Di Tangan NP Pemkab Gorontalo Dinilai “Semrawut & Kerdil” Bahkan Gagal, RA: DPRD Dipandang Enteng!

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, EDITORIAL: Kondisi pergerakan pembangunan maupun pengelolaan pemerintahan dan juga  keuangan daerah di Kabupaten Gorontalo sejak di bawah kepemimpinan Bupati Profesor Nelson Pomalingo (NP), dinilai “semrawut”.

Akibatnya, kondisi pembangunan yang diharapkan (baik pada periode pertama maupun dalam periode kedua Bupati Nelson) saat ini, bisa disebut hanya mengalami pertumbuhan yang cukup “kerdil”, bahkan dinilai gagal.

Kondisi tersebut terungkap dalam konferensi Pers yang digelar oleh tiga narasumber, yakni Rustam Akili (Pengamat Sosial Politik dan Pemerintahan), Eman Mangopa (Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Gorontalo), dan Susanto Kadir (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Limboto).

Konferensi Pers yang dilangsungkan di Warkop “Danau Limboto” pada Rabu sore (8/9/2021) itu, diikuti oleh sejumlah jurnalis dari berbagai media pemberitaan online di daerah ini, dengan mengurai permasalahan seputar anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional).

Secara umum, Rustam Akili (RA) mengungkapkan, bahwa sejauh ini situasi ekonomi di Kabupaten Gorontalo (Kabgor) amat memprihatinkan. Yakni ekonomi kelihatan berjalan bagus, namun sebetulnya kemampuan ekonomi rakyat di daerah ini sangat lemah. “Sekarang daya beli rakyat ini sudah sangat susah,” ujar RA.

Salah satu upaya untuk mengatasi kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gorontalo pun buru-buru ikut “mengemis” anggaran PEN yang “disuplai” oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Program PEN ini sendiri adalah salah satu rangkaian kegiatan atau upaya untuk mengurangi “sakit” di persendian ekonomi akibat “hantaman” Covid19. Artinya, hal ini juga merupakan respons pemerintah atas penurunan aktivitas masyarakat akibat pandemi Covid19 yang berdampak pada ekonomi.

Pelaksanaan program PEN tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2020 (PP 23/2020).

Khusus di Kabupaten Gorontalo, menurut RA, pihak DPRD memang telah “membahas” anggaran PEN (dalam bentuk pinjaman ini), namun hal itu menimbulkan pro-kontra dan juga “gesekan”, baik antar-lembaga pemerintahan maupun antar elemen masyarakat di tengah-tengah publik.

Pemkab Gorontalo, ungkap RA, telah mengajukan anggaran PEN sebesar Rp.500 Miliar. “Yang ada sekarang baru Rp.59 Miliar. Rp.59 Miliar itupun tidak sesuai peruntukkannya,” beber RA.

RA yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi Gorontalo itu, mengaku sangat menyayangkan adanya kondisi terkait urusan anggaran PEN tersebut, yang sama-sekali tidak melibatkan lembaga legislatif.

“Pemerintahan itu ada dua, DPRD dan eksekutif. Ini saya lihat berjalan sendiri-sendiri. Kadang-kadang eksekutif terlalu pandang enteng sama DPRD. Kenapa saya tahu, karena saya juga ada teman-teman dari fraksi NasDem,” ujar RA yang kini sebagai kades NasDem itu.

RA mengakui, bahwa aturan penanganan anggaran PEN memang tidak secara khusus melibatkan DPRD, namun tidak serta-merta peran dan kedudukan DPRD menjadi terabaikan dan bahkan seolah sengaja disepelekan begitu saja.

Sebab, menurut RA, anggaran PEN yang diperoleh itu tentulah karena adanya kebijakan menyangkut urusan ataupun masalah yang dihadapi rakyat. Olehnya itu jika bicara soal rakyat, maka DPRD juga harus diikutkan.

RA pun berharap, apapun jika menyangkut kepentingan rakyat, terlebih terkait pinjaman, maka DPRD harus dilibatkan. “Memang di PEN itu tidak mempersyaratkan DPRD untuk bicara, tapi ini (anggaran PEN) kan berakibat membebani rakyat, kalau sudah kepentingan rakyat, DPRD terlibat dong,” tandas RA.

Sayang, ungkap RA, DPRD sama-sekali tidak dilibatkan menyangkut penanganan anggaran PEN di Kabupaten Gorontalo ini. “Saya lihat Pemerintah Kabupaten Gorontalo ini, kurang menghormati lembaga DPRD, atau pura-pura tidak tahu saja. Yang kedua saya lihat, ini ‘Abu Nawas’ semua ini pelaksana pemerintahan (Pemkab Gorontalo) ini, kata dan perbuatan tidak sama, semua dijanjikan ke sana ke mari,” tutur RA.

Sebetulnya, lanjut RA, sejumlah anggota DPRD di daerah ini sudah memperlihatkan upaya protes dan juga “perlawanan” terhadap eksekutif yang sangat terkesan memandang enteng lembaga legislatif dalam urusan PEN ini.

“Ini saya lihat (pihak) DPRD sudah bersuara, tapi hanya orang per-orang, tidak berani (secara) kelembagaan. Oleh sebab itu, saya sebagai rakyat, terserahlah mau cap sebagai apa, tapi saya peduli rakyat Kabupaten Gorontalo, ihdinas-sirathal mustaqiim. Ini jangan seenaknya merasa jagoan. Saya berani mengatakan, pemerintahan di bawah Professor Nelson itu gagal hari ini!” tegas RA.

RA kemudian menantang kepada pihak Pemkab Gorontalo untuk membantah pernyataannya tersebut (yakni Profesor Nelson telah gagal mengelola pemerintahan) “Boleh dibantah juga. Maka kalau berani undang kita forum terbuka, DPRD hadirkan, bupati hadirkan, tokoh masyarakat hadirkan, tokoh adat hadirkan, seluruh elemen hadirkan, kita dialog publik. Rustam Akili apa yang dia takuti, hanya kebenaran dan Allah,” lontar RA.

“Yang kedua adalah, marilah kita bangun dengan hati ini Kabupaten Gorontalo. Ini gali lubang gali lubang. PEN tidak bisa membayar utang, oleh sebab itu perangkat daerah ini juga jangan ABS, terus bupatinya juga mau dipuji-puji,” sambung RA seraya mengaku kecewa atas kondisi pemerintahan di Kabupaten Gorontalo yang dinilai semrawut dan memprihatinkan itu.

“Padahal saya sudah ikhlas, saya dalam perhelatan politik saya kalah, tapi saya punya integritas, saya tidak beli rakyat, tidak beli rakyat untuk memilih saya. Karena ini dibeli “diduga bahwa ada persoalan money-politic” dan itu terbukti walaupun tidak berlanjut, (maka) sistem pemilihan harus kita revisi kembali, mendengarkan suara rakyat. Kalau sudah begini kondisinya, tidak cukup hanya mereposisi, ini harus revolusi. Saya sangat prihatin, rakyat datang ke DPRD, DPRD sudah rekomendasikan namun tidak digubris juga, mau apaan kita ini. Mau bayar gaji saja ngos-ngosan,” ungkap RA.

Dalam konferensi Pers itu, RA juga menyemangati wartawan dari media-media independen yang tidak “terkontaminasi” melalui  MoU (kontrak kerja sama dengan Pemda), agar tetap melakukan kontrol sosial secara profesional.

“Tetap berjuang untuk kritis dalam mengontrol, kita harus tetap objektif dan profesional. Kalau hari ini pemerintahan baik, ya kita bilang baik. Tapi kalau gagal, bilang gagal aja,” ujar RA seraya menegaskan bahwa dirinya keras dan tajam bersuara bukan untuk koprol (menjilat) atau ujung-ujungnya bargaining.

“Rustam Akili dalam menyuarakan kebenaran, tiang gantungan bagaikan lambaian tangan bidadari,” sambung RA.

RA pun berharap agar eksekutif dapat segera memperbaiki hubungan saling menghormati dan menghargai dengan seluruh lembaga yang ada, terutama legislatif. Sebab jika tidak, maka upaya hak angket yang mengarah ke impeachment bukan hal mustahil untuk dilakukan.

Apalagi, kata RA, hak angket yang berakhir impeachment pernah terjadi di dalam pemerintahan Kabupaten Gorontalo, yang kala itu dialami oleh wakil bupati. Dan jika DPRD ingin mengadakan kembali hak angket, maka RA mengaku tak hanya mendukung, tetapi akan berada di baris terdepan jika ada data dan fakta.

“DPRD Kabupaten Gorontalo membuktikan ada sejarah impeachment terhadap wakil bupati. Tapi (hari) ini saya lihat (anggota DPRD) belum kompak, dan itu karena faktor X, satu partailah,” tandas RA.

Sementara itu, Eman Mangopa selaku anggota Komisi III DPRD Kabupaten Gorontalo pada konferensi Pers itu di hadapan wartawan, juga mengurai seputar penanganan anggaran PEN.

Sebagai Fraksi PKS, Eman mengaku sejak awal dan hingga kini melakukan upya protes dan juga penolakan secara tegas PEN di Kabupaten Gorontalo.

Sikap tegas itu harus ditempuh, menurut Eman, adalah sebagai upaya untuk menyelamatkan daerah ini dari keterpurukan. Paling tidak, pengawasannya yang lebih serius terhadap PEN ini terus dilakukan oleh pihaknya di DPRD.

Eman dengan mimik kesal mengungkapkan, lantaran terkesan adanya sikap memandang enteng DPRD, sampai-sampai  tidak sedikit anggota DPRD di daerah ini sangat buta dan tidak tahu-menahu seputar PEN di Kabupaten Gorontalo ini.

“Beberapa paket yang memang bagi kami sebelumnya itu buta. Kan terinformasi sebelumnya itu bahwa ketika pemerintah daerah mengusulkan bermohon Rp.500 Miliar ke PT. SMI, itu kemudian turun anggaran yang disetujui itu Rp.492 Miliar. Sehingganya terjadi perubahan dari paket-paket itu dan kami tidak tahu persis paket-paket itu ada. Kebetulan karena yang sudah direalisasi anggaran Rp.66,5 Miliar, hari ini baru kami tahu bahwa oo.. ternyata ini paket-paket ini di sini-sini, di sini-sini,” jelas Eman.

Pada saat pembahasan anggaran 2020, menurut Eman, dirinya oke-oke saja terhadap makna dan garis besar (tanpa rincian paket) dari PEN tersebut, karena itu demi pemulihan ekonomi.

Namun setelah sejumlah anggaran PEN itu direalisasikan, Eman pun mengaku kaget, dengan munculnya berbagai macam paket (proyek) yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Sehingga itu, Eman tampaknya akan melakukan “perhitungan” untuk melakukan “perlawanan”.

“Kami coba analisis dari berbagai macam aturan yang ada, apakah ini memang misalnya tidak sesuai, maka kami akan melakukan tindakan-tindakan yang menurut kami itu wajar untuk kami suarakan di DPRD,” tutur Eman.

Eman juga membeberkan beberapa pekerjaan yang menurutnya sangat “licik dan menyakitkan”. “Ada beberapa paket pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, kita tahu bersama bahwa Rp.66,5 Miliar ini itu paket yang sudah ditetapkan lewat APBD 2020, tetapi hari ini itu masuk di PEN. Mengertinya adalah berarti konsep itu bukan PEN,” ungkap Eman.

Artinya, jelas Eman, jika paket-paket di 2020 itu kena refocusing, berarti itu bukan prioritas. “Tetapi oleh Pemda hari ini itu dimasukkan dalam PEN. Di situ sudah menyalahi aturan, sehingganya dari awalnya ini memang sudah salah. Belum lagi hari ini kita bisa melihat dengan kepala kita sendiri bahwa peruntukkannya tidak jelas, dan tidak sesuai,” jelas Eman lagi.

Eman mengaku perlu menyuarakan ini, agar jangan sampai ke depan Pemda malah akan dibebani oleh utang yang luar biasa. “Kemudian dengan kondisi keuangan daerah kita hari ini sudah kolaps, sebenarnya kalau kita lihat dengan adanya terbit surat yang kemarin itu, dan sudah kita baca hari ini, bahwa beberapa kegiatan yang ada di Pemda itu sudah tidak bisa dibiayai,” ujar Eman.

“Profesor Nelson itu sudah menyampaikan di Paripurna beberapa waktu yang lalu di hadapan kami bahwa ada beberapa kegiatan yang tertunda di 2020 itu akan dibiayai di anggaran perubahan itu, dan katanya itu sudah ditetapkan sebagai utang daerah,” beber Eman.

Eman juga menyatakan sepakat dengan pernyataan RA yang menyebutkan bahwa saat ini Pemkab Gorontalo telah gagal. “Kita bisa ambil kesimpulan, bahwa untuk saat sekarang, bahwa pemerintahan ini, sementara saya sampaikan gagal dalam mengelola pemerintahan,” tandas Eman.

Sementara itu, Susanto Kadir sebagai Direktur LBH-Limboto yang juga selaku narasumber dalam konferensi Pers tersebut, turut memaparkan seputar PEN menurut penggambaran hukum.

Secara umum, Susanto mengaku melihat, bahwa memang ada persoalan serius di daerah ini, terutama ketidak-harmonisan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif.

“Ini sangat disayangkan. Ketika tidak ada hubungan yang harmonis antara legislatif dan eksekutif, maka penuntasan atau penanganan PEN itu tentu berpotensi terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum,” ujar Susanto.

Olehnya itu, kata Susanto, LBH-Limboto Susanto yang menjadi bagian dari controlling atau sosial-kontrol akan ikut mengawal, agar PEN bisa benar-benar ditujukan untuk pemulihan ekonomi nasional, dan bukan sebagai alat untuk pemenuhan kepentingan kelompok tertentu.

“Kita juga mendukung DPRD agar menggunakan hak-hak controlling-nya. Memang benar di dalam PEN tidak perlu melibatkan DPRD, tapi kalau bicara tentang kepentingan rakyat, DPRD harus berada di situ. Hari ini kita melihat, DPRD dinafikan, jadi tidak dihargai sama-sekali. Jadi seolah-olah pemerintahan daerah itu hanya eksekutif, padahal tidak begitu. Ini berbeda dengan pemerintahan pusat, kalau pemda ini dijalankan oleh bupati bersama-sama DPRD, sehingga ketika dia bicara tentang rakyat, DPRD sekalipun tidak diatur secara tegas dalam regulasi, (namun) DPRD harus berada di situ, karena secara konstitusional fungsi DPRD adalah fungsi controlling,” jelas Susanto.

Sayangnya, wartawan DM1 yang telah berkali-kali memohon kepada Bupati Gorontalo agar dapat memberikan keterangan langsung sebagai bentuk konfirmasi, terutama seputar penilaian “kegagalan” tersebut, namun tak kunjung mendapat tanggapan.

Dan meski Wartawan DM1 harus bolak-balik serta keluar-masuk ke rumah dinas Bupati Gorontalo untuk mendapatkan konfirmasi, namun sang profesor hanya memberi janji ketemu yang tak kunjung ditepati hingga tulisan ini diekspos. (dms/dm1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

858 views

Next Post

Uji Materi UU Pers: Presiden, DPR dan DP Dipastikan Hadir Beri Keterangan di MK

Sel Sep 28 , 2021
DM1.CO.ID, JAKARTA: Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Dewan Pers (DP) dipastikan bakal hadir di Mahkamah Konstitusional (MK) untuk memberikan keterangan pada sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam perkara: Nomor 38/PUU-XIX/2021 pada 11/10/2021.  Kepastian itu disampaikan Panitera MK melalui surat panggilan […]