Enggan Berhentikan Ahok Meski Didesak, Jokowi Tunggu Putusan PTUN

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Selain para pakar serta ahli hukum dan tata negara, kini tiga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Provinsi DKI Jakarta juga ikut mendesak agar Presiden Jokowi segera memberhentikan sementara Ahok dari jabatannya selaku Gubernur DKI Jakarta. Ketiga anggota DPD tersebut adalah A.M. Fatwa, Fahira Idris dan Dailami Firdaus.

Mereka dengan tegas menyatakan bahwa Ahok samasekali tidak layak menduduki jabatan yang dibiayai oleh negara karena berstatus terdakwa, yakni proses hukumnya sedang berjalan pada kasus penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Menurut ketiga anggota DPD tersebut, sudah seharusnya pemerintah (presiden) memberhentikan sementara Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebab, memang undang-undang menghendaki bagi kepala daerah yang sedang berstatus terdakwa harus diberhentikan sementara tanpa harus meminta persetujuan dari DPR.

“Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah seharusnya berhenti sementara sejak perkaranya diregister sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara,” kata Fatwa saat jumpa pers di Kompleks Parlemen, Senin (20/2/2017).

Sikap ini diambil oleh Fatwa karena telah mendapatkan dukungan tanda tangan dari 22 DPD di seluruh Indonesia yang sepakat mendesak agar Ahok segara diberhentikan sementara dari jabatan tersebut. Artinya, desakan ini tidak hanya berasal dari tiga anggota DPD, melainkan sudah menjadi sikap bersama bagi perwakilan daerah lainnya.

“Ada 22 tandatangan, baru kemarin kami inisiatif, sudah diikuti 19 rekan kami di daerah yang kami maksudkan pendapat (sikap) politik,” ujar Fatwa.

Sementara itu Fahira Idris  berpendapat, alasan pemerintah belum memberhentikan Ahok terkesan sangat mengada-ngada. Hal itu terlihat dari pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang menyebut pemberhentian Ahok masih harus menunggu vonis dari Jaksa Penuntut Umum.

“Mendagri dengan alasan belum ada vonis JPU itu mengada-ada. Padahal sudah jelas ancaman hukuman 5 tahun. Dan pemberhentian itu juga terjadi (Kepala Daerah) di wilayah lain seperti Banten, Papua. (Mengapa) di DKI tidak berlaku?” lontar Fahira.

Sebelumnya, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) telah menggugat keputusan pemerintah di PTUN karena kembali mengaktifkan Ahok, terhitung pada 12 Februari 2017. Gugatan itu diajukan pada tanggal 13 Februari 2017 lalu, dengan nomor 36/G/2017/PTUN-Jkt.

Menyikapi seluruh desakan dan juga gugatan yang ada, Presiden Jokowi masih enggan memberhentikan Ahok dari jabatannya.

Jokowi hanya ingin menon-aktifkan Ahok apabila pihak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah mengeluarkan putusan yang memenangkan penggugat. Hal ini disampaikan Jokowi saat bertemu dengan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah di Istana Negara-Jakarta, Senin (20/2/2017).

“Karena Pak Jokowi tadi janji kalau PTUN bilang kalau Ahok harus diberhentikan, maka Pak Jokowi juga akan ikut, harus diberhentikan,” ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, setelah bertemu Presiden Jokowi di Kompleks Istana Negara, Jakarta.

Dahnil mengutarakan, pertemuannya dengan Presiden memang sempat membicarakan masalah Ahok. Termasuk tuntutan agar Ahok diberhentikan sebagai Gubernur. Namun, kata Dahnil, Presiden membutuhkan landasan hukum yang kuat untuk menonaktifkan Ahok.

‘Sehingga tentu kami Pemuda Muhammadiyah menunggu Pak Jokowi. Nanti kalau sudah keluar PTUN kita tagih sikap Beliau, apakah Beliau akan tetap konsisten dengan sikap itu,” katanya.

Apabila PTUN menolak gugatan itu, menurut Dahnil, itu adalah putusan hukum yang juga harus dihormati.

“Tentu kami tidak ingin memaksakan kehendak, tentu kan ada alternatif hukum lainnya. Jadi silakan saja. Ini kan negara beradab, ya kita lakukan langkah hukum,” pungkasnya.

(nva/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

1,550 views

Next Post

Sekolah di Australia Ini Izinkan Siswanya Untuk Tidak Jabat Tangan dengan Non-Muhrim

Sel Feb 21 , 2017
DM1.CO.ID, CANBERRA: Australia mengizinkan sebuah sekolah menerapkan kebijakan khusus bagi siswa Muslim untuk tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Kebijakan itu sendiri dibuat secara sadar oleh sekolah yang bernama Hurstville Boys Campus of Georges River College, Sidney.