Oleh: Gede Sandra (Peneliti Lingkar Studi Perjuangan)
PADA Maret lalu, Sri Mulyani Indrawati (SMI) digelari sebagai menteri keuangan terbaik Asia oleh Majalah Finance Asia yang berbasis di Hongkong.
Alasan pemberian gelar ini, yang saya tangkap, adalah SMI dianggap berhasil dalam program pengampunan/amnesti pajak (tax amnesty), dan berhasil membuat anggaran (APBN) 2016 menjadi kredibel.
Sepintas lalu, penghargaan ini memang terlihat sebagai sesuatu yang ‘wah’. Tapi coba kita periksa lagi, ternyata para menteri keuangan China, Jepang dan Singapura tidak pernah mendapat penghargaan itu, karena mereka pastikan bunga murah untuk bangsanya, bukan justru bunga mahal seperti Sri Mulyani yang hanya untuk popularitas pribadi, tapi merugikan bangsanya sendiri.—
Amnesti Pajak
Yang perlu diperjelas kepada publik, bahwa SMI bukanlah pencetus ide amnesti pajak.
Ide ini sudah ramai jauh sebelum SMI bergabung sebagai menteri keuangan dalam Kabinet Jokowi. Bila pun ada yang harus diberikan penghargaan untuk ide amnesti pajak, orang tersebut adalah sang pencetusnya, yaitu Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Keuangan sebelum SMI yang kini menjabat sebagai Menteri BPN/Kepala Bapennas.
Di sisi pelaksanaan program amnesti pajak, yang justru adalah bagian SMI, para pengamat ekonomi dalam negeri yang tergabung dalam INDEF malah memberi raport merah. SMI dianggap gagal menjalankan program ini sesuai tujuan yang diamanatkan UU No 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Release resmi INDEF dapat dilihat pada website mereka di: indef.or.id
Ada empat catatan kritis atas pelaksanaan amnesti pajak, yang coba saya kombinasikan dengan yang dibuat INDEF.
Pertama. Berdasarkan simulasi yang dilakukan INDEF, aset repatriasi yang diperoleh dari program tax amnesty ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap likuiditas, nilai tukar, suku bunga, dan investasi.
Kedua. INDEF juga mencatat, dari sisi objek pajak hanya 0,15 persen (50.385 wajib pajak baru) wajib pajak potensial 2016 yang berhasil tersaring, program ini pun hanya diikuti oleh 2,95 persen (995.983 wajib pajak) wajib pajak yang terdaftar tahun 2016.
Ketiga. Dari target penerimaan pajak sebesar Rp.165 Triliun, hanya berhasil dipenuhi sekitar 64,8 persen (Rp.107 Triliun).
Keempat. Dari target dana repatriasi sebesar Rp.1.000 Triliun, hanya berhasil dipenuhi sebesar 14,4 persen (Rp.144,78 Triliun).—
Menteri Pengutang “Terbaik”
Alasan lain diberikannya penghargaan menteri keuangan terbaik Asia adalah SMI dianggap berhasil membuat APBN 2016 menjadi kredibel, yang dicapainya melalui serangkaian pemotongan anggaran pembangunan dan subsidi sosial.
Kebijakan pemotongan/pengetatan anggaran (austerity policy) yang dilakukan SMI ini senafas dengan kebijakan Bank Dunia di negeri-negeri yang sedang krisis di Eropa Barat, yang hasilnya malah memperburuk situasi ekonomi dalam negeri mereka.
Meskipun buruk bagi perekonomian suatu negara, tapi kebijakan pengetatan anggaran ini jelas menguntungkan bagi para pemegang surat utang (bond holder).
Ketika berbagai anggaran pembangunan dan subsidi sosial dipotong, akan semakin tersedia ruang untuk melunasi bunga dan cicilan utang kepada para pemegang surat utang pemerintah Indonesia.
Perlu diketahui, si pemberi penghargaan, Majalah Finance Asia, berdiri pada tahun 1996 untuk meng-cover pemberitaan seputar bank-bank finansial, pasar uang, dan lembaga pembiayaan di kawasan Asia Pasifik.
Para pembaca majalah ini meliputi para CEO dan CFO lembaga finansial, broker eksekutif, dan manajer portofolio yang tentu sangat berkepentingan dengan surat utang Indonesia.
Dan pemberian penghargaan pada 22 Maret lalu ternyata semakin membuat SMI bekerja sesuai harapan para investor pasar uang, para pembaca majalah Finance Asia.
Pada 27 Maret dan 6 April 2017 Kementerian Keuangan Indonesia mengadakan lelang surat utang/surat berharga negara dengan bunga/yield yang sangat mahal bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Timur.
Terdapat 10 negara Asia Timur, termasuk Indonesia, yang coba saya bandingkan antara pertumbuhan ekonomi dengan yield bertenor 1 tahun dan 10 tahun (sumber: djppr.kemenkeu.go.id dan investing.com) yaitu;
1. Indonesia, pertumbuhan ekonomi: 5,04%; yield (1th): 6.17%; yield (10 th): 7,08%.
2. Malaysia, pertumbuhan ekonomi: 4,5%; yield (1th): 3,3%; yield (10 th): 4,1%.
3. Filipina, pertumbuhan ekonomi: 6,8%%; yield(1th): 2,9%; yield (10 th): 5,4%.
4. Vietnam, pertumbuhan ekonomi: 6,2%%; yield(1th): 3,9%%; yield (10 th): 5,76%.
5. Singapura, pertumbuhan ekonomi: 1,8%; yield(1th): 0,97%; yield (10 th): 2,1%.
6. Thailand, pertumbuhan ekonomi: 3,2%; yield(1th): 1,57%; yield (10 th): 2,6%.
7. Korea Selatan, pertumbuhan ekonomi: 2,3%; yield(1th): 1,5%; yield (10 th): 2,2%.
8. Tiongkok, pertumbuhan ekonomi: 6,7%; yield(1th): 3,1%; yield (10 th): 3,4%.
9. Taiwan, pertumbuhan ekonomi: 1,4%; yield(1th): 1,5%; yield (10 th): 2,08%.
10. Hongkong, pertumbuhan ekonomi: 1,9%; yield(1th): 0,6%; yield (10 th): 1,42%.
Dapat dilihat, meskipun Indonesia menempati posisi keempat tertinggi dalam hal pertumbuhan ekonomi, namun SMI tetap saja “bermurah hati” menjual surat utang Indonesia dengan memberikan yield paling tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik.
Tingginya bunga/yield surat utang akan membuat Indonesia harus menanggung pelunasan cicilan dan bunga yang tinggi juga dibandingkan yang dibayarkan negara lain di kawasan.
Apa yang dilakukan SMI ini jelas akan sangat merugikan Indonesia di masa mendatang, karena ia menutup lubang dengan menciptakan lagi lubang yang lebih besar di masa depan.
Melihat semua fakta di atas, SMI memang sangat layak ditetapkan sebagai yang “terbaik” (baca: paling tega, konyol) di Asia. Itupun bukan sebagai menteri keuangan, melainkan sebagai menteri pengutang.
Dan perlu ditekankan, “terbaik” di sini maksudnya bukan “baik” bagi kalangan masyarakat Indonesia, tetapi “baik” bagi para investor pemegang surat utang.
Sekali lagi, ternyata para menteri keuangan China, Jepang dan Singapura tidak pernah mendapat penghargaan itu, karena mereka pastikan bunga murah untuk bangsanya, bukan justru bunga mahal seperti Sri Mulyani yang hanya untuk popularitas pribadi, tapi merugikan bangsanya sendiri. Sungguh tega, pengelabuan dan konyol Sri Mulyani.
(pwa/DM1)