Inilah Rezim “WC”: Kendali Kekuasaan Bukan di Tangan Presiden, Yang Busuk dan Kotor Dilindungi

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID: Jika menengok gaya kepemimpinan berupa sikap (kebijakan) maupun “style” (gaya bicara, cara jalan, mimik wajah, ataupun gesture) Jokowi selaku presiden, maka akan sangat terlihat bahwa sesungguhnya Jokowi memang samasekali tak layak jadi pemimpin besar di negeri ini. Sekali lagi: “Sangat Tidak Layak!”

Cobalah kembali diperhatikan sejak awal hingga saat ini! Situasi dan kondisi di negeri ini semakin berantakan dan sungguh sangat kacau.

Perjalanan pemerintahan Jokowi sampai hari ini masih lebih banyak memunculkan keburukan akibat kekurangannya dibanding manfaat dan kelebihannya.

Kelebihannya yang dipuja-puja dan disanjung-sanjung oleh “pasukan dunia maya” tidaklah berbanding lurus dengan fakta yang terjadi di dunia nyata.

Ya… Jokowi hanyalah sosok yang berhasil dibikin hebat melalui dunia maya, tetapi di dunia nyata Jokowi sungguh sama sekali tidak dapat berkutik, alias lemah tak punya daya.

Sebab, Jokowi sangat cenderung terlihat hanyalah sosok yang “dipaksa” menjadi presiden melalui pencitraan yang dipoles oleh elit-elit yang memiliki kepentingan maha besar di negeri ini, yakni mereka para kaum neo-liberalis, neo-kapitalis, neo-kolonialis, serta neo-komunis. Dan mereka-mereka inilah yang nampaknya memegang kendali saat ini, bukan Jokowi! Apalagi hanya seorang menteri?!

Sehingga, jika Jokowi atau para menteri yang ingin bertahan pada posisinya masing-masing, maka ia harus ikut dan tunduk pada “ideologi” kaum neo-liberalis, neo-kapitalis, neo-kolonialis, serta neo-komunis yang diduga kuat telah menguasai negeri ini. Tahu kan bagaimana “busuk dan baunya” tindak-tanduk atau sikap dari kaum-kaum ini?

Layaknya sebuah WC (jamban), apabila ingin masuk ke dalam maka harus siap untuk ikut mencium bau tak sedap di dalam WC tersebut. Jika tidak, maka tentu ia tidak akan mampu menahan “nafas” dan akan “meronta-ronta” akibat bau tak sedap tersebut. Sehingganya, ia pun harus keluar atau dikeluarkan dari WC tersebut.

Sehingganya, selain Jokowi lebih pantas disebut “Presiden Boneka”, pemerintahan saat ini juga sepertinya lebih pantas disebut Rezim “WC”. Yakni rezim tempat berkumpulnya kelompok atau individu yang kerap dan doyan “menghisap yang kotor-kotor dan bau tak sedap”. Jika tidak, maka ia harus out!

Dan itu adalah sebuah indikasi. Faktanya, pemerintahan Jokowi-JK memang bertitel sebagai Rezim “WC”, yakni “Work-Cabinet” yang mengaku sebagai pemerintahan yang berpihak kepada WC (Wong Cilik), meski sebetulnya ketika wong cilik berunjuk rasa kerap “dihadang” oleh WC (Water-Canon).

—–
Pembuat Gaduh di Kabinet Dipecat,
Pembuat Gaduh se-Antero Negeri Malah Dilindungi?

Masih tentang rezim “WC”. Dulu Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman dipecat karena dinilai kerap bikin gaduh di dalam Kabinet Kerja (WC: Work-Cabinet). Padahal, Rizal Ramli ketika itu sangat jelas-jelas condong berpihak kepada WC (Wong Cilik).

Namun kini, Ahok yang kini jelas-jelas sebagai biang kegaduhan se-antero negeri (bukan hanya di kabinet) malah terkesan sangat mendapat perlindungan dari Jokowi.

Dan inilah yang mengindikasi, bahwa saat ini negeri kita sedang dikuasai oleh rezim “WC”, –yang di dalamnya memang ada presiden dan menteri, tetapi pengendaliannya dilakukan oleh kaum neo-liberalis, neo-kapitalis, neo-kolonialis, serta neo-komunis, dan bukan presiden atau menteri yang berperan kuasa.

Sesuatu yang sangat aneh bin ajaib, apabila diketahui ada seorang gubernur seperti Ahok yang melakukan kegaduhan berupa penistaan terhadap agama Islam akibat mulut “jambannya” itu, namun yang repot dan super-sibuk turun tangan justru adalah Jokowi selaku presiden. Ada apa???

Mengapa, Jokowi tidak melakukan hal yang sama ketika Rizal Ramli dinilai sebagai pembuat gaduh dalam kabinet? Atau dengan gubernur-gubernur lain yang dapat dengan mudahnya diproses hukum (dijadikan tersangka) atas sebuah masalah?? Sekali lagi, ada hubungan “affair” sebesar apa Anda duhai Presiden Jokowi dengan Ahok “si mulut Jamban itu”??? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang kini sering terlontar dari rakyat dan para netizen.

Keanehan berikutnya dari rakyat di negeri ini, adalah tentang begitu mudahnya memproses hukum (ditangkap) bagi para penghina presiden, sementara betapa susahnya menangkap penghina alQuran (kitabullah).

Ungkapan tersebut dilontarkan oleh komunitas warga Indonesia yang ada di Sydney-Australia. Mereka membentangkan pesan di atas kertas lebar: “Menghina Presiden ditangkap…. Menghina alQuran didiamkan… Padahal presiden disumpah pakai alQuran..

—–
Saran Dari Rizal Ramli mengenai Kegaduhan Ahok

Ada saran yang dikemukakan oleh DR. Rizal Ramli selaku tokoh nasional mengenai kegaduhan yang dilakukan oleh Ahok. Dan saran ini memang ditujukan kepada Basuki T. Purnama (Ahok) juga buat Presiden Joko Widodo agar dapat keluar dan menghindari situasi yang lebih fatal.

Jika saran ini tidak segera dilakukan, maka posisi Ahok dan bahkan kekuasaan Jokowi akan rontok dan hancur berkeping-keping.

Saran berupa masukan tersebut sebetulnya telah ditulis Rizal Ramli sendiri dalam bentuk opini berjudul: “Jakarta’s Governor Gave Indonesian Islamists an Opening”, yang dimuat dan dipublikasikan oleh media asing terkemuka, The Wall Street Journal, edisi Rabu (9/11/2016).

Dalam tulisan tersebut, Rizal Ramli mengemukakan bahwa, gejolak sosial yang terjadi di ibukota Indonesia belakangan ini bukan dipicu latar belakang Ahok yang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen.

Menurut Rizal, dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok adalah kasus terakhir setelah sebelumnya kebijakan-kebijakan Ahok sebagai gubernur memarjinalkan orang-orang miskin dan meninggalkan jejak skandal keuangan.

Rizal pun menilai, meski Presiden Jokowi telah berjanji melakukan proses hukum terhadap Ahok akan berjalan cepat dan transparan, namun itu tidak akan meredam kemarahan masyarakat.

Alasannya, mereka yang anti Ahok terlanjur percaya bahwa pengadilan pasti membebaskan Ahok karena kepentingan yang besar dari Presiden Jokowi.

Bagi Jokowi, Ahok bukan cuma mantan rekan kerja sebelum ia meninggalkan jabatan Gubernur Jakarta untuk menjadi calon presiden pada 2014. Tetapi Jokowi juga ingin memanfaatkan Ahok untuk kepentingan politiknya di Pilpres selanjutnya.

Sayangnya, keberadaan Ahok di pemilihan kepala daerah Jakarta dapat menyebabkan konsekuensi serius, baik untuk jabatan kepresidenannya dan bahkan untuk negara.

Jika Ahok dinyatakan “tidak bersalah” oleh pengadilan dalam kasus penistaan agama, seperti yang diharapkan Jokowi, ada kemungkinan akan lebih banyak demonstrasi yang tidak hanya menuntut dia mundur tetapi menciptakan perubahan politik yang lebih besar.

“Ada juga risiko serius demonstrasi bisa berubah menjadi kekerasan. Kaum fundamentalis bisa melihat inilah kesempatan mereka untuk mengeksploitasi situasi dan memperkuat cengkeraman mereka di lanskap politik Indonesia. Jika demikian, perekonomian nasional pasti terpuruk dan institusi tentara bisa memutuskan langkah,” papar Rizal Ramli.

Skenario terbaik untuk Ahok, menurut Rizal Ramli, adalah mengakui kesalahannya dan mengundurkan diri dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta. Jokowi harus menarik mundur Ahok dan meminta melakukan yang terbaik bagi negara.

“Itu akan meredakan situasi genting dan mencegah fundamentalis untuk mengejar kekuasaan,” ujar Rizal.

Jokowi memenangkan kursi kepresidenan dengan menjanjikan konsentrasi pada reformasi politik dan pertumbuhan ekonomi. Dan untuk memenuhi janji tersebut, dia mesti mengembalikan “jin” yang selalu mengintainya untuk masuk kembali ke dalam botol.

(AMS-DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

9,630 views

Next Post

SMAN 2 Gorontalo Semangati Hari Guru

Ming Nov 13 , 2016
DM1.CO.ID, GORONTALO: Jelang Hari Guru Nasional tahun ini, tidak sedikit sekolah di Kota Gorontalo yang menggelar kegiatan lomba yang bertema Hari Guru tersebut. Salah satunya adalah SMA Negeri 2 Kota Gorontalo.