbus A 350 XWB . Rizal Ramli memperingatkan lebih baik fokus memperkuat jalur penerbangan domestik dan regional daripada membeli 30 unit pesawat untuk jalur penerbangan internasional.
Kedua, Rizal Ramli “mengepret” PT. PLN yang diduga kental dengan permainan “mafia pulsa listrik.” Saat itu Rizal Ramli mendesak sistem listrik prabayar dapat diperbaiki agar tidak membebani dan memeras rakyat (pelanggan).
Ketiga, Rizal Ramli “mengepret” Menteri ESDM Sudirman Said sekaligus Wapres Jusuf Kalla agar sebaiknya mengevaluasi kebijakan listrik 35.000 MW karena dianggap terlalu ambisius dan tidak rasional.
Keempat, Rizal Ramli “mengepret” dan mendesak dengan tegas PT. Freeport Indonesia (PT. FI) agar menjalankan bisnis pertambangan di Papua secara fair. Ini kemudian tak diduga tiba-iba memunculkan “perang antar-geng, papa minta saham.”
Kelima, Rizal Ramli “mengepret” kinerja buruk RJ. Lino yang ketika itu selaku Dirut Pelindo 2.
Keenam, Rizal Ramli “mengepret” Ahok yang sangat ngotot melanjutkan mega proyek reklamasi teluk Jakarta. Banyak alasan mengapa Rizal Ramli harus menolak reklamasi tersebut. Selain untuk menyelamatkan penghidupan para nelayan di Teluk Jakarta, Rizal Ramli juga bersikukuh menolak reklamasi karena pula tak ingin warga DKI Jakarta secara terus-menerus jadi korban akibat dilanda banjir ketika curah hujan tinggi.
Dari enam hal yang dikepret Rizal Ramli tersebut, hanya terdapat dua hal yang kini mencuat sebagai masalah besar yang sangat sulit diatasi oleh pemerintah, sehingga terus membengkak menjadi persoalan yang sangat rumit. Sebab, kedua masalah itu adalah masalah “tingkat tinggi yang berada di lahan basah”, yakni masalah Freeport dan persoalan Reklamasi Teluk Jakarta.
Mengapa hanya masalah Freeport dan Reklamasi? Jawabnya tentulah sangat mudah ditebak dan tak perlu melibatkan analisis tajam dan mendalam, orang Gorontalo bilang: “sangat kontara di koning (kentara terlihat di kening)”
Yaitu, karena kedua hal tersebut (Freeport dan Reklamasi Teluk Jakarta) memang kelihatannya sangat dipenuhi dengan “gula”. Ya istilahnya: di mana ada gula, di situ ada semut.
Jika kedua masalah itu “ditangani” secara ugal-ugalan, dengan kecenderungannya hanya untuk skala kepentingan politik kelompok-kelompok pemangku kekuasaan saat ini, maka rakyat tidak akan pernah merasakan manisnya “gula” dari urusan Freeport dan masalah Reklamasi tersebut, melainkan hanya sepotong kecil “tulang kering”.
Sebab jika kedua masalah ini ditangani secara ugal-ugalan (cenderung hanya untuk memuaskan kepentingan politik kelompok tertentu), maka tanpa di sadari, itu hanya berpeluang membuat negara ini jatuh ke tangan para penjajah melalui cara-cara neo-kolonialisme yang mengandalkan jalur neo-kapitalis.
Andai Rizal Ramli mau melakukan penanganan secara ugal-ugalan terhadap urusan Freeport, maka itu sudah ia lakukan jauh sebelumnya.
Yakni, ketika menjadi Menko Perekonomian, Rizal Ramli pernah coba disogok oleh James Moffett selaku Chief Executive Officer PT Freeport-McMoran.
Saat itu, tahun 2000 Rizal Ramli adalah pula sebagai ketua tim negosiasi kontrak Freeport dengan anggota mantan Menteri Luar Negeri Alwi Sihab dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
James Moffett ketika itu bermaksud menyogok Rizal Ramli dengan berkata, “Rizal Ramli, we are ready to pay the government of Indonesia US$ 3 billion, tapi tolong lupakan sejarah perpanjangan kontrak 1980-an.”
Bukan cuma ingin menyogok dalam bentuk uang, JamesMoffet juga membujuk untuk memberi service dan kenyamanan buat Rizal Ramli dengan mengatakan, “Lain kali jangan bertemu (rapat) di hotel Mahakam yang jelek ini. Kita (bisa) ketemu di tempat orang kaya Amerika Serikat, di Colorado. Saya tahu, Anda senang dengan musik klasik, dan broadway. Kalau Anda ke sana, Anda bisa pakai pesawat jet saya.”
Mendengar ocehan James Moffet yang bermaksud menyogok dengan merayu dirinya seperti itu, di mana Rizal Ramli menyerap cara-cara James Moffet tersebut merupakan penghinaan yang luar biasa, bukan hanya kepada dirinya tetapi juga kepada negara, sehingga Rizal Ramli pun langsung menggebrak meja dan berkata, “Anda pikir saya ini pejabat negara apa?”
Sikap tegas Rizal Ramli yang menghadirkan negara dalam setiap permasalah yang dihadapi dalam “bentuk” menggebrak meja bukan cuma kali itu ditunjukkannya sebagai bukti perlawanannya terhadap para “bandit” dan “begal” berdasi di negeri ini.
Pada Rabu (4 Mei 2016), Rizal Ramli kembali geram. “Bilang sama Podomoro (pengembang properti Agung Podomoro), jangan ada yang sok jago di sini. Saya tidak takut,” bentak Rizal Ramli sambil menggebrak meja, saat berdialog dengan nelayan, di Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta.
Rizal Ramli ketika itu geram kepada pengembang reklamasi Pulau G Teluk Jakarta, PT Muara Wisesa Samudra, karena ia mendapat laporan bahwa pihak pengembang tersebut melarang petugas kementerian melakukan pengawasan.
“Mau jadi apa negara ini kalau segala sesuatunya diatur dan mengikuti kemauan swasta?” lontar Rizal Ramli di dampingi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya; serta Ahok selaku Gubernur DKI ketika itu.
Namun kini, di saat Rizal Ramli tak lagi di dalam Kabinet Kerja, dua hal (Freeport dan Reklamasi Teluk Jakarta) itu kini terus membengkak menjadi sebuah kekacauan di negeri ini. Freeport semakin menjadi-jadi dengan memberi waktu (120 hari) bagi Presiden Jokowi untuk patuhi Kontrak Karya. “Freeport betul-betul kurang ajar,” lontar Rizal Ramli, Senin (21/2/2017).
Begitu pun dengan masalah Reklamasi Teluk Jakarta yang juga terus memunculkan cabang-cabang persoalan yang dilakoni oleh Ahok. Mulai dari kasus dugaan penistaan agama, reklmasi yang kini berdampak banjir, hingga pada tutur katanya yang makin hari semakin kasar dan tak terkendali dengan menghina dan mengancam ulama.
Freeport dan Ahok (reklamasi, banjir, dugaan penistaan agama, mulut lancang, dll) adalah dua persoalan persoalan yang benar-benar telah menyedot banyak energi bangsa ini. Padahal, jika Presiden Jokowi tidak “menyepelekan” jurus Rajawali ngepret dan Rajawali Bangkit dari Rizal Ramli, maka persoalan Freeport dan Ahok itu bisa dipastikan tidak akan menjadi masalah serumit seperti saat ini.
Khusus mengenai Ahok. Dengan tersingkirnya Rizal Ramli dari Kabinet, itu nampak sekali membuat Ahok semakin angkuh, seolah-olah berkata: “Tak ada satupun yang bisa berani melawan saya, termasuk presiden sekali pun. Jika berani, maka nasibnya sama dengan Rizal Ramli.”
Inilah kiranya kemudian yang membuat Jokowi selaku presiden sepertinya begitu sangat membela Ahok, sampai-sampai konstitusi (hukum) di negara ini pun berani ditabraknya demi mempertahankan Ahok.
Presiden Jokowi harusnya segera menyadari, bahwa meski jurus Rajawali ngepret dan Rajawali Bangkit Rizal Ramli telah berhasil disingkirkan keluar dari Kabinet Kerja, tetapi demo-demo (114, 112, dan 212) itu sesungguhnya adalah dapat pula disebut sebagai jurus Rajawali Ngepret yang kini diperankan oleh rakyat (para pendemo tersebut).
Sehingga itu, selama Ahok yang dinilai saat ini sebagai biang kegaduhan se-nusantara tidak segera ditindak tegas, maka selama itu pula pemerintahan ini akan terus “dihantam”ini oleh jurus Rajawali Ngepret, bukan dari Rizal Ramli, tetapi dari rakyat.
Jika dulu jurus Rajawali Ngepret dari Rizal Ramli bisa Presiden Jokowi sepelekan dan bahkan singkirkan, tetapi jika jurus ini datangnya dari Rakyat maka Jokowi sebaiknya jangan pernah berpikir untuk dapat memandang enteng sedikitpun. Sebab, itu bisa dipastikan Jokowi hanya akan menghabiskan pemerintahannya dengan diliputi suasana kekacauan di sana-sini, yang pada akhirnya sejarah akan mencatat bahwa Jokowi adalah presiden yang gagal total.