DM1.CO.ID, GORONTALO: Menjawab tanda tanya dari pihak UMGo tentang darimana nilai Rp.420 Juta yang sedang ditagih ARA selaku kontraktor langsung kepada Nelson Pomalingo (NP), DM1 yang melakukan wawancara secara “maraton” dan mendapat penjelasan detail serta sejumlah dokumen dari ARA terkait persoalan proyek tersebut.
Berikut hasil wawancaranya yang dituangkan dalam bentuk narasi dari ARA selaku kontraktor yang mengaku telah lelah menagih sisa haknya berbulan-bulan dan bertahun-tahun, namun tak kunjung dibayarkan.
Pertemuan pertama ARA dan NP selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGo) terjadi di Jakarta, sekitar 5 tahun silam dengan membuahkan kesepakatan lisan.
Artinya, ketika itu ARA mendapat “restu” dari NP untuk mengerjakan proyek Gedung Perkuliahan “Rusli Habibie”, yang belakangan gedung ini dinamai “Rusli Habibie-Idris Rahim”. Pengerjaan gedung yang dikerjakan ARA ini adalah proyek lanjutan dari kontraktor sebelumnya.
Pada Selasa, 30 Juni 2015, ARA pun secara resmi mendapat Surat Perintah Kerja (SPK) untuk merampungkan pengerjaan gedung tersebut.
SPK bernomor: 277/II.3.AU/SPK/VI/2015 itu mencantumkan nilai anggaran proyek sebesar Rp. 903.125.000, yang berasal dari dana hibah Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie.
ARA pun kemudian berhasil merampungkan pengerjaan fisik gedung tersebut 100 persen. Perampungan itu ditandai dengan ditanda-tanganinya lembar laporan progres proyek pembangunan yang disebutkan telah mencapai 100 persen.
Selain itu, bukti pekerjaan yang telah mencapai 100 persen tersebut juga ditandai dengan telah ditanda-tanganinya Berita Acara Serah Terima Pembangunan Gedung Fakultas UMGo, oleh NP dan ARA bermaterai 6000, pada Selasa (2/2/2016).
Dari kedua dokumen (laporan progres dan berita acara) tersebut, ARA pun mengajukan sisa tagihan sesuai termin ke pihak UMGo. Namun sayang, bukannya dibayarkan, ARA malah disodorkan CCO (Contract Change Order) oleh pihak UMGo.
Ketika itu, ARA mengaku merasa heran dan sempat mempertanyakan, mengapa CCO (Pekerjaan Tambah, dan khususnya Pekerjaan Kurang) dimunculkan di saat proyek dinyatakan telah rampung 100 persen.
Meski begitu, ARA mengaku harus kembali mengerjakan proyek itu sesuai dengan CCO Pekerjaan Tambah (P+) yang bernilai Rp.267.199.000.
Sementara CCO Pekerjaan Kurang (P-) sebesar Rp.209.893.000, menurut ARA, itu adalah merupakan hal yang ngawur.
ARA menegaskan, bagaimana mungkin pekerjaan yang dinyatakan (ditanda-tangani) sudah 100 persen rampung dalam berita acara penyerahan gedung pada 2 Februari 2016, lalu kemudian CCO Pekerjaan Kurang dimunculkan pada 16 Februari 2016?
Meski demikian, ARA mengaku tidak mau ribut, yakni dengan tetap mengerjakan CCO Pekerjaan Tambah hingga rampung.
Namun setelah CCO Pekerjaan Tambah sudah rampung ditunaikan, ARA pun kemudian menagih sisa pokok dan pembayaran CCO Pekerjaan Tambah ke pihak UMGo.
Berdasarkan kuitansi yang ada, ARA baru menerima secara langsung pembayaran dari pihak UMGo sebesar Rp.680.625.000. Artinya, masih ada kekurangan sebesar Rp.222.500.000 dari nilai pokok proyek (Rp.903.125.000).
Sehingga yang ditagih oleh ARA adalah Rp.222.500.000 ditambah CCO (P+) Rp.267.199.000 sama dengan Rp.489.699.000. Atau (Rp.222.500.000 + Rp.267.199.000 = Rp.489.699.000).
Nilai Rp.489.699.000 itu, menurut ARA, dikurang pembayaran yang telah diberikan langsung oleh Nelson Pomalingo sebesar Rp.57 Juta, sehingga total bersih yang ditagih oleh ARA saat ini adalah sebesar Rp.432.699.000, atau (Rp.489.699.000 – Rp.57.000.000= Rp.432.699.000).
ARA menolak adanya CCO Pekerjaan Kurang, sebab CCO ini muncul di saat pekerjaan pokok sudah rampung 100 persen. Artinya, materi dan energi telah dikeluarkan oleh ARA untuk menyelesaikan 100 persen pekerjaan, lalu ketika dianggap sudah selesai tiba-tiba muncul CCO Pekerjaan Kurang. Sehingga ARA tetap menagih sisa tagihan pokok sebesar Rp.222.500.000 ditambah CCO Pekerjaan Tambah Rp.267.199.000= Rp.489.699.000 dikurang Rp.57 juta, yakni sebesar Rp.432.699.000 yang dibulatkan oleh ARA cukup Rp.420 Juta.
Nilai sisa bersih yang ditagih ARA ini kemudian berbeda dengan perhitungan pihak UMGo. Pihak UMGo menghitung Rp.432.699.000 yang ditagih oleh ARA itu harus dikurangi dengan CCO (P-) sebesar Rp.209.893.000, atau Rp.432.699.000 – Rp. 209.893.000= Rp.222.806.000.
Nilai Rp.222.806.000 inipun, menurut pihak UMGo, sudah dibayarkan kepada seseorang berinisial TFR, mantan keluarga ARA. Pembayaran tersebut dibuktikan dengan 2 lembar kuitansi yang ditanda-tangani oleh TFR. Yakni, satu lembar kuitansi bernilai Rp.100.000.000, dan selembar lainnya bernilai Rp.122.125.000.
Di sinilah persoalannya, UMGo mengaku sudah membayarkan seluruh pembayaran. Namun ARA protes. Sebab, menurut ARA, bagaimana mungkin pihak UMGo berani menyerahkan uang sebesar itu tanpa ada surat kuasa darinya (ARA)?
Terkait hal tersebut, ARA mengungkapkan, suatu ketika pihak UMGo menghubungi melalui telepon agar datang ke Gorontalo untuk menerima pembayaran. Karena saat itu sedang sibuk di Jakarta mengurus proyek lain, ARA pun meminta kebijaksanaan untuk penerimaan pembayaran itu diserahkan saja kepada saudara kandungnya yang ada di Gorontalo.
Kebijaksanaan itu, kata ARA, tidak disetujui oleh pihak UMGo, sehingga terpaksa dirinya harus terbang ke Gorontalo untuk menerima sendiri pembayaran tersebut.
Olehnya itu, ARA mengaku heran, sedangkan diminta untuk dapat diwakili oleh saudara kandung sendiri, UMGo tidak bersedia menyerahkan pembayaran itu. “Lalu kenapa tiba-tiba muncul dua kuitansi yang diterima oleh orang lain (mantan keluarga ARA)?” lontar ARA bertanya-tanya.
Persoalan inipun membuat kedua belah pihak sepakat membentuk tim masing-masing (tim ARA dan tim UMGo) yang terdiri dari 3 orang setiap tim.
Tim inilah, menurut ARA, yang kemudian duduk bersama dan berdiskusi untuk mencari solusi terhadap permasalahan pembayaran. Solusi yang dimunculkan adalah membuat surat perjanjian, yang kemudian telah ditanda-tangani oleh seluruh anggota tim yang ada.
Malam itu, tim sepakat untuk membawa surat perjanjian tersebut langsung ke Nelson Pomalingo (ke rumah dinas) yang saat itu baru saja menjabat sebagai Bupati Gorontalo. Artinya, itu seolah UMGo sepakat melempar “bola” (persoalan) itu ke Nelson Pomalingo.
Di rudis malam itu juga, ungkap ARA, tim menyodorkan surat perjanjian tersebut kepada Nelson Pomalingo agar turut ditanda-tangani. Namun Nelson Pomalingo menolak bertanda-tangan di dalam surat perjanjian tersebut.
Diungkapkannya, meski menolak bertanda-tangan, namun Nelson Pomalingo yang memang merasa punya kewajiban untuk membayar sisa pekerjaan proyek itupun memberikan Rp.57 Juta kepada ARA.
ARA yang ditemani 2 orang lawyer malam itu mengaku heran dan merasa ada keanehan, sebab meski menolak menanda-tangani surat perjanjian itu, namun Nelson Pomalingo tetap menyerahkan uang sebesar Rp. 57 Juta kepada ARA. Tetapi di saat bersamaan, surat perjanjian yang ingin diminta kembali oleh ARA malam itu malah dimusnahkan (disobek) oleh anak buah Nelson.
“Saya pas keluar (dari rudis) itu saya minta dengan anak buahnya, anak buahnya juga nggak kasih itu, sudah langsung dimusnahkan disobek,” ungkap ARA.
“Kita musyawarah saja, tidak usah pakai perjanjian, nanti kita saling telepon di Jakarta,” ujar ARA mengutip perkataan Nelson Pomalingo saat pertemuan di rumah dinas malam itu.
Meski muncul keheranan dan keanehan, namun ARA mengaku mencoba berpikiran positif. Di benak ARA, tidak mungkin seorang pejabat publik seperti Nelson ingin mengingkari perkataannya untuk menyelesaikan tagihan itu di Jakarta.
Namun singkat cerita, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, setiap menagih hanya diberi janji-janji yang hingga saat ini tidak ada kejelasan. “Setelah itu saya komunikasi, telepon tidak dijawab, tapi kalau WA pasti dibalas, tapi tidak ada solusinya, sampai saya sudah menunggu hampir lima tahun ini,” keluh ARA.
Tentang mengapa tidak menagih ke UMGo, menurut ARA, karena “bolanya” sudah ada pada Nelson Pomalingo, yakni saat tim UMGo dan tim ARA mengajukan surat perjanjian kepada Nelson Pomalingo di rudis Bupati Gorontalo kala itu.
ARA pun menegaskan dan memastikan akan melaporkan ke polisi untuk dilanjutkan ke proses hukum, apabila tetap tidak mendapatkan solusi pembayaran. “Saya sudah kerja, dan sudah mengeluarkan modal dan biaya yang tidak sedikit, sehingga saatnya saya menuntut pembayaran lunas,” ujar ARA seraya menegaskan, bahwa sampai kapanpun tetap terus menagih dan menuntut haknya tersebut. (din-ams/dm1)
—-