Wartawan: Mulkan Hidayatullah | Editor: AMS
DM1.CO.ID, BOLMUT: Desa Batubantayo, Kecamatan Pinogaluman, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Provinsi Sulawesi Utara, ternyata adalah desa yang sangat berpotensi menghasilkan Gula Aren (gula merah) hingga ribuan Ton per tahun.
Desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Bolmut dengan Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut) Provinsi Gorontalo itu, memiliki luas 3,02 Km2, dengan jumlah penduduk 670 Jiwa dari 176 Kepala Keluarga (KK).
Tahir Lokoro selaku Kepala Desa (Kades/Sangadi) Batubantayo kepada Wartawan DM1 dalam bincang-bincang, Rabu (14/8/2019), mengungkapkan banyak hal seputar harapan dan tantangan dalam memajukan desa yang dipimpinnya sejak 2015 silam hingga saat ini.
Penduduk Desa Batubantayo, kata Tahir, mayoritas bermata-pencaharian atau 98 persen adalah petani. “Yakni petani padi sawah, gula aren, dan selebihnya adalah peternak,” ujar Tahir.
Ia menyebutkan, satu kali panen pada luasan 58,6 Hektar areal persawahan di desa ini bisa mencapai 200 Ton dalam bentuk beras, atau rata-rata 3 hingga 4 Ton per Hektar.
Artinya, jika setahun dua kali panen, maka produksi beras yang dihasilkan oleh petani padi sawah di desa ini adalah 400 Ton beras.
Namun, hasil panen 400 Ton beras per tahun itu, ternyata tidak seberapa jika dibanding dengan gula aren yang bisa diproduksi oleh para petani di Desa Batubantayo ini. Yakni, bisa nyaris sampai 5.000 Ton per tahun.
Jumlah produksi gula aren yang sangat fantastis tersebut di desa ini, bahkan bisa dikata menjadi penyumbang terbesar (sekitar 25 persen) produksi gula aren se-Provinsi Sulut per tahun.
Tahir menjelaskan, tempat pembuatan gula aren di desa ini dikenal dengan nama Balombo. “Di Desa Batubantayo ini ada sekitar 30 Balombo,” kata Tahir.
Satu Balombo, menurut Tahir, itu bisa memproduksi 30 sampai 40 biji perhari atau sekitar 15 Kg. Artinya, jika diproduksi setiap hari, maka ada sekitar 450 Kg (15 Kg dikali 30 Balombo) gula aren yang dapat dihasilkan oleh para petani di desa ini.
Bisa dihitung, apabila petani gula merah di desa ini berkesinambungan melakukan produksi gula merah 450 Kg setiap hari, maka sebulan hasilnya mencapai 13,5 Ton (450 Kg dikali 30 hari). Bagaimana kalau setahun? Tentunya nyaris mencapai 5.000 Ton per tahun.
Sayangnya, potensi produksi gula aren yang bisa mencapai ribuan Ton itu, tidak berbanding lurus dengan upaya-upaya dari pemerintah agar bisa benar-benar diwujudkan.
“Sejumlah warga Desa Batubantayo terpaksa ada yang sampai keluar daerah hanya untuk juga membuat gula merah, seperti ke wilayah Minahasa dan sekitarnya,” ungkap Tahir.
Hal itu terjadi, beber Tahir, karena luas lahan Pohon Enau yang menjadi bahan utama produksi gula aren di Desa Batubantayo saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. “Karena semakin lama semakin berkurang, lantaran adanya bantuan benih jagung dari pemerintah,” ungkap Tahir.
Ia menerangkan, dengan kondisi seperti itu tentu ada perluasan lahan tanaman jagung, tetapi membuat sempit lahan tanaman lainnya seperti Pohon Enau tersebut.
“Kalau dulu, kiri-kanan jalan di desa ini semuanya hamparan Pohon Enau. Tapi sekarang tidak lagi nampak, karena lahan sudah menyempit diganti dengan jagung,” kata Tahir.
Ia menyayangkan tidak adanya upaya dari pemerintah untuk pengembang-biakan atau penanaman kembali Pohon Enau sebagai bahan baku pembuatan gula aren di desa ini.
Meski begitu, sebagai Sangadi (Kades) Batubantayo, Tahir mengaku tidak ingin menyerah untuk terus berusaha mencari solusi agar Pohon Enau bisa tetap menghasilkan, paling tidak terpelihara dengan baik.
Upaya itu dilakukannya pada 2015, Tahir selaku Sangadi mengaku pernah mengajukan usulan ke Kantor Dinas Ketahanan Pangan. “Saya bukan meminta bibit waktu itu, tapi saya cuma minta kawat duri untuk memagar lahan Pohon Enau agar tidak terganggu, baik oleh hewan ternak maupun liar,” kenang Tahir.
Pihak Dinas Ketahanan Pangan pada saat itu, kata Tahir, merasa heran dan bahkan tertawa, mengapa untuk mengembang-biakan Enau harus pakai kawat? “Saya jawab, kalau pihak dinas membuat program untuk menjaga Pohon Enau, ketika tidak dipagari, maka akan sia-sia juga,” tutur Tahir seraya mengaku tidak kecewa meski usulannya itu tidak dipenuhi.
“Tapi Alhamdulillah untuk sekarang ini, Pohon Enau di desa ini masih banyak. Tetapi rata-rata sudah umur remaja. Dan juga sudah tidak ada lagi penanaman Enau baru,” kata Tahir.
Meski begitu, Tahir selaku Sangadi mengaku sangat ingin mengembangkan produksi gula aren, sebab sangat membantu mengangkat derajat ekonomi warganya.
Tahir mengaku menyaksikan sendiri kondisi ekonomi warganya yang bergelut dalam usaha gula aren ini benar-benar berhasil. Semuanya mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga meraih sarjana, dan bahkan hingga mampu bekerja di intansi pemerintah atau swasta dengan sukses.
Gula aren produksi Desa Batubantayo yang juga dikenal dengan nama Gula Merah Atinggola ini, ternyata sudah dipasarkan ke sejumlah daerah. Seperti di Bintauna, Manado, Minahasa. Dan bahkan pasarannya sudah tembus ke Arab atau ke Tanah Mekkah secara individu.
Bahkan sebelum menjabat sebagai Sangadi, Tahir mengaku juga pernah sengaja melakukan perjalanan menjual gula aren ini hingga ke daerah Kepulauan Sangir, hingga ke wilayah Papua.
Meski diolah secara tradisional, namun menurut Tahir, gula aren buatan Desa Batubantayo ini memiliki rasa yang sangat khas dan juga tampilan yang amat bersih karena menggunakan penyaringan yang baik, sehingga kualitasnya tak perlu diragukan.
Untuk pengembangannya, Tahir pun mematok rencana ke depan. Yakni, ia berharap dapat membuat suatu kemasan istimewa.
“Untuk pengembangan usaha gula aren ini, akan kami tingkatkan lagi dengan menggunakan kemasan yang lebih canggih,” ujar Tahir seraya berharap ada pihak-pihak yang mampu mendukung upaya tersebut.
Program-program Kerja Tahir Lakoro
Saat ditanyai seputar program-program kerja, kaitannya dengan pencapaian visi-misi pemerintahan Desa Batubantayo ini, Tahir Lakoro pun menjelaskan sejumlah tugas yang ditunaikannya selaku Sangadi.
Pada intinya, kata Tahir, kinerja yang ada saat ini adalah merupakan kelanjutan pembangunan atau program dari kepala desa terdahulu. Dan secara umum adalah meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, yakni dengan memperluas atau menambah akses jalan menuju lahan pertanian atau perkebunan masyarakat.
Program-program kerja yang sudah dikerjakan. “Alhamdulillah dengan adanya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2016, nyaris setiap desa dalam pertahunnya sudah mendapatkan dana desa hampir Rp.1 Miliar,” kata Tahir.
Dan khusus di Desa Batubantayo, lanjut Tahir, program pembangunan yang telah dikerjakan sejak menjabat sampai dengan saat ini, di antaranya adalah pembuatan jamban.
“Tahun 2015 hingga 2018 sudah ada 45 unit jamban. Pada tahun ini, ada 29 unit jamban yang akan dibuat. Dan insyaAllah untuk 2020, karena jabatan berakhir pada 2020, maka masyarakat yang belum mendapat bantuan jamban saya akan buat. Juga untuk akses jalan perkebunan, pertanian, dan untuk jalan lorong termasuk paving block, plat deuker, lampu penerangan jalan, sudah dilaksanakan,” jelas Tahir.
Ia menambahkan, bahwa seluruh program yang dibutuhan oleh masyarakat dan sesuai dengan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) saat ini sudah dilaksanakan, dan sebagian masih sedang berjalan.
Meski begitu, Tahir mengaku, bahwa ada program yang juga sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakatnya, namun program tersebut enggan ia masukkan dalam RPJMDes. Yakni, program pemberian bantuan ternak sapi.
Tahir menyebut alasannya. Bahwa pada tahun 2012, di desa ini pernah mendapat bantuan sapi 10 ekor (entah dari provinsi atau kabupaten). “Dan sampai dengan saat ini keberadaan sapi itu masih ada, tapi masalahnya pengguliran (tidak terlaksana),” ungkap Tahir.
Untuk mengatasi masalah pengguliran bantuan sapi tersebut, Tahir mengaku sudah kurang lebih 10 kali melapor ke dinas terkait, tapi belum juga ada tindakan.
Olehnya itu, Tahir tak ingin bantuan sapi secara bergulir yang didanai dari desa kembali bermasalah di Batubantayo. “Makanya saya belum memberikan atau memasukkan di dalam perencanaan tentang pemberian bantuan sapi bergulir tersebut,” terangTahir.
Tak hanya itu, Tahir juga mengaku belum bisa menyentuh Program Inovasi Desa (PID), karena jangan sampai tidak sesuai dengan parameter kegiatan.
“Membuat satu kegiatan atau program-program yang menggunakan dana desa atau ADD itu, harus melihat di parameter kegiatan. Jangan sampai ada keinginan untuk melakukan suatu inovasi desa, meski sesuai hasil musyawarah atau merupakan usulan masyarakat, jangan sampai kegiatan itu tidak tercantum dalam parameter kegiatan. Sehingga ketika kita ingin melaksanakannya tapi dibatasi aturan. Jadi untuk sekarang ini kami hanya mengerjakan yang sesuai dengan RPJMDes, dan belum membuat inovasi,” jelas Tahir.
Terkait momen peringatan 17 Agustus tahun ini, Tahir hanya berharap kepada dirinya sendiri. “Mengharapkan diri sendiri menjadi pemimpin yang amanah dan tidak mengkhianati masyarakat, agar masyarakat bisa tetap sehat lahir-batin, aman dan jaya,” pungkas Tahir.
(mul/dm1)