DM1.CO.ID, BOALEMO: Kepala Badan Keuangan Kabupaten Boalemo, Sofyan Hasan, beberapa waktu lalu “mendadak” ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaaan Negeri Boalemo, yakni dalam kasus dugaan korupsi Pekerjaan Pembangunan Irigasi Air Tahan Dangkal, Embung, Dam Parit/Long Storage dan Pintu Air, di Kabupaten Boalemo Tahun Anggaran 2018.
Mengaku keberatan dan merasa ada keganjilan terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka, Sofyan Hasan pun melalui kuasa hukumnya mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Tilamuta, Kabupaten Boalemo.
Sidang perkara praperadilan atas ditetapkannya Sofyan Hasan sebagai tersangka itupun, tuntas digelar dari Selasa-Jumat (10-13 Maret 2020) di PN Tilamuta.
Dan berikut ini adalah kesimpulan lengkap praperadilan dari tim kuasa hukum Sofyan Hasan yang terdiri dari: Dr. Duke Arie W, SH, MH, CLA, CPCLE,CPLC; Inggrid S. Bawias, SH, MH; Hasnia, SHi, MH, MA, CPLC; dan Moh. Fahmid Noho, SH, CPLC:
“Sidang Perkara Praperadilan Nomor: 02/Pid.Pra/2020/PN.TMT kami dari pihak Pemohon telah mengajukan Kesimpulan yang terungkap di persidangan sebagai berikut:
Terbukti di persidangan bahwa dasar dilakukannya proses penyelidikan adalah karena adanya Laporan Kejaksaan Negeri Boalemo sendiri (bukan laporan masyarakat) dalam bentuk Laporan Hasil Operasi Intelijen terhadap Pekerjaan Pembangunan Irigasi Air Tahan Dangkal, Embung, Dam Parit/Long Storage dan Pintu Air di Kabupaten Boalemo Tahun Anggaran 2018 sebagaimana tercantum dalam Duplik Termohon dan keterangan Saksi Termohon atas nama Alim Bahri, SH dan Mulyanto, SH di persidangan. Atas perintah Kepala Kejaksaan Negeri Boalemo kemudian diperintahkan untuk melakukan Operasi Intelijen atas pekerjaan tersebut. Namun demikian ketika ditanya lebih jauh apa alasan dilakukan investigasi atas pekerjaan tersebut apakah karena ada laporan masyarakat atau karena adanya permasalahan dalam pekerjaan tersebut, saksi Alim Bahri (Jaksa) tidak mau menjawab dengan alasan itu rahasia.
Terbukti dipersidangan SPDP tanggal 25 November 2019 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pertanian Boalemo (Pemohon), penyidik atas nama Mulyanto, SH menyatakan tidak menyerahkan langsung kepada Kepala Dinas Pertanian melainkan hanya dititipkan kepada Albakhrein Umar (Staf Dinas Pertanian Kabupaten Boalemo Bidang Penyuluhan) sebagaimana keterangan saksi Termohon Alim Bahri, SH dan Mulyanto, SH. Saksi atas nama Mulyanto, SH tidak mengetahui pasti pada tanggal berapa SPDP tersebut diantarkan. Terbukti di persidangan bahwa SPDP tanggal 25 November 2019 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pertanian Boalemo tidak terdaftar di buku Agenda Surat Masuk Tahun 2019 pada bulan November tahun 2019 (Bukti P-5) sebagaimana kesaksian Suwarti Johan (Bagian Arsip dan Persuratan Dinas Pertanian Kabupaten Boalemo). Terbukti bahwa Pemohon tidak pernah menerima SPDP tertanggal 25 November 2019 dari Penyidik. Sehingga tidak jelas apakah SPDP ini memang benar ada atau baru ada karena adanya gugatan praperadilan ini.
Terbukti di persidangan SPDP tanggal 4 Maret 2020 yang ditujukan kepada Pemohon oleh Saksi Alim Bahri, SH sebagai penyidik menyatakan bahwa surat tersebut sudah dikirimkan ke Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Boalemo melalui Petugas Kejaksaan bernama Lukman, akan tetapi berbeda dengan kesaksian yang disampaikan oleh Saksi Mulyanto, SH dimuka persidangan yang menyatakan bahwa Saksi Mulyanto, SH yang membawa dan menyerahkan sendiri surat tersebut kepada staf dinas pertanian. Bahwa terbukti Pemohon tidak pernah menerima SPDP tertanggal 04 Maret 2020 dari Termohon secara langsung. Justru SPDP ini yang terdaftar di Buku Agenda Surat Masuk Tahun 2020 yang diterima Saksi Suwarti Johan (Bagian Arsip dan Persuratan Dinas Pertanian Kabupaten Boalemo).
Terbukti di persidangan Termohon melanggar ketentuan Pasal 38 Ayat (1) KUHAP mengenai Penyitaan. Berdasarkan kesaksian Saksi Alim Bahri, SH Penyitaan Barang yang dilakukan oleh Penyidik tanpa didahului oleh Surat Ijin Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta, padalah menurut ketentuan Pasal 38 Ayat (1) KUHAP : “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan Surat Ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat”. Adapun pengecualiannya bilamana dalam keadaan mendesak sebagaimana pasal (2) : “Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan Surat Ijin Ketua Pengadilan terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat (1), Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat guna memperoleh persetujuannya”. Sedangkan Penyidik dalam pekara ini melakukan Penyitaan bukan dilakukan terhadap benda bergerak, melainkan melakukan penyitaan terhadap Dokumen dan Uang (benda tidak bergerak).
Termohon terbukti melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor ; 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan kata “Dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor :31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan Keterangan Ahli Micael Barama, SH, MH menyatakan : “Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyebabkan terjadinya perubahan delik formil menjadi delik materiil dimana suatu tindak pidana korupsi harus ada perhitungan kerugian keuangan negara terlebih dahulu yang dihitung oleh Lembaga yang berwenang dalam hal ini BPK/BPKP”. Fakta di persidangan berdasarkan Keterangan Saksi Alim Bahri, SH yang menyatakan kerugian negara dalam perkara ini dihitung oleh Kejaksaan sendiri.
Terbukti di persidangan Termohon melanggar ketentuan Pasal 422 Ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Jaksa Agung Nomor: PERJA/039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelolah Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang menyatakan : “Dalam Surat Perintah Penyidikan yang tidak menyebut identitas tersangka dalam waktu paling lama 50 hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK), Kepala Kejaksaan Negeri atas usul Tim Penyidikan dan saran/pendapat Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus harus menemukan dan menetapkan Tersangka”.
Berdasarkan pendapat ahli Michael Barama, SH, MH, Termohon dalam melaksanakan tugas penyidikan harus mengacu pada Peraturan Jaksa Agung Nomor: PERJA/039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelolah Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus. Berdasarkan keterangan Saksi Alim Bahri, SH mengatakan bahwa Jaksa dalam melaksanakan tugasnya harus mengacu pada ketentuan tersebut, namun faktanya yang terjadi dalam perkara ini saksi Alim Bahri, SH mengakui tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh Pendapat Ahli Termohon DR. Fence Wantu, SH, MH yang mengatakan bahwa PERJA Nomor: PERJA/039/A/JA/10/2010 adalah ketentuan yang mengikat bagi Jaksa dalam melaksanakan tugasnya sebab PERJA ini merupakan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang harus dilakukan oleh Jaksa dalam penanganan perkara Tindak Pidana Khusus dalam hal ini Tindak Pidana Korupsi.
Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yakni :
– Bukti Keterangan Saksi;
– Bukti Surat;
– Bukti Keterangan Ahli;
Terhadap 3 (tiga) alat bukti tersebut, Pemohon menyatakan sebagai alat bukti yang TIDAK SAH, dengan alasan sebagai berikut:
KETERANGAN SAKSI:
– Bahwa Pemohon sebelum ditetapkan sebagai Tersangka tidak pernah dimintakan klarifikasi oleh Termohon dalam tahap Penyelidikan;
– Bahwa Pemohon dipanggil sebagai saksi pada tahap penyidikan oleh Termohon dengan cara yang tidak Patut karena tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan mengenai pemanggilan saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 227 KUHAP;
– Bahwa dalam perkara ini sejumlah saksi diintimidasi dan ditekan oleh Penyidik dalam memberikan keterangan sebagai Saksi, hal ini bertentangan dengan Pasal 51 KUHAP, dan Pasal 4 UU Perlidungan Saksi dan Korban;
Atas dasar pertimbangan tersebut maka Pemohon menyatakan bahwa alat bukti Keterangan Saksi yang dijadikan dasar oleh Termohon untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka adalah TIDAK SAH.
BUKTI SURAT
– Bahwa Termohon dalam memperoleh bukti surat dalam hal ini bukti dokumen dan sejumlah uang (benda tidak bergerak) yang disita dari saksi-saksi dilakukan secara tidak SAH karena tidak memiliki Surat Ijin dari Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta. Hal ini menurut ketentuan Pasal 38 Ayat (1) KUHAP : “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan Surat Ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat” Adapun pengecualiannya bilamana dalam keadaan mendesak sebagaimana pasal (2): “Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan Surat Ijin Ketua Pengadilan terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat (1), Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat guna memperoleh persetujuannya”. Sedangkan Penyidik dalam pekara ini melakukan Penyitaan bukan dilakukan terhadap benda bergerak, melainkan melakukan penyitaan terhadap Dokumen dan Sejumlah Uang (benda tidak bergerak).
Atas dasar pertimbangan tersebut maka Pemohon menyatakan bahwa alat bukti Surat berupa Dokumen dan Sejumlah Uang (Benda tidak bergerak) yang dijadikan dasar oleh Termohon untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka adalah TIDAK SAH.
BUKTI KETERANGAN AHLI
– Bahwa keterangan ahli yang dijadikan sebagai Alat Bukti dalam perkara ini adalah Ahli yang tidak memiliki kewenangan/kompetensi untuk menetapkan dan menghitung adanya kerugian keuangan negara, sebab ahli yang diajukan oleh Termohon adalah Ahli Bidang Pengadaan Barang dan Jasa. Sedangkan untuk menghitung kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Atas dasar pertimbangan tersebut maka Pemohon menyatakan bahwa alat bukti Keterangan Ahli yang dijadikan dasar oleh Termohon untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka Tindak Pidana Korupsi adalah TIDAK SAH.
Mengenai Aspek Formil yang dilanggar oleh Termohon, adalah sebagai berikut:
– Bahwa Termohon tidak memberitahukan dan tidak menyerahkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Pemohon 7 (tujuh) hari sejak dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Pemohon baru mengetahui mengenai adanya SPDP yang ditujukan kepada diri Pemohon yakni pada tanggal 5 Maret 2020, sebab terkait SPDP tersebut Pemohon tidak pernah bertemu dengan Penyidik Kejaksaan.
– Bahwa Penyidik tidak dapat menemukan dan menetapkan tersangka sesuai batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 422 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Jaksa Agung Nomor : PERJA-039/A/JA/10/2020 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, yakni paling lama 50 (lima puluh) hari sejak Surat Perintah Penyidikan. Padahal Peraturan Jaksa Agung ini adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat secara umum sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Akibat tindakan Termohon yakni dengan cara melawan hukum, melanggar sejumlah ketentuan dalam melakukan proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yakni :
– Melanggar Pasal 227 KUHAP mengenai prosedur pemanggilan saksi yang tidak benar;
– Melanggar Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP mengenai prosedur penyitaan dokumen dan uang (barang tidak bergerak) tanpa ijin dari Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta;
– Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XIII/2015 mengenai batas waktu 7 hari paling lambat penyidik wajib menyerahkan SPDP kepada Termohon;
– Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016 mengenai harus ada perhitungan kerugian negara yang nyata dalam tindak pidana korupsi (actual loss), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan mengenai Perhitungan Kerugian Keuangan Negara harus dilakukan oleh BPK;
– Melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 butir 6 mengenai perhitungan dan yang berwenang menyatakan kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan;
– Melanggar Pasal 422 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Jaksa Agung Nomor: PERJA-039/A/JA/10/2020 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, mengenai batas waktu penyidik menemukan dan menetapkan tersangka.
Sehingga pemohon menilai dengan banyaknya sejumlah perbuatan melawan hukum dan/atau pelanggaran sejumlah ketentuan dalam Penetapan Tersangka seperti ini sudah selayaknya untuk diperbaiki atau dikoreksi dengan dibatalkan melalui permohonan Praperadilan ini.
Termohon dalam hal ini memiliki kewenangan yang sangat besar sehingga sangat mungkin untuk disalah gunakan dan terbukti dengan banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh Penyidik dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Hal ini sesuai dengan pendapat “Lord Acton” yang menyatakan “Power Tends To Corrupt, Absolute Power Corrupts Absolutely.” Yang artinya kekuasaan cenderung disalah gunakan, kekuasaan yang Besar cenderung sangat besar pula untuk disalahgunakan. Hal ini terjadi pada perkara ini, sebab jika dilihat dari awal proses perkara ini yakni melalui Laporan Kejaksaan sendiri bukan melalui Laporan masyarakat, maka sangat jelas bahwa proses ini dari awal sampai akhir dikelola oleh institusi kejaksaan sendiri. Pihak Kejaksaan yang menjadi Pelapor, pihak kejaksaan yang menjadi Penyelidik, pihak kejaksaan juga yang menjadi Penyidik dan pada akhirnya pihak Kejaksaan pula yang akan menjadi Penuntut Umum. Proses penegakan hukum seperti ini sangat dikhawatirkan bukan bermula karena ada suatu dugaan tindak pidana akan tetapi karena faktor lain.
Bahwa proses penegakan hukum dari hulu sampai hilir seperti ini dimana sejak adanya Laporan, Proses Penyelidikan dan proses Penyidikan seperti ini dengan menabrak sejumlah aturan dapat mengarah pada suatu tindakan Kriminalisasi atau menurut istilah yang digunakan oleh Prof. Mahfud MD menyebutkan ini sebagai istilah “Industri Hukum” yang artinya proses penegakan hukum dimana orang tidak bermasalah dibuatkan bermasalah agar berperkara, orang yang tidak salah diatur sedemikian rupa menjadi bersalah, orang yang bersalah diatur sedemikian rupa menjadi tidak bersalah. Hukum ditunggangi seakan-akan barang yang bisa disetel-setel dengan keahlian dan keterampilan. Pemohon menganggap bahwa peristiwa ini sesungguhnya telah terjadi pada diri Pemohon yang telah dikriminalisasi oleh Termohon.
Bahwa sebagai penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus selalu berpegang teguh pada tata cara (hukum acara) yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak satupun disebutkan secara tegas mengenai konsekuensi bahwa “Jika penyidik tidak memenuhi ketentuan prosedur penyidikan tindak pidana maka penyidikan dianggap tidak sah”, akan tetapi suatu proses pemeriksaan terhadap suatu dugaan tindak pidana haruslah dilakukan dengan prosedur yang benar. Hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam penyelidikan hingga proses pengadilan.
Setiap prosedur dalam “due process of law” menguji dua hal, yaitu: (1) apakah Negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik Tersangka tanpa prosedur; (2) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process of law. Sehingga dengan demikian prosedur penyidikan tindak pidana yang terbukti menyimpang dari ketentuan Hukum Acara tersebut dapat dianggap tidak prosedural atau tidak sah. Dengan tidak sahnya proses penyidikan makan berakibat tidak sah pula penetapan tersangka.
Demikian kesimpulan ini kami sampaikan di muka persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum pada Pengadilan Negeri Tilamuta. (kab/dm1)
Ming Mar 15 , 2020
DM1.CO.ID, JAKARTA: Kemarin, Sabtu (14/3/2020), terdapat 96 pasien di Indonesia yang dinyatakan positif terjangkit virus Corona.