DM1.CO.ID, BONE BOLANGO: Warga Desa Sogitia, Kecamatan Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, jelang Idul Fitri tahun 2023 ini kembali menggelar tradisi malam pasang lampu atau yang biasa disebut Tumbilotohe. Kali ini melalui Festival 7.000 lampu di Desa Sogitia.
Kepala Desa (Kades) Sogitia, Sumitro Lopuo, SH.I yang juga menjabat Sekretaris Apdesi Bone Bolango mengatakan, setiap tahunnya Sogitia menjadi desa pelopor dan sebagai desa yang sangat antusias menggelar Tumbilotohe, ditandai dengan kerja keras Remamuda masjid bersama karang taruna Desa, sehingga wajah Desa Sogitia menjadi sangat berbeda dengan desa desa lainnya.
“Warga Desa Sogitia mempercantik desanya di malam Tumbilotohe sebagai rasa syukur kita, karena tidak lama lagi akan memasuki lebaran. Dan semoga malam Lailatul qadar bisa sampai pada kita,” ujar Ayah Mito (sapaan akrab Sumitro Lopuo) sebagai Kades muda yang sudah 14 tahun menjabat sebagai Kades di Desa Sogitia ini.
Ayah Mito yang juga aktif sebagai pengusaha dan terlibat sebagai bendahara Kekraf Bone Bolango, Ketua pengawas UMKM Bone Bolango, Ketua Inspirator Lebah Madu Indonesia Gorontalo serta pengurus Kadin Provinsi Gorontalo ini, mengaku senantiasa ingin mempercantik desanya.
Ayah Mito berharap agar kiranya momentum Tumbilotohe dapat dijadikan ajang bisnis yang berpahala namun bisa menghasilkan. Misalnya, betapa banyaknya lampu-lampu instan (tumbler) yang dijadikan pengganti lampu Tumbilotohe, padahal lampu-lampu tradisional memiliki makna tersendiri.
“Karang Taruna Desa Sogitia dapat membuat lampu-lampu botol dengan mandaur ulang botol bekas, dan menjual ulang dengan harga murah, sehingga masyarakat pun tidak kesulitan dalam menyiapkan lampu Tumbilotohe,”ujar Ayah Mito.
Ayah Mito memaparkan, Gorontalo adalah salah satu daerah di Indonesia yang dikenal sebagai daerah budaya atau daerah adat. Sejak dulu banyak menyimpan berbagai macam jenis kekayaan kebudayaan dan tradisi yang merupakan ciri khas daerah.
Ia mengungkapkan, kebudayaan dan tradisi Gorontalo mengandung nilai-nilai sejarah tersendiri bagi rakyatnya. Dan salah satu tradisi Gorontalo ini adalah bermana Tumbilotohe.
Setiap tahun, kata Ayah Mito, tradisi Tumbilotohe ini dilaksanakan dalam kalender Hijriah di bulan Ramadaan tepatnya pada 27 hari di bulan Ramadan atau 3 hari sebelum berakhir bulan Ramadan, yang diyakini sebagai malam turunnya Lailatul Qadar yang merupakan malam yang penuh kemuliaan.
Kepada redaksi DM1 dalam bentuk tulisan, Ayah Mito mengurai simbol dan filosofi Tumbilotohe yang sangat identik dengan nilai-nilai keislaman. Yakni:
1. Alikusu, secara filosofis alikusu juga diartikan sebagai tempat berkumpulnya roh dan jasad para nenek moyang. Lampu diartikan sebagai jasad, sedangnya cahaya lampu diartikan sebagai rohnya.
Jumlah lampu yang dirangkai dan disusun berjumlah 27 buah yang setiap susunan memiliki nuansa Islami dan makna secara terstruktur. Yaitu, satu lampu di letakkan paling atas disimbolkan sebagai keesaan Allah Subhanahu wata’ala sebagai Dzat Maha tinggi dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Empat buah lampu diletakkan di tingkat kedua, melambangkan pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan melakukan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Selanjutnya, sembilan buah lampu di tingkat ketiga mewakili Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, empat sahabatnya (Abubakar, Umar, Usman, dan Ali), dan empat lainnya menggambarkan malaikat Jibril, Mikai, Izrail, dan Isrofil. Dan tigabelas buah lampu sebagai bagian dasar yang melambangkan 13 rukun salat.
2. Lale (Janur Kuning) Secara filosofis, lale yang setiap hembusan angin membuat lale menari-nari dimaknai sebagai tanda kehadiran malam seribu bulan atau malam Lailatul Qadar. Sebagai cerminan masyarakat dengan selalu tetap riang gembira dalam menyambut tamu agung sebagai berkah keutamaan Lailatul Qadar.
Ayah Mito mengatakan, dalam keadaan apapun masyarakat Gorontalo percaya bahwa manusia secara naluri berhak bergembira.
Sehingga itu, kata dia, untuk menyambut kebahagiaan tersebut ada pula tradisi Tuwango Lipu yang artinya masyarakat dianjurkan untuk berhias diri dalam menyambut malam Lailatul Qadar.
3. Butulu (Botol Kaca) Secara filosofis, butulu juga diartikan layaknya alQuran yang merupakan tempat dimana manusia akan mendapatkan kekuatan rohani dan kekuatan iman. Itu karena alQuran merupakan pemberi cahaya jalan kehidupan.
4. Tubu (Sumbu lampu), Tubu yaitu sumbu lampu yang dimaknai sebagai jalan kehidupan yang berakar dan mengacu pada alquran.
Ayah Mito menjelaskan, Tubu yang digambarkan dengan untaian benang merupakan cerminan umat muslim Gorontalo yang kehidupannya untuk tetap lurus sesuai dengan ajaran dan larangan Allah Subhanahu wata’ala seperti yang tercantum dalam alQquran.
5. Polohungo (Bunga Warna-warni) Secara filosofis, polohungo juga dimaknai sebagai simbol keindahan. Seperti yang telah diajarkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala juga sangat menyukai keindahan sehingga masyarakat percaya bahwa bunga polohungo juga disukai oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan para malaikatNya.
6. Patodu (Tebu) Patodu yang dimaknai sebagai pemanis. Mengambil nilai dari sifat patodu yang semakin tua rasanya akan semakin manis, maka hendaklah manusia juga mengikuti sifatnya tersebut. Patodu mengisyarakatkan kepada umat muslim untuk selalu memperbaiki perilaku dan berhati-hati dalam bertutur kata.
7. Lambi (Pisang), secara filosofis pisang adalah tumbuhan yang tidak mau mati sebelum dia berbuah. Meski betapa ringkih dan lemah batang tubuhnya. Setelah ia subur dan berbuah, maka itulah tanda akhir hayatnya.
Dalam kehidupan manusia, kata Ayah Mito, lambi dimaknai sebagai seorang manusia yang bersungguh-sungguh dalam pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dan hanya Allah Subhanahu wata’ala yang berhak memetik “buah” dari kesungguhan manusia dan memanggilnya untuk kembali kepada Sang Pencipta.
Jadi, menurut Ayah Mito, sangat banyak pelajaran yang bisa kita pelajari dari sebuah budaya dan tradisi. “Bagi saya Gorontalo adalah daerah yang tak pernah lelah untuk dicintai,” pungkas Ayah Mito. (res/dm1)