Hariman: Rakyat Harus Bergerak untuk Menghukum Pemimpin Zalim

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Salah satu tokoh dan Aktivis Malari, Dr. Hariman Siregar, akhirnya angkat suara dengan kondisi negeri ini yang kian hari makin kacau, terutama dalam nuansa Pilkada DKI.

Hariman merasa sangat kecewa dengan pemerintah saat ini yang sudah tidak netral dalam menjalankan roda pemerintahan dengan sistem demokrasi.

Kekecewaannya tersebut ia tuangkan dalam surat terbuka yang dirilis oleh gema rakyat. Berikut isi surat tersebut :

“Tulisan ini saya buat dengan sepenuh kekecewaan. Tidak sampai nalar saya menyikapi manuver-manuver politik dalam Pilkada DKI Jakarta, yang kian lama kian kental nuansa main kayunya. Kekuasaan ambrol, bukan lagi untuk memperkuat yang benar, melainkan mati-matian membela jagoannya. Demi kemenangan jagoan versi istana, bahkan melacurkan kebenaran, menginjak moralitas politik pun dilakukan. Sungguh tragis.

Rakyat menyaksikannya dengan hati berkeping-keping. Di mana hati nurani penguasa? Apakah penguasa melihat rakyat cuma sebagai kumpulan orang-orang bodoh yang bisa dengan gampang dibodohi?

Bagaimana mungkin suatu perkara yang sudah terang duduk-tegaknya, salah-benarnya, bisa dipelintir dengan begitu kasar tanpa rasa bersalah? Ahok yang sudah jelas-jelas menista agama Islam, sampai saat ini tidak kunjung ditahan meski sudah duduk di kursi terdakwa.

Padahal, kasus-kasus serupa dengannya, seperti Arswendo Atmowiloto, Permadi atau Lia Eden langsung ditahan. Ketika Ahok menghina K.H. Ma’ruf Amin, Menteri Luhut B Pandjaitan langsung turun tangan.

Bahkan demi Ahok, presiden sampai bertindak melanggar UU Pemda karena tidak memberhentikan sementara Ahok yang sudah berstatus terdakwa kasus penistaan agama.

Kini seorang narapidana kasus pembunuhan dijadikan pion kekuasaan. Antasari Azhar memfitnah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya beberapa jam sebelum pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta dilakukan.

Tujuannya jelas, agar nama baik SBY tercemar sehingga elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyoni (AHY)- Sylvia Murni hancur dalam hari H Pilkada ini. Apa yang dilakukan Antasari adalah manuver keji, kotor dan murahan. SBY sudah mengklarifikasikan tuduhan ini dengan amat terang.

Bahkan dirinya tidak pernah mengintervensi penyidik kepolisian, jaksa, maupun majelis hakim, termasuk dalam kasus Antasari. Karenanya, SBY menantang aparat hukum untuk membuka kasus SBY ini secara gamblang. SBY juga menempuh langkah hukum terhadap Antasari karena merasa nama baiknya dicemarkan. Tetapi kasus ini bukan cuma sengketa SBY-Antasari.

Kasus ini adalah satu bukti tambahan bahwa tangan-tangan kekuasaan terus bergerak untuk memenangkan “jagoan” istana. Antasari pasti paham bahwa manuvernya akan mengudang reaksi politik, bahkan hukum. Kepada siapa ia akan berlindung kalau bukan kepada penguasa?

Siapa yang sangggup melindungi Antasari dari jerat hukum atas pencemaran nama baik kalau bukan penguasa. Seorang pandir pun paham, manuver Antasari mustahil terjadi jika mantan narapidana kasus pembunuhan ini tidak dibeking oleh penguasa. Akibat manuver ini, Pilkada DKI Jakarta terancam tidak demokratis.

Pilkada Jakarta terancam ambruk dari transisi kekuasaan secara demokratis, menjadi rentetan aksi main kayu, aksi tipu-tipu rakyat. Celakanya, penguasa yang seharusnya menjadi suriteladan rakyat malah terkesan menjadi sumber masalah adalah gejolak sosial-politik ini.

Penguasa yang terjangkit syndrom paranoid memerkosa demokrasi demi mempertahankan ambisi kekuasaannya. Apa yang terjadi hari ini membuat saya merindukan Pilkada Jakarta tahun 2012 yang berlangsung demokratis itu.

Di mana penyelengara, paslon, pemilih sampai penguasa bahu-membahu untuk mewujudkan kontestasi politik yang fair, beradab dan berkeadilan. Tidak ada tipu-tipu rakyat di sana, apalagi aksi main kayu ala penguasa. Silakan pembaca bandingkan.

Pada Pilkada 2012 putaran 2, yang bersaing hanya dua pasang, head to head antara Jokowi-Ahok dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Tetapi kegaduhannya masih mengasyikan. Protes publik masih bisa ditolerir. Mengapa kondusifitas ini bisa terjadi?

Karena penguasa bersikap netral. Kendati Nachrowi Ramli adalah kader Demokrat, SBY tidak melakukan intervensi. TNI, Polri, BIN, KPUD melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya sesuai peraturan perundang-undangan.

Bahkan, kendati pun Jokowi-Ahok menang tipis, tidak ada upaya untuk mendongkel kemenangan itu secara inskontitusional. Bandingkan dengan kondisi hari ini? Aparat keamanan seolah-olah getol mencari-cari kasus-kasus hukum kandidat penantang paslon petahana.

Sejak perhelatan Pilkada DKI Jakarta dihelat, kita sama-sama saksikan aparat keamanan seolah-olah berubah menjadi tim pemenangan kandidat dengan menggembor-gemborkan kasus-kasus hukum kandidat penantang petahana. Ada yang dipanggil ke kantor polisi, ada yang dihantam pemberitaan negatif berbasiskan pernyataan aparat hukum.

Tujuanya jelas, untuk menjatuhkan elektabilitas para penantang petahana. Inilah Pilkada paling memalukan dalam sejarah ibukota Indonesia. Demokrasi diperkosa di sini. Moralitas dibunuh ambisi kekuasaan.

Para pelakunya mengenakan topeng tanpa dosa; seolah-olah mereka tidak tersangkut dalam distorsi kedaulatan rakyat ini. Akibatnya, jika dahulu, pelacuran kebenaran adalah pebuatan nista, kini pelaku malah dielu-elukan sebagai pembela demokrasi, sebagai pejuang hukum.

Tragisnya, semua itu dilakukan dengan cara membodohi-bodohi rakyat. Pun ketika aksi pembodohan itu sudah kental diketahui hitam-putihnya oleh rakyat sendiri. Betapapun carut-marutnya, kita masih memiliki harapan. Rakyat Jakarta adalah benteng terakhir untuk mencegah distorsi demokrasi ini kian mengamuk dan menghancurkan sendi-sendi tata kehidupan Jakarta.

Hari ini adalah waktu yang tepat bagi rakyat untuk mengambil kembali kedaulatannya. Rakyat harus bergerak untuk menghukum pemimpin yang zalim, sekalipun, pemimpin yang zalim itu nyata-nyata didukung oleh penguasa di level puncak.

Jangan takut, jangan abai. Hari ini adalah satu peluang besar bagi rakyat dalam jangka lima tahun ke depan. Pillada 2017 adalah peluang rakyat untuk mendapuk pemimpin yang demokratis, tidak zalim, tidak gandrung memfitnah dan didukung tukang fitnah.

Ini peluang untuk menciptakan Jakarta untuk semua. Jakarta untuk rakyat!”

(gra/DM1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

2,475 views

Next Post

Kades Wajib Memberikan Informasi Kegiatan Kerjanya ke Publik

Sen Mar 13 , 2017
DM1.CO.ID: Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 46 Tahun 2016 tentang Laporan Kepala Desa. “Kepala Desa wajib menyampaikan Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada masyarakat Desa”.